Mohon tunggu...
Ar-Roemi Zahra
Ar-Roemi Zahra Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Biasa Aja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menikahlah, Bu...

13 Desember 2011   08:35 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:22 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku tengah rampung menginput data siswa ketika seorang lelaki paruh baya berusia sekitar 40 tahun memasuki pelataran dengan sepeda motornya.Kulirik jam digital di layar monitor.Pukul 14.00. Artinya tiga puluh menit lagi kelas Afan berakhir.

Spontan, aku mencari data tentang Afan. Maksudku agar aku bisa menyapa bapak itu.

“ Selamat sore, Pak Adi “ sapaku, tersenyum sembari mempersilahkan Pak Adi duduk.

“ Afan sudah selesai, Mbak?”

“ Tiga puluh menit lagi , Pak. Silahkan di tunggu.” Jawabku ramah.

Hmmm…Kemudian aku mulai bertanya tentang ini dan itu. Berbasa – basi, sebisa mungkin berusaha membuat Pak Adi tidak bosan. Memang itu pekerjaanku. Menerima dan melayani tamu, mengurus data siswa dan segala tetek bengek tentang kesiswaan. Sejujurnya aku sama sekali tidak nyaman dengan pekerjaanku ini. Tentu saja,soalnya aku bukan orang yang mudah berkomunikasi dengan orang lain. Tapi ini adalah pekerjaanku. Betapapun aku tidak menyukainya, aku harus tetap menjalaninya dengan maksimal.

Mengatur jadwal kelas kosong, menerima telepon, menjawab segala macam pertanyaan, berhadapan dengan banyak orang dengan kepribadian yang berbeda-beda adalah rutinitasku tiap hari.Mendengar keluhan orang tua siswa, memberi solusi, bahkan tak sedikit orang tua yang curhat tentang rumah tangga mereka.Kadang harus jengkel melayani tuntutan atasan agar jadwal presentasi ataupun meeting diatur dengan sempurna tanpa ada kesalahan sedikitpun.Sesekali berlagak berbicara bahasa asing untuk meyakinkan bahwa tempat kursus itu memang berprioritas pada speaking. Tak bosan menjelaskan sejarah berdirinya perusahaan itu kepada calon pendaftar, meyakinkan dengan bahasa iklan yang kadang over tapi tetap jujur dan apa adanya.

Jenuh? Pernah ada. Karena aku memang tidak menyukai pekerjaan itu. Belum maksimal sebagai front office, aku didapuk merangkap mengurusi keuangan perusahaan. Satu bidang yang juga tidak kusukai.Aku tidak bermasalah dengan angka. Angka adalah favoritku. Dan aku sangat suka berkutat dengan angka. Tapi aku benci berurusan dengan uang, apalagi harus bertanggung jawab atas cash flow perusahaan.

“ Dulu kuliah di mana, Mbak? “ Tanya Pak Adi.

Aku tersenyum.

“ Saya belum kuliah, Pak.”jawabku.

“ Oh, masa? Bahasa Inggrisnya lancar. Saya kira kuliah di jurusan Bahasa Inggris juga.”

“ Tidak, Pak. Saya hanya lulusan SMA.”

“ Oh…” Pak Adi tampak manggut-manggut. “ SMA mana? “ sambungnya.

“ SMA 1 “

“ Lulusan tahun berapa? “

“ Tahun lalu, Pak. “ ujarku, tanpa melepas senyumku.

“ Wah, masih baru. Nggak ada niat untuk kuliah, Mbak?”

Aku sedikit kesal. Hmmm…bekerja di lembaga kursus bahasa asing, bagi sebagian besar orang membutuhkan ijasah S1 di bidang itu. Makanya mereka terheran-heran, mendapati salah satu karyawannya hanya lulusan SMA. Lebih heran lagi, karena bisa berbicara Bahasa Inggris aktif lebih baik ketimbang orang tua siswa itu.Padahal aku hanya menghafal kalimat- kalimat sapaan yang sederhana dan biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari.

“ Ada, Pak. Tapi menabung dulu.”

“ Bapak kerja apa? “

“ Bapak saya sudah meninggal.”

“ Ibu? “

“ Pedagang. “

“ Sudah lama Bapak meninggal? “

“ Saat saya kelas 5 SD. “

“ Ibu tidak menikah lagi? “

“ Tidak, Pak. “

Pak Adi menatapku tajam. Jujur, aku risih ditatap seperti itu. Andai Pak Adi tahu, aku tidak suka dengan pertanyaannya.

“ Kamu anak pertama? “

“ Saya anak ke 3. Kakak saya 2, adik saya 3. Saya perempuan sendiri. Kakak pertama saya teknisi PS, yang kedua di Jogja. Adik pertama saya kelas 3 SMK, yang kedua kelas 1 SMP, dan yang paling kecil masih kelas 2 SD.” Jawabku, panjang lebar, sebelum Pak Adi bertanya lebih jauh.

Aku bosan dengan pertanyaan yang sama dari orang-orang yang berbeda. Sudah ratusan kali, tiap bertemu orang baru, pertanyaan itu selalu ada. Dan aku selalu berada pada posisi harus menjawabnya.

“ Berapa usia ibumu? “

“ Sekitar 45 tahun. “

Pak Adi terdiam.

“ Kakak pertamamu umur berapa? “

“ Kelahiran ’84, Pak. “

Aku bisa membaca apa yang sednag dia lakukan, mencoba menghitung usia ibuku saat menikah dulu.

“ Berarti, ibumu menikah di usia belasan ya? “

Aku mengangguk.

“ Ayahmu meninggal, 9 tahun lalu. Hmm…kenapa ibumu tidak menikah lagi? “

Aku ingin menjerit. Atau melarikan diri dari pertanyaan seperti ini. Berharap, kelas Afan segera berakhir.Maka introgasi tentang kehidupanku akan segera berakhir.

“ Kalau saya pribadi, saya nggak mau punya ayah tiri.Lagipula masih ada kakak pertama yang bisa menggantikan tugas ayah.Ibu juga tidak pernah mengungkapkan keinginannya untuk menikah lagi.”

“ Oh. Tapi, kalau kamu berfikir ibumu baik-baik saja, kamu keliru. Mungkin di hadapan kalian, ibumu tampak kuat, tegar. Seolah tidak masalah beliau menjadi tulang punggung keluargamu. Ibumu selalu berusaha tersenyum. Tidak menangis. Tapi sebenarnya ibumu kesepian.”

Pak Adi menarik nafas.

“ Kenapa saya bicara begitu? Karena saya tahu perasaan ibumu. Istri saya meninggal saat Afan kelas 1 SD. Sudah 4 tahun berlalu. Dan rasanya menyedihkan. Bukan karena kebutuhan lahir, tetapi batin. Tidak ada tempat berbagi. Itu yang sangat menyiksa.

Aku menyimak.Hatiku tidak karuan.

“ Apalagi ibumu menjanda selama 9 tahun. Mungkin kamu berfikir, ibumu akan bercerita atau melibatkan anak-anaknya untuk menumpahkan perasaannya. Itu tidak akan terjadi. Karena bagi seorang ibu, berapapun usia anak-anak nya baginya mereka tetap anak kecil yang tidak perlu tahu sakit yang dirasakannya. Sakit yang dipendam. “

Bibirku bergetar.

“ Coba kamu tanya ibumu. Sedikit bercanda, tawari ia menikah. Mungkin saja kamu tidak tahu, kalau setiap malam ibumu menangis. Terlebih bila malam menjelang lebaran.Kamu melihat ibumu baik-baik saja. Tapi apakah benar emikian? Ibumu butuh seseorang untuk mendampinginya. Yang bisa mendengar setiap keluh kesahnya.Tempat berbagi cerita, mencari solusi dan mengambil keputusan. Sembilan tahun itu lama. “

“ Begitu ya, Pak ? “ air mataku hamper tumpah.

Pak Adi seolah tahu apa yang kurasakan. Ia berhenti menceramahiku.Sesekali melirik arlojinya. Lima menit kemudian, keributan terjadi dari dalam. Lama-lama makin jelas. Kelas Afan sudah berakhir.

“ Bapak!” teriaknya riang.

“ Ya sudah, Mbak. Saya pamit dulu. Coba renungkan. Benar tidak kata saya tadi.”

“ Iya, Pak. Terima kasih atas nasehatnya. “

Begitu ruang tamu sepi, aku merenung. Memikirkan kalimat-kalimat Pak Adi. Mataku bertelaga. Kemudian tanggulnya jebol, membentuk anak sungai di pipiku.Pikranku menjelajah kemana-mana. Tapi di sana selalu muncul wajah ibuku. Aku memutar music keras-keras, tapi tetap tidak menenangkan hatiku yang makin belingsatan.

Adzan ashar memngingatkanku untuk sholat ashar. Ku ambil air wudhu. Sholat. Bergetar bibirku saat membaca suat Al – Fatihah. Entahlah, kosentrasiku buyar. Begitu selesai, aku tidak langsung beranjak dari mushola. Aku terpekur. Menatap gambar masjid di sajadah tempatku duduk. Air mataku kian luruh. BAyangan ibu dengan berbagai ekspresi bergantian hadir.

Usiaku 20 tahun. Tapi baru kali ini aku memikirkan anjuran pernikahan untuk ibuku.Aku menangis, mengingat perjuangan ibuku untuk kami. Lagi Iwan Fals bertajk Ibu berkelebat di pikiranku. Semakin ku coba tersenyum, semakin mewek. Tidak tahu, bagaimana mengungkapkan perasaanku saat ini.

●●●

Aku gelisah menunggu ibuku pulang. Sampai jam 10 malam tak kunjung dating. Akhirnya aku tertidur. Tengah malam, aku terbangun. Kudapati ibuku tidur di sampingku. Lelap sekali, dan tampak sangat lelah.

Kupandangi wajah itu tiap malam. Tiap beliau tidur. Kuamati keningnya. Matanya yang terpejam, hidungnya, bibirnya. Dan aku terisak. Isak tangis dalam malam yang panjang. Dan untuk pertama kalinya pula, aku ingin ibuku menikah lagi. Bukan demi aku, kakakku atau adikku, tapi demi dirinya sendiri.

Malam selanjutnya, kutenui ibuku. Dengan sdikit bercanda aku bertanya.

“ Kenapa? “

“ Mumet. “jawabnya.

“ Makanya biar nggak mumet nikah aja. “ ujarku sambil tertawa.

Tapi sungguh itu permintaan yang kuharap mendapat persetujuan darinya.

“ Halah, sudah tua. “

“ Ya gak apa-apa.”

Ibuku tertawa,kemudian keluar meninggalkanku.Apa aku terlalau cengeng, bila aku menangis lagi”

“Kalaupun ibu menikah lagi, aku pasti menjadi orang pertama yang akan setuju. “ batinku.

_END_

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun