Kekerasan Psikis pada Siswa SMP: Dampak, Penyebab, dan Solusi
Kekerasan psikis sering kali menjadi masalah yang kurang mendapat perhatian meskipun kerap terjadi di lingkungan sekolah. Pada siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP), tindakan kekerasan psikis meliputi perilaku verbal maupun non-verbal yang melecehkan, mengintimidasi, atau merendahkan. Contohnya berupa penghinaan, ancaman, ejekan, hingga pengabaian. Usia SMP merupakan masa transisi emosional yang rentan, sehingga kekerasan psikis dapat mengganggu perkembangan pribadi siswa, menurunkan prestasi akademik, dan merusak hubungan sosial mereka.
Dampak kekerasan psikis pada siswa sangat serius. Banyak kasus berupa ejekan yang menyerang keluarga, ras, atau bahkan menyamakan siswa dengan binatang dianggap remeh, padahal dapat menyebabkan kecemasan, stres, depresi, isolasi sosial, hingga trauma jangka panjang. Hal ini juga mengganggu konsentrasi belajar, sehingga prestasi akademik menurun. Dampak jangka panjangnya lebih berat, seperti risiko gangguan psikologis, kesulitan berinteraksi sosial, dan hilangnya rasa percaya diri yang memengaruhi masa depan siswa.
Ada beberapa penyebab kekerasan psikis di sekolah, di antaranya adalah proses pencarian identitas siswa yang kerap membuat mereka terpengaruh tekanan kelompok dan cenderung meniru perilaku negatif. Kurangnya pengawasan guru, terutama di luar kelas atau di media sosial, juga menjadi faktor pendukung. Selain itu, budaya mengejek yang sudah dinormalisasi membuat banyak siswa tidak menyadari dampaknya, sementara pemahaman yang minim tentang batasan sosial turut memperburuk situasi.
Untuk mengatasi masalah ini, Pemerintah Kota Solo telah melakukan berbagai upaya, seperti sosialisasi kesehatan mental di sekolah untuk meningkatkan kesadaran siswa, menyediakan layanan konseling gratis, membuka unit pengaduan kekerasan, dan mengedukasi siswa melalui pendekatan budaya lokal. Keberhasilan program ini sangat bergantung pada partisipasi semua pihak, konsistensi pelaksanaan, pendekatan interaktif seperti simulasi dan diskusi, serta evaluasi berkala untuk mengukur dampaknya.
Selain itu, guru dan teman sebaya memiliki peran penting. Guru harus mengawasi interaksi siswa, menjadi teladan dalam bertutur kata, dan menciptakan ruang aman untuk pelaporan kasus kekerasan. Teman sebaya juga dapat membantu korban dengan memberikan dukungan, menyebarkan kesadaran tentang pentingnya saling menghormati, serta menjadi panutan bagi teman lainnya. Peran orang tua tidak kalah penting, mulai dari membangun komunikasi yang terbuka dengan anak, memberikan dukungan emosional, bekerja sama dengan pihak sekolah, hingga mempertimbangkan bantuan profesional seperti terapi psikologis bila diperlukan.
Pemanfaatan budaya lokal juga dapat menjadi solusi dalam menciptakan lingkungan sekolah yang aman. Nilai-nilai seperti gotong royong, saling menghormati, dan musyawarah dapat diajarkan dalam kehidupan sehari-hari. Sekolah dapat melibatkan tokoh adat untuk memberikan edukasi yang relevan dan berbasis budaya. Selain itu, sekolah juga dapat mengambil langkah konkret seperti membentuk tim khusus untuk memantau kesehatan mental siswa, menyelenggarakan pelatihan pengembangan karakter, menerapkan kebijakan anti-bullying yang tegas, dan melatih guru agar lebih peka terhadap tanda-tanda kekerasan psikis.
Kekerasan psikis adalah masalah serius yang membutuhkan perhatian dan kerja sama dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, sekolah, orang tua, dan komunitas. Dengan langkah yang terencana dan kolaborasi yang efektif, lingkungan sekolah dapat menjadi tempat yang aman, nyaman, dan mendukung perkembangan siswa secara optimal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H