Setiap manusia pasti akan menghadapi peristiwa kematian yang tidak dapat dihindari karena niscaya merupakan takdir yang tidak seorang pun dapat lari dari peristiwa tersebut. Dalam hal terjadinya suatu peristiwa meninggalnya seseorang maka kita akan langsung terhubung dengan adanya suatu peristiwa hukum berupa pewarisan. Pewarisan itu sendiri sejatinya hanya terjadi dalam hal adanya orang yang meninggal dunia (pewaris), adanya orang yang masih hidup yang akan menerima peralihan harta (ahli waris), serta adanya harta warisan/harta peninggalan. Terhadap pengurusan harta waris setelah pewaris meninggal dunia telah diatur dalam Pasal 830 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa pewarisan hanya berlangsung karena kematian, maka dapat diketahui bahwa pengurusan terhadap harta waris (pewarisan) terbuka jika si pewaris telah meninggal dunia dan beralih kepadanya hubungan harta kekayaan.
Perlu kita ketahui terlebih dahulu, bahwa Hukum Waris di Indonesia itu sifatnya masih pluralisme dikarenakan Indonesia merupakan negara yang mengakui adanya 3 (tiga) sistem kewarisan yang berlaku di Indonesia seperti Hukum Waris berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Hukum Waris berdasarkan Adat serta Hukum Waris berdasarkan hukum agama dan kepercayaan. Berkenaan dengan hal tersebut maka di Indonesia sejak dahulu terdapat Penggolongan masyarakat yang telah diatur dalam Pasal 131 Indische Staatsregeling dan Pasal 163 Indische Staatsregeling bahwa terdapat macam-macam penggolongan masyarakat di Indonesia, yakni:Â
Penduduk Golongan Eropa maka menundukan diri terhadap KUH Perdata;
-
Penduduk Golongan Timur Asing yang terdiri atas:Â
Golongan Timur Asing Tionghoa, maka menundukkan diri terhadap KUH Perdata
Golongan Timur Asing Non Tionghoa, maka menundukkan diri terhadap Hukum Adat
Golongan Bumi Putera/ Penduduk asli Indonesia, maka menundukkan diri terhadap hukum adat.
Terhadap apa yang telah dijelaskan di atas mengenai penggolongan penduduk, terdapat keterkaitan dengan proses pewarisan. Sebelum memulai segala proses peralihan harta peninggalan dari pewaris kepada ahli waris (pewarisan) maka penting terlebih dahulu untuk dapat membuktikan bahwa orang yang masih hidup atau yang dianggap sebagai ahli waris memang benar-benar ahli waris dari pewaris yang bersangkutan tersebut. Dalam hal ini seseorang yang masih hidup dapat membuktikan dirinya sebagai seorang ahli waris dari pewaris yang bersangkutan adalah dengan menunjukkan adanya suatu bukti tertulis yang menerangkan bahwa dirinyalah merupakan ahli waris yang benar. Oleh karena itu, terhadap hal tersebut di Indonesia terdapat hukum yang mengatur tentang surat tanda bukti ahli waris, yakni diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pada Pasal 111 ayat (1) huruf C point ke 4 dalam peraturan tersebut mengatur bahwa dalam hal permohonan pendaftaran peralihan Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun diajukan oleh Ahli Waris atau kuasanya dengan melampirkan salah satunya dengan adanya surat tanda bukti ahli waris yang dapat berupa:
Bagi Warga Negara Indonesia penduduk asli (pribumi): Surat Keterangan Ahli Waris dibuat oleh para ahli waris bermaterai dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi dan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan dan Camat di tempat tinggal terakhir pewaris pada saat meninggal dunia;
Bagi Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa: Akta Keterangan Hak Mewaris yang dibuat oleh Notaris; danÂ
Bagi Warga Negara Indonesia Keturunan Timur Asing lainnya: Surat Keterangan Waris yang dibuat oleh Balai Harta Peninggalan.Â