Lelaki Berdiri di Ujung Jalan Simpang
Lelaki berdiri di ujung jalan simpang, dalam jubah bertudung cokelat seperti pengembara, mematut diri, ragu meneruskan arah.
"Kemanakah kaki musti melangkah?", ujarnya dalam hati. Mulutnya mendaras doa-doa entah apa yang diucapkan, mungkin sebait mantera yang dia pungut dari balik jubahnya.
"Hendak menuju ke manakah engkau?", tanya angin yang mampir, berhembus di sudut jalan itu.
Lelaki tak menjawab, berdiri di ujung jalan simpang sendirian. Menoleh ke kiri dan ke kanan.
"Apa yang kau cari?", tanya angin yang lain, berhembus dan berlalu, ke arah kanan jalan itu.
Jalan itu menyimpang ke dua arah yang berbeda. Semua angin berhembus leluasa ke semua arah mata angin, bebas dan gembira, ada yang berhenti sebentar, lalu pergi berhembus, berlalu.
Lelaki berdiri di ujung jalan simpang. mendaras doa-doa, yang dia pungut dari balik jubahnya.
"Aku mencari arah jalan kebahagiaan. Jangan kau tanyai aku lagi", ujarnya kepada sekawanan angin yang berhembus ke semua arah jalan itu. Kawanan angin itu tertawa dan berlalu.
Lelaki di ujung jalan sendirian. Dia merenung, mencari petunjuk, namun semua terasa samar. Lelaki di ujung jalan itu terperangkap dalam keraguan tak berkesudahan. Tapi dalam kebingungan itu, dia menyadari sebuah kebenaran, bahwa tak selalu jalan yang mudah adalah jalan yang benar. Tetapi jalan yang penuh liku pun belum tentu benar.
"Apakah kebenaran?" katanya pada diri sendiri. Tak ada jawaban.
Lalu lelaki bertanya pada angin yang berhembus, "Tunjukkan arah jalan kebenaran dan kebahagiaan yang benar. Kiri atau kanan, mana yang harus aku pilih?"