Puisi puisi itu lalu terbang pergi satu satu, hinggap, memberkati kehidupan di belakang rumah tepi sawah itu.Â
Di saat merayap senja, ada kalanya Penyair paruh waktu duduk asyik meronce dan menyulam kata, menjadi semacam taplak meja, memakai pena di tangannya.Â
Tak ada kekasih hati yang menghampiri, sebab dia telah berpulang, bersemayam bersama tenteram dan keabadian. Penulis paruh waktu sudah terbiasa begitu, menyulam kata bersama senja,Â
"Sendirian atau bersama kita sama asyiknya, bukan? Apa yang perlu kalian cemaskan", ujarnya kepada sekawanan kupu kupu malam yang terbang melintasi lingkaran lampu, yang menyala di beranda halaman rumah kalbu.Â
Penyair paruh waktu bersenandung, seperti kumbang mendengung di kelopak bunga yang merona mekar, mengudar semua rahsa, yang tumbuh semerbak di sepetak ruang taman kalbunya.Â
Sesekali peluhnya jatuh, akibat mimpi yang terik, dan imajinasinya meruang gersang, namun dengan sabar dia memunguti setiap kata yang tersisa, merawat, menjeda dan menyulamnya kembali menjadi sebentuk puisi cinta.
Di menjelang malam Penyair paruh waktu telah sempurna menyulam kata, menjadi sebentuk motif selimut, dia menyudahi hari, tidur nyenyak hingga pagi, terlelap bersama selimut puisi yang dia gali dari dalam rahsa sanubarinya sendiri.Â
Angin malam berhembus, dingin termangu
di pinggir pagar kayu bertuliskan "Penyair paruh waktu", itu.
Sawangan, Magelang, 14 Juli 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H