Sehari sangat cepat berlalu, tumbuh bersama musim hujan yang saat ini menggusur desa Payoman. Desa ini begitu teduh, begitu damai, tenang dan aman. Terlebih untuk meditasi seorang pembunuh. Pembunuh rasa dalam hati, yang tak seorang pun mengetahui. "Ah, semua itu hanya ilusi." ujarnya sambil menyalakan rokok.Â
Ia masih mencari dari mana pintu maaf itu akan terbuka. Mencari celah jika suatu saat nanti akan ditemukan cahaya, yang dengan tiba-tiba membuka pintu yang telah lama menutup itu. Meski belum genap empat tahun, tak menyurutkan hati untuk membuka hati menerima dengan penuh ihlas. Secuil senyum, sangat diharapkan di dalam suasana yang lagi kacau seperti ini.
Tangan telah kotor, kata telah terucap, dan tindakan telah terjadi, semuanya menyaksikan. Tak ubahnya seperti kerasukan yang dengannya bicara sendiri. Entah dari mana datangnya, bisikan itu, untuk mengatakan yang sebenarnya tidak benar-benar dipahami. Ia baru faham bahwa apa yang dilakukannya telah merusak sendi-sendi ikatan darah yang tak seorangpun dapat memutuskan sebelumnya.
"Aku masih anakmu, Mak!" Kalimat yang sangat diharapkan muncul dari dua bibir yang sudah lama mengunci. Kalimat itu sebenarnya baru bisa menjadi nyata jika benar-benar berani untuk mengungkapkannya. Namun, itu hanya anagan yang tak pernah orang lain memahaminya. Coba mana ada manusia yang mampu memahami bahasa diam?
Kini ia hanya bergantung dengan nasib. Yang mana tak tentu arah dengan harapan membumbung tinggi, semoga ke depannya terlihat baik-baik saja. Siapa yang mau hidup sendiri tanpa ada apapun yang menjadi pegangan dalam jiwanya. Kalau kemarin ia masih menyempatkan untuk bersua sekedar basa-basi membunuh rasa yang telah lama membeku. Namun, untuk tahun ini siapa yang dapat menjamin melakukan hal yang sama?
Semua orang mengakui, semua makhluk di dunia ini semua berinduk. Tapi kenyataannya, sepi telah menggelayut, memenuhi hati yang tak pernah mencair itu. Apakah ini memang takdir? Ataukah memang tercipta untuk sendiri.
Rasanya tak pantas mengutuk diri sendiri. Itu sama saja dengan bunuh diri secara pelan-pelan. Pasti semua orang tidak akan melakukannya, meski dengan segunung masalah yang tak mampu ia pecahkan. Ia sangat yakin ini pasti ada akhirnya.
Bukankah maaf itu memuliakan? Itu yang dikata orang. Tapi, ia tak berani, mengangkat gunung masalah itu sendiri. Ia ingin meletakkan dan meninggalkannya daripada memikulnya selama bertahun-tahun. Adakah yang sanggup berbuat demikian?
Tak ada yang lebih melegakan daripada sebuah pengakuan. Meski itu terasa pahit, tapi tetap harus dilakukan. Mengakhiri drama hidup yang tak berujung ini. Jika keberanian yang ditunggu itu tak pernah muncul, maka sudah selayaknya surat yang mewakili bahasa sudah dianggap cukup untuk mewakilinya.
"Emak, meski terdengar aneh di telingamu. Dan kau tak lagi berharap panggilan itu terucap dari kedua bibirku yang kotor ini. Bagiku tetap panggilan itulah yang mampu mengundangku untuk hidup di dunia yang penuh dengan kehampaan ini.Â
Kalau boleh aku jujur, aku tak sanggup lagi dihukum untuk tetap sendiri menyelesaikan sisa umur, terlalu lama bagiku untuk menjauh darimu. Aku tak sanggup lagi, untuk berteman dengan sepi."Â Dari anakmu yang tak pernah engkau nanti.