Mohon tunggu...
Muhammad Aqiel
Muhammad Aqiel Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mimpi Negara Islam dalam Jejak Terorisme di Indonesia

17 Mei 2018   15:42 Diperbarui: 17 Mei 2018   16:25 839
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Akan tetapi di akhir tahun tahun 70'an hingga di penghujung 90'an, saat dunia kapitalisme tengah dilanda kecemasan dan ketakutan menghadapi gerakan Kiri yang mengaku membela hak-hak kaum proletar dan marginal-di Indonesia tanpa sadar rekonsiliasi sosial-politik Islam mulai bangkit sejak dipukul habis-habisan oleh rezim sekuler Soekarno hingga Suharto yang melarang masyarakat mengenakan cadar dan hijab sebagai simbol umat Islam.

Seruan "Jihad Politik" yang dikumandangkan Muhammad Natsir, sang mujahid dakwah sebagai langkah perlawanan umat Islam terhadap kesewenang-wenangan Orde Baru adalah bentuk konsolidasi yang kelak menjadikan Islam dan Natsir sebagai simbol Radikalisme di masa itu setelah Kartosoewirjo di era Soekarno. Usaha Natsir dengan santun ia perlihatkan diantara dua rezim, ia berkali-kali berusaha menyangkal skeptisme Soekarno dan Soeharto yang merasa bahwa Islam tidak bisa dipersatukan dengan negara lantaran dikenal eksklusif, dan merasa paling benar sendiri.

Salah satu antitesa ditengah kejumudan umat islam bila merujuk pendapat Howard M. Federspiel maka paling tidak ada tiga hal yang menuntut perhatian umat Islam pada abad ke -20, yaitu: pertama, menjawab tantangan kebudayaan lokal nonmuslim; kedua, memegang teguh keyakinan dan amalan Islamiyah; ketiga, menyesuaikan diri dengan pikiran dan teknologi modern. ketiga hal ini menjadi pembenaran penulis bahwa tindakan Natsir selama ini hanyalah menjadikan negara sebagai alat untuk mewujudkan ajaran-ajaran Islam yang sempurna bukan sebagai tujuan.

Pemikiran Natsir tentang Islam Moderat kelak menjadi sintesis umat islam di era postmodern, lenturnya pembelaan terhadap kaum komunal atau dikenal kaum Mustad'afin adalah buah juang Natsir dimasa lalu.

Sedang gerakan-gerakan revolusioner yang diperkasai dorongan religius tidak serta merta diakibatkan ketidakpahaman umat secara kognitif sehingga mereka (Teroris) tidak segan-segan menjadikan warga sipil sebagai korban melainkan ditenggarai kekakuan linguistik, dan pemikiran konservatif yang memahami Islam terlalu Tekstual dan mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan.

Pada akhirnya, apa yang menimpa golongan minoritas setelah pengeboman gereja di surabaya adalah reka ulang kebodohan yang pernah dilakukan eks DI/TII yang menjuluki diri sebagai "Komando Jihad." Alhasil, rentang tahun 1981-1985 telah terjadi aksi terorisme yang dilakukan Komando Jihad. Kemudian rentang tahun 2000 hingga 2002 telah terjadi 11 peristiwa pengeboman di Indonesia, salah satunya Bom Bali dan Bom Gereja Santa Anna.

Kemudian dari tahun 2003 hingga 2016 telah terjadi 18 peristiwa pegeboman, termasuk baku tembak di Jakarta yang dikenal "Bom Panci" serta baru-baru ini peristiwa pengeboman yang menimpa masyarakat Surabaya. Hal ini tentu dapat diyakini bahwa mereka adalah cikal bakal penerus cita-cita Kartosoewirjo untuk mendirikan negara Islam meski tidak seperti pemberontakan DI/TII, dimana aksi teror dirancang dengan sistematis, hati-hati, dan tidak merugikan warga sipil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun