Kisah di Balik Cerbung Kompasiana: "Sandhyakalaning Baruklinting"
Begini"Kapan tayang episode berikutnya, Wibi?"
"Lho kamu mengikuti kisahnya to, Rawan, kirain", jawabku.
"Apa harus kukirim alamatku, biar kamu kirim novelmu?"
"Sebentar, kenapa kamu tiba-tiba suka novel, bukannya kamu suka lukisan?", tanyaku.
"Kita kawan lama. Aku suka gaya tulisanmu, diksinya renyah, asyik aja. Pokoknya keren"
**
"Itu novel belum jadi, Rawan. Masih sampai di episode #25 tayang sebagai cerbung di Kompasiana"
"Aku tahu. Kan aku baca cerbungmu di Kompasiana. lalu kapan selesainya? kamu kerjain saja tidak, iya kan? Sudah kayak nunggu blorok ngendog saja, aku kan pengen tahu kisah selanjutnya".
"Sembarangan. Kamu kira nulis cerbung atau novel itu semudah bikin mie godog?", ujarku. Dia ketawa.
**
"Kalau boleh tahu, itu ide ceritamu darimana? Kamu kok tahu sih tentang Mangir, detail dusun dan desa di Bantul? Padahal kamu kan tidak pernah masuk pelosok Bantul? Apalagi tentang ilmu kejawen, keris pusaka kuno, tuah dan halah apalagi itu. Gimana sih kamu kok bisa menulis kisah sekeren itu? Aku Jadi penasaran", tanya dia lagi. Kali ini nadanya serius.
**
"Selain riset kecil kecilan. Aku pakai ritual khusus, itu cerbung berbau wingit, tentang kisah kuno, harus mbakar menyan dan sesaji kopi pahit lebih dulu, sebelum nulis", jawabku sekenanya.
"Hah, mosok, rak ngandel. Gak percaya. Sampai segitunya? serius, beneran, Wibi?" Tanya dia, penuh penasaran.
"Sak karep imajinasimu", jawabku singkat.
Dan dia kawan lamaku itu spontan tertawa ngakak. Aku ikut ngekek. Hehehe.Â
*** Â
Lalu saya dengan lahap menyantap Mie godog buatan kawan lamaku itu yang sedari tadi tersaji di atas meja. Oiya, dia kawan lamaku sejak satu asrama di SMA Seminari Mertoyudan Magelang belasan tahun lalu. Dia adalah Cosmas Rawan Ismunanto, bos InCito perusahaan mapan di bidang HR di Jakarta. Pertemuan kami di lantai dua rumahnya yang asri di Kalimalang, beberapa waktu lalu sungguh membungahkan. Mengakrabkan. Sebuah reuni tipis tipis yang juga mengenyangkan!
"Mantab Mie godog mu, Wan". Ujarku kepada Cosmas Rawan, setelah sepiring mie Godog khas Imogiri buatannya sendiri itu telah tandas tinggal piringnya saja. Lalu dia membikin lagi, satu piring dan dibungkus.
"Yang ini Mie goreng, kamu bawa pulang, Wibi. Tapi awas segera selesaikan novelmu, lalu segera kirim kemari", ujar kawan lamaku itu. Mantab mas brow! Ujarku singkat. Lalu kami berpisah.
Udarasa Penulis Pemula
Ya, membuat cerita bersambung (cerbung) episode demi episode, jujur itu bukan perkara mudah. Saya membutuhkan perjuangan dan doa (seperti judul film Roma Irama) tak semudah seperti membikin sepiring Mie godog khas Imogiri.
Memang benar ada cerbung saya yang sedang tayang di Kompasiana dan ditunggu episode selanjutnya oleh pembaca, setidaknya oleh tiga kawan saya Cosmas Rawan yang bos InCito itu, romo Rudy  Hardono, pastor paroki di Boyolali, dan mas Anton Sudarismanta di Bantul.
Cerbung itu hingga kini belum tamat. Sengaja saya biarin terhenti di episode #25, semenjak ada sedikit kecewa dimana tiga episode berurutan #22, #23, #24 yang telah selesai kubuat, dan ketika saya upload ke Kompasiana, status tayangnya oleh bang mimin kompasiana cumak diapresiasi label "Cerbung" saja, bukan dilabel "Cerbung/Pilihan", apalagi "AU". Ya mengalami fakta dan derita itu, sebagai penulis pemula kemaren sore di Kompasiana, mendadak saya merasa kena mental, ngedropplah saya..ha ha ha.
Bukan napa-napa, sebab di banyak episode sebelumnya, cerbung yang saya kirim ke Kompasiana itu, selalu PASTI oleh bung mimin lolos diberi label "Cerbung/Pilihan". Dan label "Pilihan" itu sebenarnya cukup penting membuat nyaman saya penulis pemula, pendatang baru, anak kemaren sore bergabung baru dua bulan di Kompasianer, dengan 100 artikel / 78 Pilihan / 8 Artikel Utama (mulai menulis tepatnya pada 10 April 2023).
Terus terang, karya cerbung ini adalah proses novelku yang kedua, setelah novelku berjudul "Clara Putri Seorang Mafia" telah terbit jadi buku lebih dulu, dan kujual online. Saya jadi bertanya tanya dalam hati. Apa yang keliru dari saya, sehingga label kategori "Pilihan" yang biasanya mudah saya dapat, pun kini kok seperti sulit kudapat?
Sebagai pemula di Kompasiana, wajarlah saya jadi bertanya tanya dan apakah memang sudah memburuk gaya tulisanku di tiga episode itu, dibanding belasan episode sebelumnya, sehingga tak pantas mendapat label "Cerbung/Pilihan" dari mimin? Lalu saya telisik, kucek ulang diksi demi diksi, alinea demi alinea. Apanya yang keliru dariku? Justru di tiga episode itu puncak ketegangan cerbung ini berada. Kenapa justru mendapat apresiasi dibawah standar dan harapan? mendadak saya kesal.