Mohon tunggu...
Aqil Aziz
Aqil Aziz Mohon Tunggu... Administrasi - Suka makan buah

Mencintai dunia literasi. Penullis di blog : https://aqilnotes.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jujur kepada Bos

17 Januari 2015   20:57 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:56 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebenarnya ini sudah lama, hanya saja aku belum berani mengatakannya. Entah karena apa, saya sendiri kurang tahu, tiba-tiba di pikiran saya terlintas secercah cahaya keberanian untuk mengungkapkan unek-unek kepada bos saya.

Sederhana saja, tidak banyak, singkat, padat, dan berisi, tapi cukup mengganggu jika tidak diucapkan, lama-lama menjadi udun, begitu kata istri saya semalam.

“Kang mas harus berani, ini masalah etika mas, ini masalah karakter mas sendiri, perilaku yang dilakukan berulang-ulang akan menjadi kebiasaan, dan kebiasaan itulah yang akan menjadi profil kang mas di masyarakat, lebih-lebih nanti kalau anak kita sudah besar, kang mas akan menjadi teladan anak-anak kita. Masak teladan kok pengecut” kira-kira kurang lebih seperti itu pesan istri saya semalam, cukup jelas. Dan jelas menyakitkan bagi saya, terutama kata yang terakhir. PENGECUT.

Aduh.. batin saya

“Enaknya kapan aku harus mengungkapkannya, pagi, siang ato malam, aku sudah siapkan teksnya untuk aku ungkapkan. Aku sudah bayangkan bosku duduk dikursi besarnya, dan aku membacakan teks, layaknya seorang pujangga puisi, WS. Rendra, kemudian yang saya harapkan bosku memahami ungkapan hatiku selama ini. Kemudian dia menyadari kesalahannya terus punya rasa iba kepadaku.”

Sepatu, dasi, dan buku-buku sudah aku siapkan, sepeda motor, sejak pagi sudah saya lap, mengkilat, Ya. Aku harus tampil PeDe untuk menghadapi bos besar, biar dia tahu, orang kecil seperti saya juga bisa besar. Meski saat ini belum bisa besar, pikiranku sudah berfikir layakknya orang besar. Bukan semuanya harus dimulai dari cara befikir? Aku bertanya sendiri dalam hati. Sambil membesarkan dada didepan cermin, aku tersenyum sendiri.

Sampai di kantor, aku ucapkan salam kepada Bapak Satpam.

“Tumben pak, necis?” sapa pak satpam

“Perubahan pak, untuk menjadi besar harus berubah,” jelas saya kepada pak satpam. Aku langsung nyelonong masuk kantor.

Aku mengambil duduk, di kursi saya tempat bekerja, sambil menunggu pak bos, teksnya berkali-kali aku baca, supaya nanti lebih mantap di depan bos besar ketika mencurahkan seluruh uneg-uneg dalam hati.

Beberapa lama kemudian, pak bos belum juga datang, padahal angka jarum jam sudah menunjukkan jam 10.

“Mestinya jam segini sudah datang,” gumamku dalam hati.

Aku mengambil air minum, segelas lagi, meksi ini gelas yang kelima kalinya. Akhirnya karena berulang-ulang minum, lama-lama ingin buang air kecil.

Aku tahan sebentar, pikirku.

Lama….! Belum juga datang.

Aku pikir, ini adalah hari yang pertama dan terakhirku untuk hadir di kantor ini. Aku sudah siap semuanya, dengan segala resikonya. Memang kebenaran harus diungkapkan kalau tidak aku yang memulai terus siapa lagi? He? siapa lagi yang akan memulai? Hari ini, aku akan memberikan contoh. Aku akan menjadi panutan-panutan para pegawai, bahwa keberanian itu melegakan dan membahagiakan. Jangan takut untuk berkata benar. Berani karena benar takut karena salah. Kalau kita kebiasaan takut, berarti kita yang salah, padahal mestinya bos yang salah. Logis kan?

Tepat pukul 11.00, Mobil sedan biru datang di depan kantor, muncul sosok manusia, memakai jas kemerah-merahan, dipandu dengan celana merah tua, persis seperti bintang film di senetron. Semuanya serba baru dan mengkilat.

Aku biarkan dia duduk dikursi besarnya, memang itu rencanaku kemudian aku mendekatinya meminta izin untuk mengatakan sesuatu yang penting, tepatnya uneg-uneg di dalam hati yang selama ini aku pendam.

“Silahkan duduk..!” kata bos kepadaku.

“Tidak perlu duduk pak, aku akan mengatakannya dengan berdiri” jawabku kepada bos. Tanganku merogoh saku untuk mengambil teks yang aku siapkan.

Aku menarik napas dalam-dalam, aku buka kertas yang aku baca.

Dan..

“Mas bangun mas, bangun..! Mas kencing di celana ya? Ini sudah adzan shubuh.”

Aku sentuh celanaku ternyata basah.

“Jangan lupa mas, besok pagi ngomong sama bos, mas sudah siapkan?”

Aku langsung tertegun.

“Aku hari ini tidak bisa masuk kantor, hari ini aku sakit, besok saja,” jawabku lemas.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun