Langit kota kini berwarna merah meninggalkan warna emas yang sirna ditelan waktu. Memang tidak menarik, tapi tidak untukku yang telah kehilangan jiwa seorang adik. Rasanya langit itu menertawakan hidupku yang mengejar-ngejar jiwa yang berpindah dunia. Semakin merah semakin menyakitkan. Sungguh aku tak bermaksud berbagi pilu. Aku hanya ingin bercerita, dan ku harap sedikitnya akan melegakan hati ini yang kian hari terasa dihimpit salah dan dosa.Cerita ini tentang adikku. Adik laki-laki yang teramat ku sayang. dia seorang yang pintar dan cerdas semanagat belajarnya tinggi, bisa kurasa dari setiap langkah nafasnya ketika bersuara. Ide-idenya begitu hebat membuat aku terheran-heran akan pemikirannya. Mungkin orang lain tidak menyadari tapi tidak dengan aku sebagai kakak perempuannya. Deret-deret pikirannya tak pernah berhenti menghantarkan sinyal-sinyal kecerdasan yang luar biasa. Sungguh aku tidak bisa lupa banyak sekali yang telah dia buat yang membuat aku iri kepadanya.Mungkin inilah yang selama ini mendorongku untuk belajar. Aku ingin seperti dia walaupun aku seorang perempuan. Menciptakan sesuatu ,apapun itu yang terlintas dalam pikiran. Membuat bayangan menjadi nyata yang bisa diraba oleh indra dan hati. Tapi aku belum bisa. Selama ini aku hanya bermain dan bergelut dengan lembaran-lembaran kata yang hanya bisa kumengerti tanpa kurasai. Begitu beda aku dan dia.Sedikit cemburu aku akan dia, laki-laki yang sempurna rupa. Dia memang beda rupanya begitu menarik. Kulitnya putih, matanya sayu,berbadan tegar memberikan rasa nyaman bagi yang melihatnya. Meskipun hatinya terlalu rapuh untuk disakiti. Dia begitu terbuka, mudah berbagi cerita. Periang,pemarah, ambisius setiap apa yang diinginkan harus dipenuhi. Suatu perpaduan watak dan rupa yang menarik.sayang kini dia sungguh berbeda. Denis namanya. Tak yakin kini aku akan dia.
Kini merah berganti pekat menabur warna gelap pada malam yang panjang. Semakin yakin akan kegalauanku membuat bintang tak rela menampakkan diri. Malam ini Denis tidak pulang lagi, entah kemana perginnya dia. Untuk kesekian kalinya Denis membiarkan kami khawatir akan dirinya. Aku,Ibu dan Kania si adik bungsuku dibiarkannya menunggu di rumah yang penuh duka ini. Kami tinggal berempat setelah berpulangnya bapak lima tahun silam. Kelu, pedih, resah kian hari kian mewarnai rumah kami.
“Ibu..bu” kubuyarkan lamunan ibuku.
“Ya..” dia sedikit terkejut dan mengarahkan pandangannya kepadaku
“Apa sebaiknya neng keluar bu, siapa tau ada yang meliha Deden malam ini?” kutannya Ibu dengan sangat hati-hati
Ditolehnya jam tua yang tergantung di dinding usam itu.
Sambil menghela nafas Ibu menjawab “ Hemm..jangan neng sudah mala mini. Lagian Ibu tidak ingin orang lain tau akan masalah Deden neng. Cukup kita saja.”
Aku mengerti akan jawaban Ibu. Sebagai orang tua satu-satunya tentu saja beban beliau sungguh berat mengasuh dan mendidik kami. Tak rela aku jika beliau disalahkan tak bisa mendidik anak,terutama oleh keluarga bapak yang aga sedikit sentimen pada kami.
Denis, entah apa yang ada dipikirannya kini aku sungguh tidak tau siapa yang meracuni pikirannya. Tahun pertama di SMP dia amat terpukul dan mulai berubah. Aku masih ingat, saat itu aku duduk di kelas tiga SMP dan dia di kelas satu. Aku tak menyangka hari Senin itu merubah segalannya. Waktu itu kami akan melaksanakan upacara bendera hari senin. Tapi itu urung kami lakukan. Kami harus segera meninggalkan sekolah. Kami tidak tau ada kabar apa. Yang jelas terlihat raut kedukaan di wajah guru-guru kami. Kami bingung dan hanya tersenyum getir. Sampai dirumah Uwa, kami semakin bingung kenapa ada banyak sekali orang dirumah itu. Firasatku mulai tah enak, badanku tiba-tiba melemah. Aku tak sadarkan diri walaupun ku tak tau apa penyebabnya. Terbangun dan aku mulai tersadar, semua orang menangis. Ibu terus menjerit. Kania yang malang diam terpaku membuat pandangannya melemah. Dan Denis, dia..dia..dia tidak ada di kamar ini. Aku melemah bergerak seperti zombi.Orang-orang menatapku. Kudapati Denis di ruang tamu yang besar itu yang kini terasa lebih sempit dan pengap dipenuhi oksigen kedukaan sedang menatap lamat Bapak yang terbujur kaku. Beliau telah berpulang. Dadaku terasa menyepit membuat air mata kedukaanku menetes. Semakin tak kuasa aku menjerit, menangis dalam bacaan surat yasin ku. Setelah hatiku mulai tersadar ku peluk Ibu,Denis dan Kania seakan ingin ku berbagi kata semuanya akan biasa saja. Aku salah, sejak itu denis berubah. Dan semua orang salah, aku berubah juga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H