Ada banyak macam orang, yang semua ingin dianggap special. Namun jika kau perhatikan baik baik, hanya ada dua jenis manusia: pemangsa atau mangsa. Kijang berlari lebih cepat dari harimau, tetapi toh ia tetap menjadi mangsa. Entah kamu di posisi sebelah mana: pemangsa atau dimangsa. (Bayu Samudra, Mr.Dragon- Organisasi Naga Putih, 7-01-2023)note: Cerbung ini fiktif, terinspirasi dari kehidupan nyata dan ide sebuah film, nama dan tempat untuk dramatisasi peristiwa, tak ada di dunia nyata!
***
Penembakan Misterius (#01)
Dor..Dor! Dor! suara letusan pistol. Arahnya dari balik pintu. Jane melompat terkejut. Bola matanya membelalak saat dari balik lubang pengintai kaca pintu Jane melihat ayahnya sedang dalam masalah serius.
Seseorang berjaket tudung kepala hitam datang kearah ayahnya. Orang itu menembak ayah Jane berulang-ulang, dari jarak dekat. Dari balik pintu Jane panik, dia berusaha membuka pintu dengan sekuat tenaga. Tetapi tidak berhasil. Tubuh ayahnya yang terluka telah menahan pintu dari luar. Jane berteriak memanggil ayahnya berulang ulang.
"Ayah, buka pintunya ayah. Buka pintu!", Jane panik.
"Jane, jangan keluar. Di sini berbahaya. Di dalam saja...", kata ayahnya. Jane terus berusaha membuka pintu, tetapi sulit terbuka. Tubuh ayahnya tetap menahan pintu apartemennya itu dari luar.
Sementara lelaki berjaket tudung kepala hitam telah pergi berlalu meninggalkan ayah Jane yang terluka oleh peluru.
" Jane maafkan ayah, kerena telah membuat hidupmu susah", kata ayah Jane dari balik pintu.
"Tidak ayah, Jane tidak apa-apa", kata Jane dengan suara panik mencoba mendobrak pintu agar terbuka. Dia begitu khawatir pada apa yang terjadi pada ayahnya, setelah terdengar tiga letusan tadi. Jane menangis sebab pintu belum juga terbuka. "Ayah, buka pintunya...", katanya lagi.
"Kenapa berakhir begini", kata ayah Jane pelan.
" Semua salah ayah.... Jane putri ku, maafkan ayah".
Beberapa detik kemudian, akhirnya Jane berhasil membuka pintu saat tubuh ayahnya telah melemah dan menggelosor ke lantai. Darah tampak menggenang. Jane menubruk ayahnya. Jane berteriak minta tolong kepada siapa pun, tetapi tak ada tetangga yang keluar untuk menolongnya.
"Tolong ayahku. Tolong kami. Tolongg!", teriak Jane. Suaranya menembus lorong-lorong apartemen. Ayah Jane menghembuskan napas terakhir di pelukan Jane dengan bersimbah darah. Ayah Jane tewas. Jane menangis sejadinya. Suaranya mengiris perasaan siapa saja yang mendengarnya.
Sehari Sebelum Kejadian
Hidup Jane menjadi sangat kacau, semenjak ayahnya menjadi buronan polisi. Jane tidak tahu mengapa ayahnya menjadi buronan. Kegiatan kuliahnya juga berantakan, ketika banyak mahasiswa di kampus memperoloknya: "Anak preman woy, anak preman!", "Jangan dekat-dekat pecandu narkoba!". Jane tidak tahan pada semua olok-olokan seperti itu.
Pesan WA kepada ayah Jane tak pernah dibalas: "Ayah dimana? Kapan Ayah pulang? Semua orang mencari Ayah! Tolong ayah pulang. Jawab WA Jane yah! Ayah dimana? ".
Sudah tiga bulan ayahnya tidak pulang dan tak ada kabar. Itu membuat Jane kesal. Peristiwa perlawanan Jane karena dibuly di kampus, juga berakibat Jane dikeluarkan oleh pihak kampus. Tetapi sebelum itu terjadi, Jane memutuskan untuk mengundurkan diri dari kampus, bukan dikeluarkan.
Jane tinggal di sebuah apartemen. Sendirian. Setiap kali pulang, ada polisi yang selalu mengawasinya. Jane selalu merasa terganggu oleh kehadiran polisi itu. Mereka ingin mengorek informasi dari Jane tentang dimana ayahnya berada. Dan apakah ayahnya sudah menghubungi Jane? Jane tidak menggubris polisi itu, sebab dia sendiri bingung tidak tahu dimana ayahnya kini berada. Jane sesekali berlari ke pantai, menyendiri dan mengingat masa-masa indah bersama ayahnya melalui foto2 di HP. Ayah, pulanglah, kamu dimana? tanya Jane dalam hati.
Malam itu, tiba-tiba ayah Jane menelepon dari suatu tempat memakai telepon umum. Dari nomor telepon yang tidak dikenal, Jane mengangkat telepon itu. Ya itu suara ayahnya.
"Halo Jane, putriku yang cantik. bagaimana kabarmu? / Selamat ulang tahun ya putri ayah/kiriman hadiah Laptop dari ayah sudah Jane terima? / Ayah ingin tahu bagaimana keadaan Jane", suara dari ujung telepon.
Tetapi Jane terlanjur kesal kepada Ayahnya itu.
"Ayah kapan pulang? Kapan ayah ke sini? ayah dimana! Sudah sebulan aku diikuti polisi. Dan di kampus aku diolok olok karena disebut anak preman. Tetangga sudah pada tahu bahwa ayah buron. Di tempat umum foto ayah dipajang sebagai buronan polisi. Ayah dimana!", sergah Jane memberondong ayahnya dengan kata-kata.
"Mengapa kau tak menghubungi ayah", tanya ayahnya.
"Bagaimana menghubungi ayah, telepon ayah tak bisa kuhubungi. Bagaimana caraku menghubungi ayah?"
"Jane, ayah akan membereskan semuanya, dan akan kembali ke Jane. Tunggulah ayah", jawab ayahnya.
" Aku tak akan menunggu ayah lagi. Kuanggap ayah sudah mati. Jadi tolong jangan kembali. Lebih baik ayah mati saja, daripada merepotkan hidupku. Ayah selalu membuat hidupku susah", kata Jane memutus sambungan telepon. Jane menangis. Jane merasa sangat kecewa dan marah pada ayahnya. Dia mengurung diri di dalam kamar.
Sementara di suatu tempat, seusai teleponnya terputus, ayah Jane memutuskan diri untuk pulang malam itu juga. Dia tidak ingin mengecewakan putrinya itu. Dia merasa bersalah karena telah begitu lama meninggalkan Jane, tanpa memberi kabar sama sekali. Ayah Jane juga ingin menjelaskan apa yang tengah terjadi pada dirinya.
Tetapi saat tiba di depan pintu apartemen, Ayah Jane mengetuk pintu dan Jane tidak mau membuka pintu. Dia masih kesal dan marah pada ayahnya. Namun demikian Jane lalu berjalan ogah-ogahan ke arah pintu. Baru saja beberapa langkah ke pintu, sesuatu itu terjadi.
Dor..Dor! Dor! tiba-tiba suara tembakan! Peristiwa itu terjadi begitu cepat.
Di ruang otopsi rumah sakit, petugas meminta Jane untuk menyentuh tangan ayahnya dan melihat jasad ayahnya itu untuk terakhir kali.
"Peganglah tangannya. Inilah saatmu untuk terakhir kali menyentuh tubuh ayahmu. Sampaikan sesuatu atau berdoalah", tutur petugas otopsi. Jane mendekat, menyentuh tangan ayahnya. Di saat Jane menyentuh tangan itu, dia teringat peristiwa terakhir kali mereka pernah di suatu pantai, berjalan bergandengan tangan.
"Jika ayah bisa memutar waktu, di usia 17, ayah akan jadi apa? ", tanya Jane sambil kakinya menyisir buih di pantai, berjalan bersama ayahnya.
"Tidak tahu. Mungkin ayah tidak akan jadi ayahmu", kata ayah Jane bercanda. Jane merajuk.
Suara kerisik gelembung buih terbawa arus ombak ke bibir pantai. Debur ombak tak pernah usai menghantam dinding karang lautan di sebelah sana. Satu demi satu jejak telapak kaki mereka tertinggal di belakang. Jejak itu segera tersaput oleh gerakan air melandai yang baru datang. Jane dan ayahnya terus berjalan, bergandeng tangan menelusuri bibir pantai pagi itu.
"Kita akan segera memiliki rumah mewah di tepi pantai.
Tentu menyenangkan. Mau tidak?". "Kapan?", tanya Jane.
"Jika pekerjaan ayah selesai, sebentar lagi", jawab ayah Jane.
Itulah saat terindah yang sempat dikenang Jane saat bersama ayahnya. Kenangan itu begitu melekat. Sebab itulah saat terakhir Jane bersama ayahnya, sekian bulan yang lalu.
Kenyataannya ayah Jane kini telah tiada. Jane tak kuasa menahan rasa sedih yang dalam melihat tubuh ayahnya terbujur kaku, dengan sobekan di dada oleh bekas jahitan petugas otopsi. Di bagian dada kiri ayahnya, Jane melihat ada sebuah tato bergambar ular naga melingkar. Itu lambang sebuah organisasi: Mafia!
Jane memutuskan untuk mengkremasi jasad ayahnya, dan menyimpan abunya dalam sebuah guci.
Rumah Duka, RS Pusat Metropolitan
Di ruang rumah duka, rangkaian bunga dukacita dengan foto almarhum berada di tengah sebuah semacam altar, diapit dua lilin yang menyala. Tak ada tamu yang melayat. Kecuali Jane sendirian dirundung duka. Dia berdiri di samping altar, dalam balutan gaun pakaian hitam-hitam. Matanya sembab oleh airmata.
Semua ini karena keadaan yang terbawa oleh waktu. Keadaan yang berubah begitu cepat. Jika keadaan itu disebut dengan nasib, maka Jane berada pada nasib yang menyedihkan. Dia kehilangan seorang ayah, untuk selama- lamanya.
Tak lama berselang, datang masuk ke ruangan rumah duka itu, serombongan orang berseragam setelan jas warna hitam berbaju putih rapih dengan dasi, dipimpin oleh seseorang lelaki separuh baya maju paling depan. Mereka dengan santun, berdiri dalam beberapa lapis barisan ke belakang, membungkuk lama, memberi penghormatan terakhir pada almarhum. Jumlahnya ada sekitar tiga puluh orang. Mungkin lebih.
Jane menyapa lelaki itu. "Siapa kamu... ".
"Apakah kamu bos kelompok Gangster? Kamu menyuruh ayahku untuk melakukan sesuatu apa? Apakah kamu menyuruhnya... untuk memukul, mengancam dan membunuh seseorang?" tanya Jane memberanikan diri. Lelaki itu diam saja. Dia menatap ke arah Jane.
"Siapa yang membunuh ayahku?", tanya Jane lagi.
"Ayahmu adalah...teman dan saudaraku yang paling kupercaya...Dia juga seorang ayah yang baik. Ingatlah itu", jawab lelaki pemimpin rombongan orang-orang berdasi itu. Dia menyodorkan kartu nama. "Terimalah. Barangkali kamu membutuhkan sesuatu, hubungi aku", kata lelaki itu.
Lalu mereka pamit pergi meninggalkan rumah duka itu.
Mabes Kepolisian Metropolitan, Suatu Siang
Setelah mengkremasi jenazah, dan masa berkabung usai. Jane mulai mencari tahu siapa pembunuh ayahnya. Di kantor polisi, Jane menemui bagian satres kriminal metropolitan. Tetapi Jane tidak memperoleh jawaban yang memuaskan.
"Kenapa kasusnya dihentikan. Siapa pembunuh ayahku?" Polisi menjawab tak cukup bukti. "Jadi berakhir begitu saja? Tangkap pembunuhnya", permintaan Jane pada Brigadir Kepala (Bripka) Polisi Agus Supriyanto anggota satreskrim Metropolitan yang menerima Jane.
"Coba kau ingat. Apa yang terakhir kau katakan pada mendiang ayahmu, sehingga dia tergerak untuk pulang dan kembali? Dia adalah buronan nasional selama tiga bulan", tanya polisi itu.
Sekilas Jane teringat. Inilah yang ia katakan pada ayahnya terakhir kali saat ditelepon: "Aku tak akan menunggu ayah lagi. Kuanggap ayah sudah mati. Jadi tolong jangan kembali.", Itulah kata yang diucapkan Jane kala itu.
Mungkin ucapannya itu membuat ayahnya tidak tenang dan ingin segera pulang untuk menemuinya. Tetapi kepada polisi itu Jane diam saja tak mengatakan hal itu.
"Seharusnya kau suruh ayahmu menyerahkan diri. Jadi tidak perlu mati seperti itu", kata Bripka Agus kemudian.
"Seharusnya memang begitu, tetapi faktanya begini. Ayahku mati tertembak. Tolong tangkap pelakunya, tangkap pembunuh ayahku", ujar Jane. "Apa hanya karena ayahku seorang buronan polisi, sehingga ketika nyawanya hilang pun kalian polisi tak ada rasa peduli? ".
"Tidak cukup bukti. Kasusnya tidak bisa kami proses", kata Bripka Agus kemudian. Mendengar jawaban itu Jane marah dan kecewa. Tetapi dia tahu bahwa tak ada gunanya berdebat dengan polisi yang tak mau membantu mengungkap kasus pembunuhan ayahnya.
Jane lalu pergi meninggalkan kantor polisi. Rasa sedih, marah dan kecewa mengaduk aduk perasaan dan pikiran Jane.
Kepada kelompok preman yang ada di kota, dan kepada semua orang di dunia kehidupan malam, dimana dahulu ayah Jane sering mampir ke tempat seperti itu, Jane mencoba bertanya siapa pembunuh ayahnya. Tetapi tidak. Jane tidak memperoleh jawaban apapun di tempat itu.
Jane lalu nekat menemui pemimpin rombongan pria berdasi tatkala di rumah duka. Jane ingat bahwa lelaki itu pernah bilang: "ayahmu adalah teman dan saudaraku yang paling kupercaya".
***
( BEERSAMBUNG Ke Episode #2 )
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H