"Tujuh ayam jago sliring kuning", jawabku pendek.
Orang-orang itu terjengah. "Hah! Semudah itu? Apa ada uborampe lainnya, sehingga kami siapkan, Mas?"
"Itu saja. Bawalah ke sini untuk dirituali Aki empatpuluh hari, empat puluh malam. Ritual seperti pencalonan presiden terdahulu", jawabku sekenanya. Dan mereka pun percaya pada ucapanku.
**
Entah siapa yang menyebarkan. Sejak itu beredar kabar di seluruh tanah Jawa, bahwa dicari untuk dibeli mahal segera, dengan mahar sekian M: "tujuh ekor ayam jago Sliring Kuning". Tentu kabar itu menggegerkan banyak orang. Dan para pedagang di seluruh pasar ayam lokal, di kota besar dan di pelosok desa membincangkan hal itu: "Ayam jago Sliring Kuning dibeli mahal sekian M oleh orang pejabat dari pusat", kata mereka.
"Bukan ayam Cemani hitam mulus yang darah dan lidahnya warnanya hitam kelam?"
"Bukan. Ayam jago Sliring Kuning"
"Kok bukan rantai babi, anti cukur, keris berdiri, merah delima, atau apa itu yang biasa dipakai para pejabat tinggi?", tanya seseorang di antara mereka.
"Ngawur. Pokoknya ayam ya ayam. Pitek. Dihargai mahal sekian M, seperti harga pedang SM samurai putus paku itu lho. Keren kan. Kaya kita. Ayo kita buru ayamnya. Cari sampai ketemu".
"Ayam yang kayak apa itu?", tanya seorang yang  lain.
"Halah. Ora ngerti. Pokoknya cari, mumpung ada yang mau beli. Siapa tahu jadi rejeki kita"
"kita bisa kaya?"