Aqiq Muttaqin
**Penulis merupakan Guru PPKn SMP Labschool Cibubur
Pemerintah Indonesia terus berupaya memperbaiki pendidikan di Indonesia sejak awal kemerdekaan dan juga terus berusaha memberikan jaminan pendidikan yang terbaik untuk warganya, segala upaya dan usaha terus dilakukan bongkar pasang kurikulum menjadi rutinitas dan hal yang biasa dalam setiap era penguasa. Namun, bongkar pasangnya kurikulum belum menemui titik terang atas kemajuan yang signifikan dalam memperbaiki pendidikan ataupun bisa menyamapadankan dengan negara-negara berkembang ataupun negara maju lainnya.
Belum lagi Indonesia sekarang dihadapi dengan berbagai "bencana" bukan hanya bencana alam di berbagai daerah Indonesia, namun juga bencana moral yang dihadapi para generasi Indonesia. Belum lagi permasalahan-permasalahan yang ada mengenai dengan korupsi, kelautan, dan bela negara serta setumpuk permasalahan yang dihadapi di Indonesia, sehingga para pembuat kebijakan pendidikan banyak menerima masukan-masukan ataupun titipan kurikulum dengan ditambahnya kurikulum korupsi, kebencanaan, bela negara, serta kelautan, sehingga kurikulum kita terlihat gemuk (tidak sehat, efisien, efektif) dalam pelaksanaannya.
Kurikulum kita dibandingkan dengan negara-negara maju asia lainnya saja tertinggal cukup jauh, Jepang contohnya mereka mengembangkan kurikulum sejak Play Group sampai jenjang SD khusunya memperkuat pendidikan (katakter) kultural, maksud Pendidikan (karakter) Kultural disini ialah kurikulum yang digali atas dasar budaya-budaya masyarakat yang baik, sehingga sejak dini anak-anak dapat menginternalisasikan pendidikan kultural dalam masyarakat, bercermin pada pendidikan karakter di jepang yang begitu serius dalam mengembangkan pendidikan karakter, dan hasilnya bisa dirasakan oleh mereka sekarang. Dalam pendidikan (karakter) kultural tidak hanya diajarkan dalam kurun waktu 1-3 tahun, namun keberlanjutan sampai ke jenjang yang lebih tinggi dan tentunya bisa di implementasikan dalam kehidupan bermasyarakat.
Di Indonesia sendiri para penggagas kebijakan pendidikan di Indonesia dalam beberapa dekade ini gencar menggaungkan pendidikan karakter sebagai solusi masalah pendidikan kita yang dinilai telah salah arah dan penerapannya, namun pada pelaksanaannya hal itu jauh panggang dari api.
Dengan memprioritaskan pendidikan karakter, mereka tentunya beharap komunitas pendidik dan masyarakat akan menggali sisi afektif siswa dan seiring dengan tujuan pendidikan itu sendiri, dan pendidikan tidak melulu ditekankan pada sisi kognitif untuk mengejar nilai semata. Dengan lebih memperhatikan karakter, diharapkan sekolah bisa menghasilkan lulusan yang berakhlak mulia, cerdas, dan kreatif.Â
Adapun dalam UU ini penyelenggaraan pendidikan wajib memegang beberapa prinsip, yakni pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa dengan satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna. (UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003).
Penulis memang belum mendapatkan data berapa persen sekolah-sekolah yang masih fokus dalam implementasi pendidikan (karakter) kultural sebenarnya, bisa jadi sekolah-sekolah yang (katanya) menerapkan pendidikan (karakter) kultural hanya bagian dari administrasi sekolah saja, tapi melihat dalam kondisi seperti ini penulis yakin hanya sedikit sekolah di Indonesia yang masih fokus dalam mengimplementasikan Pendidikan (karakter) kultural, terlihat dari kasus-kasus pelajar yang ada di indonesia tentunya pendidikan (karakter) kultural tidak terinternalisasi dalam kehidupannya.
Sekolah-sekolah di Indonesia sekarang lebih banyak mementingkan dalam sisi pendidikan (akademik) strukturalnya saja, dengan mengenyampingkan atau menomor dua kan sisi pendidikan (karakter) kulturalnya. Terlihat begitu seriusnya sekolah-sekolah dalam mempersiapkan Ujian Nasional (UN), USBN, SNMPTN, SBMPTN nya, bahkan sejak awal semester sekolah-sekolah sudah menyusun strategi untuk bisa maksimal dalam hal iti semua nya dengan rapat berkali ditambah dengan tambahan jam mata pelajaran UN, USBN, dan SNMPTN, hal tersebut tentunya yang dilihat langsung oleh masyarakat dalam jangka pendek, seakan berbanding terbalik dengan persiapan-persiapan menyusun budaya-budaya sekolah yang bisa sampai di internalisasikan dalam masyarakat dan keberlanjutan, mungkin saja sekolah dalam mempersiapkan strategi secara keberlanjutan tentang budaya sekolah hanya 1-2 kali dalam 1 tahun pembelajaran, hal ini memang kebijakan yang tidak terlalu populis oleh lembaga atau sekolah-sekolah yang ingin terlihat langsung hasilnya oleh masyarakat.
Bukan hanya itu, guru yang menjadi garda terdepan dalam penerapan pendidikan karakter juga dihadapkan dengan setumpuk berbagai administrasi pembelajaran dan kebanyakan administrasi tersebut hanya jadi pajangan semata untuk memenuhi sebutan guru Profesional dan juga melengkapi akreditasi sekolah, sehingga banyak guru sekarang lebih mementingkan administrasinya dibandingkan dengan tugas pokok kebermaknaan dan kebermanfaatan mengajarnya.Â
Dengan adanya pelatihan-pelatihan ataupun workshop yang juga harus terarah bukan hanya pelatihan-pelatihan yang menghambur-hamburkan anggaran tanpa kebermaknaan pelatihan tersebut.
Oleh karena itu, Pendidikan (karakter) kultural harus di bumikan atau dihidupkan kembali dengan arah dan kebermaknaan yang benar serta keberlanjutan tentunya, agar negara ini bisa merevolusi mental ataupun moralnya yang akan dirasakan pada masa sekarang juga yang akan datang. JAYALAH PENDIDIKAN KU, MAJULAH INDONESIA KU.