Mohon tunggu...
Zidan RifqiAzizi
Zidan RifqiAzizi Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiwa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Saya adalah mahasiswa aktif UIN Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan 21 dengan jurusan Pendidikan Kimia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Good Looking sebagai Salah Satu Faktor Kesejahteraan di Indonesia

27 Juni 2022   10:18 Diperbarui: 27 Juni 2022   10:58 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Di dunia ini tidak ada orang yang terlahir sesuai dengan keinginannya, terutama secara fisik. Kita tidak bisa memilih dilahirkan dengan hidung mancung seperti orang Arab.

Kita tidak bisa memilih dilahirkan dengan kulit putih seperti orang Korea. Kita tidak bisa memilih dilahirkan dengan tubuh tinggi seperti umumnya orang barat. Secara finansial, kita tidak bisa memilih dilahirkan sebagai anak dari orang tua yang mapan. 

Kita tidak bisa memilih lahir sebagai Rafthar. Begitu juga dengan strata sosial, kita tidak bisa memilih dilahirkan sebagai anak dari anggota dewan yang memiliki banyak keuntungan.

Di Indonesia, berapa banyak jomblo yang ditolak cintanya karena tidak tampan atau cantik? Sementara hakikatnya cinta tidak memandang fisik. Berapa banyak orang di Indonesia yang ditolak lamaran pekerjaannya, karena berpenampilan menarik menjadi salah satu syaratnya? 

Sementara orang-orang tersebut melamar pekerjaan justru karena membutuhkan uang untuk membeli pakaian yang rapi, parfum yang  wangi, juga makanan yang bergizi agar tubuh berisi. Berapa banyak anak yang putus sekolah karena kendala biaya? Sementara tidak ada jaminan semua anak mendapatkan beasiswa.

Good looking  dan mapan sudah menjadi kesenjangan sosial yang nyata di negeri ini. Belum lama ini sosok ketua umum salah satu partai melemparkan lelucon, mewanti-wanti agar anaknya tidak menjadikan tukang bakso sebagai pasangan. 

Lantas bagaimana cara membenahi kesenjangan sosial di lingkungan masyarakat, jika dalam sebuah rakernas-pun kesenjangan sosial masih ada. Tukang bakso tidak bisa mendandani dirinya karena mereka berbeda dengan yang duduk di kursi sana. 

Tukang bakso tidak memiliki gaji yang tetap dan tunjangan-tunjangan untuk membeli skin care. Mungkin itu hanya sebuah lelucon, tapi apakah lelucon itu bisa diterima? Seorang komika bahkan berhati-hati dalam memilih lelucon yang di lontarkan dalam sebuah platform.  Mengapa banyak masyarakat terutama netizen yang membela tukang bakso? 

Sederhananya adalah karena tukang bakso lebih dekat dengan masyarakat daripada anggota dewan. Pedagang bakso lebih sering bertemu rakyat, setiap hari blusukan untuk mencari warga yang lapar dan tidak hanya saat viral dan di tahun politik saja.  Bhineka Tunggal Ika adalah semboyan cinta dan cinta bukan kalkulasi. Memangnya kenapa kalau jadi tukang bakso? Jika menyinggung soal genetik,  ada apa dengan genetik tukang bakso?

Tidak bisa dipungkiri lagi jika good looking adalah salah satu faktor jika ingin sejahtera tinggal di Indonesia. Solusi dari kesenjangan sosial ini adalah mapan. 

Jika sudah tidak good looking dan tidak mapan, entahlah. Dan untuk kasus guyon, semoga bisa diolah lagi sebelum menjadi konsumsi publik. Sebuah lelucon pasti menyinggung satu sisi. Namun jika yang tersinggung lebih banyak dari yang tidak, sepertinya itu bukan lelucon.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun