Bedah Novel The Architecture of Love karya Ika Natassa
Â
The Architecture of Love merupakan buku novel kedelapan yang sukses ditulis oleh Ika Natassa dengan meraih gelar best seller. Novel yang dilatar belakangi kota New York ini mengisahkan seorang Raia Risjad, penulis novel asal Indonesia yang telah melahirkan banyak novel-novel best seller.Â
Namun selama beberapa tahun terakhir, Raia mengalami writer's block dan merasa kehilangan muse-nya (inspirasi). Raia yang bahkan saat itu tidak mampu menggoreskan satu pun kalimat akhirnya memilih mengejar inspirasi ke New York setelah bercerai untuk melupakan kenangan masa lalu dengan mantan suaminya, Alam. Berjalan menyusuri setiap sudut New York setiap harinya sambil memperhatikan keramaian kota yang mungkin bisa memberinya inspirasi untuk kembali menulis. Namun layar laptopnya masih saja kosong.
"Tahu masalah utama perempuan? Bukan berat badan, bukan makeup, bukan jerawat, fuck any of those shit, semua ada obatnya. Tapi tahu yang nggak ada obatnya? Semua perempuan selalu jadi gampangan di depan laki-laki yang sudah terlanjur dia sayang. Bukan gampangan dalam hal seks ya maksud gue, tapi jadi gampang memaafkan, gampang menerima, gampang menerima ajakan, bahkan kadang jadi gampang percaya." (Hal 164).
Perayaan tahun baru saat Raia di New York menjadi pertemuan pertamanya dengan seorang laki-laki bernama River Jusuf. River yang menyendiri di ruangan gelap mengabaikan pesta tahun baru itu. Lelaki yang seperti menyimpan cerita, sangat menarik rasa perhatian Raia. Setelah Raia berhasil mengenal River yang mengajarinya memandang kota New York dengan cara berbeda, akhirnya Raia bisa mengatasi writer's blocknya dan mulai menemukan muse (inspirasi) barunya.
Setelah menghabiskan 304 halaman untuk membaca novel ini, saya merasa diajak berkeliling masuk ke dalam kota New York. Deskripsi detail dari penggambaran lokasi bangunan yang pernah Raia dan River datangi membuat pembaca ikut terbawa suasana menikmati alur novel yang sedang berlangsung membuat novel karya Ika Natassa ini berhasil menghidupkan suasana di New York.
"Mungkin ini satu lagi kutukan perempuan. Tetap melakukan sesuatu yang dia tahu dan sadar akan berujung menyakiti, hanya karena itulah yang diinginkan seseorang yang disayanginya." (Hal 171).
Karakter tokoh utama menjadikan cerita semakin nyata. River dan Raia yang sama-sama pendiam ini sukses membuat pembaca merasa geregetan ketika mereka sama-sama malu untuk mengucap kata rindu. Padahal keduanya sudah memendam rasa yang sama terhadap satu sama lain.
"Patah hati tidak akan pernah jadi lebih gampang walau sudah dialami berkali-kali." (Hal 225).
Saya suka cara Ika Natassa mengungkap dua manusia yang belum sepenuhnya berdamai dengan masa lalu. Yang mana dipertemukan untuk mendapat kebahagiaan kembali setelah berhasil memperbaiki diri. Rasanya benar-benar seperti diajak mendalami bekas luka tiap karakter. Raia dan River yang sebelumnya sama-sama pernah memiliki trauma, melihat bagaimana usaha mereka untuk memaafkan diri sendiri sampai akhirnya berdamai dengan masa lalu, dan siap untuk menerima orang baru.