Mohon tunggu...
Muhammad Aqiel
Muhammad Aqiel Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Setelah Pengumuman Pertamina, Mengapa Presiden Memilih Diam?

7 Maret 2018   21:29 Diperbarui: 8 Maret 2018   07:12 1405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Tribunnews.com

"Mau BBM naik mau ngga, tetep aja bayarnya cuma Rp.10.000." 

Sering kita dengar ungkapan semacam tadi menjadi jawaban permisif setelah dicabutnya subsidi BBM oleh Presiden Joko Widodo. Harga BBM yang melambung tinggi membuat resah banyak orang, namun daripada itu, keresahan ini tidak pernah di apresiasi-sekedar celotehan orang-orang di warung kopi. 

Memang susah bila berhadapan dengan Pemerintah yang tidak peka perasaan rakyatnya, bahkan bila keresahan rakyat miskin ditampung lansung oleh mahasiswa, masih belum cukup untuk memaksa pemerintah mencari alternatif lain, terkecuali melalui aksi berkepanjangan seperti yang terjadi di tahun 1998.

Maksud penulis adalah demonstrasi.

Di berbagai negara yang belum dewasa menganut demokrasi, demonstrasi masih menjadi momok bagi sebagian elit politik. Demokrasi masih di anggap pengacau bagi stabilitas keamanan dan politik. Cara-cara progresif menjadi kitab bagi para asisten, para staff ahli, dan penasehat yang berada di balik oligharki politik saat ini.

Pembuktian kasus wacana di atas mulai terlihat di berbagai media sosial setelah warganet banyak yang menanyakan kebijakan perihal kenaikan BBM tanpa adanya penguguman sama sekali oleh Pertamina. Akhirnya ini tak lebih sekedar sikap paranoid yang berlebihan. Demi stabilitas, pemerintah merelakan bagian paling penting dalam demokrasi, yakni keterbukaan kebijakan dan informasi publik.

Berdasarkan UU No.14 tahun 2008 pasal 3 mengenai keterbukaan informasi publik secara riil BUMN seperti Pertamina musti menjamin hak masyarakat mengenai informasi dari awal proses pembuatan kebijakan, proses, hingga hasil pengambilan keputusan publik. 

Tetapi bila kita melihat berita acara yang dipublikasikan oleh Pertamina belakangan ini dengan judul "Daftar Harga BBK Tmt 24 Februari 2018" memang ada kenaikan harga Pertamax secara berjenjang yang pada awalnya Rp.8.400 menjadi Rp.8.600 hingga Rp.9000 per februari hingga Maret 2018.

Kenaikan bahan bakar di sektor non-subsidi memaksa kita bertanya-tanya sikap Presiden yang tidak responsif alias membiarkan begitu saja kenaikan yang terjadi-lalu menghiraukan arti pentingnya pengunguman lansung oleh Presiden di tahun politik seperti ini.

Di tengah hiruk pikuk Pilkada serentak tahun 2018, Penulis menilai Presiden mencoba meminimalisir ketidakpuasan masyarakat terhadap elektabilitas dirinya yang masih tergolong tinggi untuk saat ini, atau secara positif kita menilai ada upaya untuk menekan kegaduhan yang bisa saja terjadi karena kenaikan harga BBM semacam ini bisa saja berdampak ke aspek lain yang tak kalah krusial, yang sewaktu-waktu krisis multidimensional seperti sekarang terjadi malah tak kunjung reda.

 Langkah taktis yang dilakukan rezim sebetulnya berawal setelah keputusan Pemerintah bahwa tarif listrik dan BBM dari 1 Januari sampai 31 Maret 2018 tetap, jadi sama dengan periode tiga bulan terakhir di tahun 2017 seperti yang dikatakan menteri ESDM, Ignasius Jonan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun