Berbicara mengenai "Lingkungan hidup" tentu tak boleh berhenti hanya sampai tentang lingkungan saja. Tetapi harus pula bicara tentang sebab dan akibat oleh siapa dan karena apa sebuah lingkungan bisa sedemikian baik atau pun sedemikian rusak. Tentu semua faktornya bertumpu pada pelaku utama dari semua itu, yakni manusia itu sendiri. Juga dengan segenap tetek-bengek kebutuhan ekonomi-nya. Dalam hal ini, betapa Sejarah telah banyak mencatat "ekspedisi besar-besaran pun pernah dilakukan Bangsa-bangsa Eropa seperti Belanda, portugis, Sepanyol dan lainnya hanya untuk memperkaya negaranya dengan menguras isi alam, isi bumi yang berada didaerah daerah yang kaya akan sumber alam-nya. Tak berhenti disitu saja, juga pada masa sekarangpun masih berlanjut. Betapa pertambangan sebagai bukti nyata peng-eksplotasian besar-besaran oleh manusia dan "Alam" sebagai korbannya. Dan semua dianggap, diterima dan dilegitimasi sebagai hal yang wajar. Yang sesungguhnya baik disadari atau tak disadari, makin lama bumi tempat kita tinggal jika semakin dikuras masal akan berdampak makin rapuh dan sangat memprihatinkan. Lihatlah udara makin kotor gara-gara polusi dari pabrik dan kendaraan bermotor yang notabene berbahan bakar dari minyak yang diambil dari dalam Bumi itu sendiri. Sementara diperkotaan persediaan air dari dalam tanah makin kering karena penggunaan air secara besar-besaran oleh perusahaan makro, apartemen dan gedung-gedung susun, sementara tanahnya sendiri makin susah menyerap resapan air kebumi karena diatas tanahnya penuh bangunan beton gedung bertingkat dan jalan raya. Sementara re-produksi dari perut bumi seperti gas bumi dan minyak di sedot habis-habisan. Hutan-hutan jadi gundul gara-gara penebangan yang tanpa perhitungan. Akibatnya tak ada keseimbangan antara satu tempat dan ekosistemnya dengan tempat lain --- maka tak ada lagi yang kita harapkan kecuali menunggu datangnya bencana terhadap Bumi kita yang sudah Restan tersebut.
Sebentar juga --- paling 60th, 70th atau 80th setelah kita hidup kita pun akan meninggal. Meninggalkan semua yang kita punya baik rumah, harta dan semua kerja keras kita selama Kita hidup. Lalu, kita akan digantikan oleh anak-anak kita. Dan apa yang pernah kita tanam baik ilmu dan kekayaan akan secepatnya terlupakan. Tapi ada satu hal yang membuat mereka harus mengingat kita adalah kesalahan kita. Bahkan seumur hidupnya akan mengutuk kita para pendahulunya yang telah mengeksplotasi alam tempat mereka hidup sampai sedemikian rusaknya. Tak mau bukan? Tapi memang demikian, bayangkan sendiri olehmu apa yang dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang. Andaikan kita kaya raya---pun belum tentu kekayaan yang kita wariskan dapat dinikmati di atas bumi yang telah kita rusak tadi. Makanya, tak ada langkah efektif kecuali mulai detik ini juga kita menyayangi Bumi kita ini, lingkungan dan juga diri kita termasuk juga anak cucu kita. Tentu banyak cara diantaranya---cara alamiah yang telah sekian lama kita tinggalkan.
Mungkin sebuah kontradiksi sesumpama kita yang hidup dalam abad moderen --- meskipun tidak ada salahnya jika kita mencoba mengurangi kegiatan kita dalam menggunakan alat-alat yang tak ramah Lingkungan, seperti otomotif, AC dan sebagainya. Tentu tidak mungkin. Tapi jika kita bicara mungkin maka artinya kita telah mencoba mengurangi meskipun cuma sedikit. Apalagi untuk kita berani katakan "tidak atau Perang" terhadap segalanya hal yang merusak Bumi ini. Sebab, siapa lagi yang harus memulai pembangunan kembali Bumi kita ini kalau bukan berawal dari diri kita sendiri meskipun bukan demi kita, meskipun semua demi anak cucu kita. Seperti menanam Pohon dan menghindari segala praktik kerja yang berresiko kehancuran terhadap ekosistem.
PLAJARAN DARI NENEK MOYANG
Sebenarnya kemaslahatan dalam hidup yang berkesinambungan telah mengilhami para tokoh-tokoh religi, tokoh agamawan, para itusiator atau para Nabi yang pernah ada, lewat agamawi. Hal tersebut dapat dilihat dari ajaran-ajaran agama yang ada.
Upama agama Hindu yang konon agama tertua didunia pun telah jauh-jauh hari mengingatkan pada umatnya "Bahwa kita harus menyayangi alam. Menyayangi Tumbuh-tumbuhan" Di pulau Bali (bagi yang sudah pernah kesana) yang notabene kaum Hindu -- sepanjang jalan dapat kita jumpai Pohon-pohon besar semua dikenakan sarung Kotak-kotak, hitam putih. Saya yakin sekali kalau orang Bali atau orang Hindu pasti menyayangi tiap tumbuhan dan tidak boleh sembarangan menebang.
Juga para kaum Budisme yang selalu menganjurkan supaya menyayangi segala sesuatu yang bernyawa termasuk binatang dan tumbuh tumbuhan. Sekejap memang tahayul karena kata kata Renkarnasi justru diumpamakan "siapa tahu Roh kakek moyang kita menetap baik dipohon atau di binatang mereka bersemayam" dan tak boleh sembarangan membunuhnya. Tapi, jauh dari pada itu, dari pada kata-konotasi tahayul ada juga seperti tujuan mulia yang tersimpan didalamnya; agar disegala sudut terjadi keseimbangan antara alam, binatang dan manusia. Agar sang pelaku tunggal yakni manusia dapat menjaga tiap sudut Bumi tempat kita ini.
Juga umat kristiani yang tak terumpamanya merindukan sebuah pohon bercahaya sampai-sampai mereka membangun replikanya dirumah. Tentu, ada maksud lain selain sekedar perayaan natal saja.
Lalu, bagaimana umat muslim yang senantiasa mengalir kisah-kisah tentang pohon kurma yang konon dapat menentramkan arwah leluhur. Adalah semua itu sebuah simbolik agar kita yang hidup ingat yang mati dan setelah mati memikirkan bagaimana mereka yang akan hidup menggantikan kita. Jika daun-daun telah "tiada" artinya mereka juga telah mati seperti arwah yang ada didalam kubur itu. Makanya, usahakan agar daun tetap ada artinya dimuka bumi ini masih ada kehidupan
Dengan kita mencintai Bumi ini berarti kita juga cinta pada masa yang akan datang. Cinta pada anak cucu kita
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H