Asap Hitam di Jalegong (#17)
Jalegong, Lereng Selatan Gunung Ungaran
Waktu berjalan lambat dan senja belum sempurna menjemput malam. Semburat sinar matahari yang kuning keperakan tampak membuncah di punggung awan yang menyelimuti Gunung Ungaran sebelah Selatan. Angin lembah belum berhenti berhembus kencang bersama turun kabut, menerobos di celah-celah gerumbul pohon pinus yang bergoyang-goyang. Sebagian cahaya matahari senja itu tampak jatuh menyinari pelataran Candi Sembilan di Jalegong dekat gerumbul pepohon pinus sebelah sana. Bunyi gemeretak api sesekali terdengar dari tumpukan kayu bekas bangunan yang telah roboh di beberapa tempat pelataran itu. Beberapa bangunan candi rusak sebagian, berserakan bebatuannya di sepanjang pelataran kawasan itu.Â
Kawasan yang berjuluk pasraman Jalegong tempat pusat gladi segala keterampilan linuwih dari orang-orang Wong Kalang itu, kini tampak rata dengan tanah. Tak ada bangunan utuh yang tersisa. Hanya abu dan asap api berwarna hitam mengepul dari beberapa tempat yang masih menyisakan bara api di tempat itu. Tak ada denyut kehidupan manusia di tempat itu.
Terasa begitu sunyi, hanya sesekali terdengar bunyi Tongeret dan burung Bulbul di pepohonan pinus itu, ditimpa deru angin lembah yang turun bersama kabut yang mengerisik bunyinya di sela dedaun pinus yang saling bergesekan.Â
Dua orang berkuda tampak muncul dari kejauhan pelan-pelan memasuki kawasan Jalegong. Mereka Ki Suta dan Ki Nala, para pendekar berjuluk "Sepasang Ular Kembar dari Selatan" itu adalah utusan khusus Baruklinting. Mereka diutus untuk datang ke pasraman Jalegong, dan memboyong Dewi Ariwulan, ibunda Baruklinting itu untuk dibawa ke Mangir.Â
"Sepertinya ada yang kurang beres terjadi barusan di tempat ini, kakang Nala".
"Benar dimas. Sebaiknya kita tetap waspada", ujar Ki Nala.
"Tak ada pergerakan kehidupan manusia. Hanya sisa-sisa asap hitam mengepul akibat kebakaran di tempat ini".Â
"Aku tidak yakin bahwa tempat ini terbakar dengan sendirinya, dimas".
"Maksud kakang, tempat ini sengaja dibakar? Oleh siapa?". Kedua orang itu lalu turun dari punggung kuda, mengikat tali kekang kuda mereka ke pohon, dan berjalan kaki masuk kawasan yang sebagian telah dipenuhi oleh asap hitam itu.Â
Belum usai keduanya berbicara, tiba-tiba dari balik gerumbul semak di sisi kiri dan kanan kedua orang itu, bermunculan sosok-sosok orang berpakaian serba hitam. Mereka berkelebat begitu cepat, berlari dalam formasi mengitari Ki Suta dan Ki Nala.Â