Di ruang gelap. Suasana pengap. Seorang lelaki menguatkan eraan pegangan di batang jeruji besi. Ia kemudian menyeka air mata. Tiba-tiba ingatannya itu muncul kemudian melenyapkan seluruh tenaganya. Perlahan-lahan ia duduk merunduk, meratapi nasibnya.
"Oh Tuhan. Masihkah engkau menambah hukuman ini? Aku tak sanggup lagi hidup," ujarnya dalam kesendirian.
Lamunannya menyeret ke luar penjara. Â Merambat bersama angin keluar gedung rutan. Kabar mengenai pengkhianatan orang yang dicintainya membuat seolah dinding kamar tahanan itu bergerak membuat terasa ruang itu menyempit.
Ia sebenarnya tidak percaya kabar itu. Ia mengenal betul karakter dan watak wanita yang mendampingi hidupnya. Pertama ia anggap itu adalah kabar angin lalu. Namun, setelah beberapa orang tetangga dan yang terakhir adalah teman akrabnya menceritakan hal yang sama meyakinkan kabar itu benar adanya.
"Tidak mungkin," ujarnya.
"Kamu boleh percaya atau tidak. Itu adalah pilihan. Tapi akan jauh lebih baik, jika kamu mengetahui hal yang sebenarnya. Benar kata pepatah. Cinta itu bagaikan bunga. Harus dijaga dan disiram. Kalau memang sudah saatnya layu. Kenapa tidak kau akui saja?" kata teman akrabnya ketika berkunjung.
"Aku tidak bermaksud menambah kesedihan dan kepedihanmu. Tapi sebagai sahabat terbaik. Aku tidak bisa menutupi realita yang telah terjadi. Selama ini aku anggap sebagai saudara. Aku tidak sanggup melihat saudaraku lari dari kenyataan. Aku ingin engkau bangun dari mimpi. Dan kembali membangun hal baru lagi. Tentunya setelah engkau bebas. Mengingat masa tahananmu tinggal satu minggu."
Tahanan itu tak menjawab. Ia berusaha menekan perasaannya yang biasa ia lakukan selama ini. Tapi kali ini, perasaan itu menolak dan mengalahkan kehendak untuk mendamaikan. Kemudian teman yang berkunjung itu melanjutkan.
"Tujuh tahun bukanlah waktu yang singkat. Wanita mana yang sanggup menahan, gejolak dan sanksi sosial di tengah masyarakat. Sri tak mampu lagi membendung cemohan tetangga dan sanak keluargamu. Kau mestinya harus bersyukur. Ia mampu bertahan selama itu. Menghidupi anak-anakmu. Menjadi babu bukanlah hal yang mudah. Ia wanita terhormat, yang tak pernah kau beri kesempatan untuk bekerja kecuali mengasuh anak. Lalu kemudian menjadi seperti lelaki yang harus membanting tulang, hanya untuk bertahan hidup besama putra-putrimu. Meski pada akhirnya melepasmu, mencari lelaki lain. Aku yakin itu karena terpaksa. Secara rasional siapapun akan melakukan seperti itu."
Tahanan itu kemudian semakin menyesal. Mengakui bahwa keputusannya adalah hal yang salah. Mestinya dia tidak mengambil pilihan itu. Menerima segala keputusan dan tawaran yang memang tak seharusnya ia lakukan. Demi kepentingan dan keselamatan perusahaan dan kepentingan seluruh karyawan beserta jajaran direksi. Ia mau mengorbankan kebebasannya. Bermula dari hanya sekedar tanda tangan pengakuan, ia yang menerima uang bantuan buruh.Â
Kini ia tak hanya mengorbankan kebebasannya tapi memberikan kesempaan kebebasan istrinya.