Sebenarnya hal yang sepele. Tapi kenapa hal itu sangat menganggu. Seharian saya memikirkan dari mana datangnya bau kecut itu. Yang tiba-tiba saja ada dipipiku. Setelah bangun tidur, saya merasa ada yang basah dari pipiku. Saya usap, kemudian saya dekatkan ke hidung. Aduh buyung. Baunya amit-amit.
Pandangan saya langsung tertuju kepada seekor cicak yang ada di dinding. Saya lihat ekornya goyang-goyang. Ia berada di balik jam dinding, dengan kepala sedikit menyembul ke atas. Sialan, ternyata cicak yang sama seperti kemarin. Ketika aku baca buku di dalam kamar, tahinya jatuh menempel di halaman buku yang baru saya beli.Â
Merasa bersikap kurang aja denganku. Saya labrak berkali-kali, saya lempar pakai pegangan sapu lantai, saya ayunkan berkali-kali. Tetap saja posisi cicak itu lebih tinggi dari apa yang saya gapai. Alhasil, cicak itu selamat. Ia tenang-tenang saja. Bahkan seperti mengejek apa yang saya lakukan. Sementara di atas tempat tidur berantakan semua, debu dan bekas sarang laba-laba berjatuhan. Kondisi kamar terlihat kotor. Istri saya marah. Aktifitas itu segera saya hentikan.
Cicak yang aneh, warnanya tidak sepeti cicak pada umumnya. Kulitnya putih kemudian ada bentol-bentol hitamnya. Ekornya panjang dan kepalanya besar. Pernah juga saya lihat, ia mampu menangkap nyamuk dua sekaligus. Jalannya cepat sekali. Dan kalau lagi senang ia bernyanyi, cek, cek, cek...!
Saya tanyakan kepada anakku, Beni. Apakah ia pernah melihat cicak aneh itu. Menurut Beni, ia sering melihatnya, biasanya muncul mulai jam 8 malam sampai jam 6 pagi. Beni bilang, kalau dia tidak bisa tidur, obatnya lihat mata cicak itu, baru kemudian bisa tidur. Ia anggap sebagai teman pengiring tidur.
Ibuku mendengar percakapan kami. Lalu ia mulai nimbrung.Â
"Oo.. itu cicak sudah ada sejak kita kontrak rumah ini. Yang ada sekarang ini mungkin anaknya, karena dulu induknya itu juga punya bentol hitam, tapi bukan di perutnya, di kaki dan ekornya. Saya rasa cicak itu sudah beranak pinak seperti kita." kata ibuku sambil lalu. Kemudian melanjutkan aktifitasnya di dapur.
Bagi Ibu mungkin cicak itu bersejarah, bagi anakku mungkin juga cicak adalah obat, obat cepat tidur. Tapi dengan berbagai alasan apapun, aku tetap tidak bisa terima dengan apa yang dilakukannya kepadaku. Sudah dua kali ini aku dikerjai, saya tidak bisa membiarkannya bersikap kurang ajar dan melakukan yang ketiga kalinya kepadaku. Masak, bangun tidur diberi kejutan yang baunya seperti air liur. Hal itu benar-benar menghinaku sebagai tuan rumah. Mestinya ia harus berterima kasih yang sudah memberikan tumpangan menginap, Â dan membiarkannya tetap hidup mencari makan di rumah ini.Â
Aku bertekad tetap memburunya. Meski ia punya kenangan tersendiri bagi anggota keluarga ini. Bagiku, apalah artinya seekor cicak, mati satu, toh juga masih banyak kawannya lain yang masih hidup. Keberadaannya juga tidak membuat rumah ini menjadi bebas dari nyamuk. Ada seribu ekor cicak pun, tubuh ini tetap menjadi santapan nyamuk. Saya masih harus beli semprot baigon dan raket listrik untuk menghadapi serbuan nyamuk.
Malam itu. Seperti seorang pemburu. Aku siapkan berbagai macam senjata. Sapu, masker, kursi plastik untuk tumpuan, dan yang terakhir adalah bungkus plastik untuk membuang mayatnya. Tepat pukul delapan malam. Persis seperti apa yang dikatakan oleh anakku, cicak itu muncul entah dari mana datangnya. Ia melesat berlari di balik jam dinding. Melihatnya, darahku tersirap, hatiku sudah tidak sabar untuk menghajarnya.
Dengan tumpuan kursi plastik , perlahan-lahan jam dinding itu saya lepas, di situ nongol cicak dengan posisi memandangku. Seakan mau mengatakan sesuatu untuk berunding. Saya tidak menghiraukannya. Dengan gerakan cepat, saya langsung mengayunkan sapu lantai itu tepat di posisinya. Karena saking semangatnya, saya tidak tahu kalau kaki salah satu kursi plastik yang saya injak belum pas posisinya, disebabkan menginjak sandal jinjit istri. Kursi itu kehilangan keseimbangan. Akhirnya. "Brakk...!" Tiba-tiba saya langsung jatuh ke lantai. Pukulanku meleset dan cicak itu berhasil kabur ke pojok atap dinding rumah.