Mohon tunggu...
Aqil Aziz
Aqil Aziz Mohon Tunggu... Administrasi - Suka makan buah

Mencintai dunia literasi. Penullis di blog : https://aqilnotes.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Di Atas Panggung

3 Juli 2018   06:00 Diperbarui: 3 Juli 2018   07:45 693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Channel Youtube Mars Intertainment

Suasana yang gelap itu, tidak bisa memastikan berapa jumlah yang hadir. Semua ibu-ibu berkumpul. Bapak-bapak juga membawa anaknya. Pedagan kaki lima, jual pentol, jual tahu, jual mainan anak-anak, odong-odong dan jual balon, seperti Jelangkung, datang tak diundang pulang tak diantar. Suasana makin dingin, cahaya lampu makin terang, seiring dengan bertambahnya malam.

Musik lagu anak-anak itu berganti-ganti diputar. Semua orang bersorak. Mereka sesekali bertepuk tangan. Sorot lampu kelap-kelip dan dua lampu utama cahaya putih itu nampak kuat sekali. Panggung yang seukuran ruang kelas itu kelihatan kecil di tengah-tengah lapangan madrasah yang begitu luas.

Aku bersama Ibu di sisi panggung. Memastikan bahwa aku telah siap. Meski demikian, mataku tetap tertuju pada balon terbang itu. Aku ingin segera berlari membelinya tapi ibu mencegah. "Nanti saja saya belikan, supaya riasannya tida rusak." Aku menurut saja apa yang beliau sampaikan.

Tiba-tiba. Aku didorong maju ke tangga panggung. Dengan terpaksan, aku memberanikan diri untuk naik. Entah dari siapa yang menginstruksi. Ketika teman-teman maju, aku pun ikut maju. Naik panggung dengan ditonton oleh ratusan mata. Mereka semua menyaksikan. Aku tak tahu apa yang harus lakukan. Aku tolah toleh ke kanan dan kiri, semua teman-temanku hanya berdiri saja tanpa melakukan gerakan apapun. Aku hanya memandangi mereka. Suasana seperti itu, jarang terjadi di sekolah ini.

Mereka semua menantikan pergantian musik yang diputar. Ketika musik itu dimainkan, seperti tak asing lagi. Sebagaimana sering diputarkan Bu Sari, guru kelasku. Aku bersama teman-teman sering latihan bersama, menari di ruang depan rumah Bu Sari. Kami biasa latihan seminggu sekali.

Aku benar-benar lupa apa yang harus saya lakukan. Ketika berada di atas panggung. Seluruh kamera menyorot. Membuat mataku silau. Dan aku pun tidak mengerti, seperti barang antik yang dipamer sedang ditonton dan dikomentari pengunjung.

Aku tak mengerti, mengapa ibu memilih pakaian seperti ini. Rok pendek, rambut dikuncir, bajuku juga kecil, modis sekali seperti artis. Aku baru tahu, ketika melihat di atas panggung, ternyata semua teman-temanku juga memakai pakaian yang sama. Ini semuanya supaya tetap berseragam dalam satu tim kata ibuku.

Tapi kenapa anehnya, Ibu mengoleskan warna merah di bibirku. Padahal ia jarang sekali melakukan itu ketika aku mau berangkat sekolah. Bukankah benda itu yang sering dipakai oleh kakak perempuanku. Aku tak mengerti. Kenapa harus seperti itu, saya lihat dicermin, wajahku lebih mirip badut daripada peri yang cantik. "Ah. Ibu ternyata berbohong," batinku.

Musik telah selesai. Aku turun dari panggung. Ibuku langsung menggendongku. Semua orang tertawa, dan bersorak. Kelihatan sekali mereka senang. Apa yang lucu? Aku tidak melakukan gerakan apapun. Tak terkecuali ibuku juga ikut tersenyum, seperti ia juga senang karena anaknya telah melakukaan aksi dan telah lulus Kelompok Bermain.

Selamat malam. Aku ingin tidur, badan terasa lelah sekali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun