Pesan Terakhir Ibu (#3)
Ki Hajar Salokantoro menaruh perhatian yang besar pada kemampuan Joko Baru yang membuat kagum semua orang itu. Lalu dia membawa Joko Baru sebagai murid, untuk dilatih berbagai ilmu linuwih di pasraman Jalegong.
Pasraman itu letaknya tak jauh dari Desa Aran di mana ibunya tinggal. Tempat itu adalah pusat gladi kadigdayan dan pusat pelatihan ajijaya kawijayan bagi sekelompok anak-anak muda. Konon anak-anak muda itu dipilih dari mereka yang berasal dari orang sisa-sisa pelarian Majapahit, terutama yang berasal dari Jawa Timur.
Adapun guru atau resi yang sebagai pengajar di pasraman pimpinan Ki Hajar Salokantoro itu konon adalah berasal dari kaum Wong Kalang. Wong Kalang adalah kelompok orang Jawi kuno yang memiliki kecerdasan tingkat tinggi dan menguasai aneka ilmu linuwih di tanah Jawa. Wong Kalang sebenarnya juga adalah orang-orang yang berasal dari sempalan pasukan khusus kerajaan Majapahit yang melarikan diri setelah keruntuhan Majapahit di tahun 1400 saka. Pasukan khusus itu bersandi Bhayangkara!
Di pasraman Jalegong, terutama di pelataran yang disebut balai Pelataran Gedong Songo atau Gedung Candi Sembilan di lereng Gunung Ungaran sebelah Selatan, kaum Wong Kalang tidak saja mengajarkan ilmu kadigdayaan bagi para murid, melainkan juga mengajarkan ilmu bercocok tanam dengan metode kuno tetapi menghasilkan panen melimpah, mengajarkan tehnik membuat tosan aji, termasuk berbagai ilmu membuat aneka ukiran dan tehnik membuat bangunan candi.
Joko Baru dengan cepat menyerap segala ilmu, terutama ilmu jaya kawijayan yang diajarkan para gurunya di pasraman itu. Ki Hajar Salokantoro dan para guru dari Wong Kalang merasa kagum dan heran pada kemampuan anak kecil itu.
Berbagai tehnik penguasaan ilmu-ilmu ajian Jawi kuno tingkat tinggi dengan mudah dikuasai oleh Joko Baru. Ilmu ajian itu di antaranya: Rawarontek, Gelap Ngampar, Lembu Sekilan, Waringin Sungsang, Saifi Angin, ajian Pancasona, ajian Brajamusti, ajian Inti Lebur Sakethi, Kidang Kencana, Blarak Sineret Bayu, ajian ilmu Karang, Gendam Jiwo, Teluh Wiso, ajian Kantong Macan.
Di antara ajijaya kawijayan itu ada dua ajian pamungkas yang hanya dikuasai oleh segelintir orang saja di tanah Jawa, termasuk Joko Baru. Sebab untuk mendapatkannya, orang harus mampu melewati berbagai ujian dan lelaku tirakat tingkat tinggi. Dan itu tidak mudah dijalani. Untuk mendapat ilmu kuno itu tak jarang orang harus melakukan tapa brata 40 hari, tapa ngidang hanya memakan daun dan minum air putih saja, tapa ngalong berdiam di atas pohon seperti kalong atau kelelawar dengan tubuh menggelantung terbalik ke tanah. Ditambah lagi aneka puasa dan matiraga dengan makan sekepal nasi pada pukul 00.00 dinihari.
Dua ajian tingkat tinggi itu adalah Waringin Sungsang dan Gelap Ngampar. Waringin Sungsang bermakna pohon beringin terbalik. Ajian Waringin Sungsang memiliki filosofi yang sangat dalam. Waringin Sungsang berarti pohon beringin yang terbalik di mana akarnya berada di atas, seperti pohon kalpataru. Pohon waringin sungsang ini bermakna sumber segala kehidupan, sumber kebahagiaan, keagungan, serta sumber asal mula kejadian. Konon, Ajian Waringin Sungsang merupakan ajian paling hebat dalam dunia olah kanuragan di tanah Jawa. Ilmu kanuragan tersebut memiliki kekuatan yang sangat dahsyat, siapa pun yang terkena serangan ajian ini akan terserap tenaga kesaktiannya kemudian lumpuh tak berdaya seketika.
Adapun ajian Gelap Ngampar berasal dari kata Gelap atinya petir, dan Ngampar berarti menyambar. Gelap Ngampar artinya Petir Menyambar. Gelap Ngampar termasuk sebagai ilmu tingkat tinggi yang bisa diterapkan melalui gelombang suara atau melalui saluran kekuatan telapak tangan.
Jika disalurkan lewat suara, maka yang mendengar bentakan akan langsung tuli. Dan bila ajian ini dibaca di tengah-tengah riuhnya peperangan, siapa pun yang mendengar teriakan dari pemilik ajian ini akan langsung bersimpuh menyerah atau melarikan diri. Bila ajian ini disalurkan lewat telapak tangan, tubuh yang terkena pukulannya akan terasa panas seperti tersambar petir, bahkan gosong tubuh itu jadi arang.