Mohon tunggu...
Nur Aqidatul Izzah
Nur Aqidatul Izzah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa IAIN Jember

Terlatih dari letih yang tertatih.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Toxic Positivity: "Positif yang Negatif"

20 Maret 2021   12:31 Diperbarui: 28 Maret 2021   11:49 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernahkah kamu dijadikan sebagai teman curhat oleh orang terdekatmu? Apa yang kamu lakukan untuk meresponnya?Toxic positivity. Sifat yang dibangun seseorang untuk dituntut selalu baik-baik saja. Padahal setiap orang berhak merasa tidak baik-baik saja karena setiap orang juga punya kapasitasnya sendiri-sendiri dalam menyikapi masalah yg dia hadapi.  

Positive thinking bukan berarti menenggak toxic positivity. Toxic Positivity adalah mengovergeneralisasikan keadaan rasa bahagia dan rasa optimis dalam semua situasi kehidupan secara tidak efektif, yang bertujuan untuk menyangkal atau meniadakan penderitaan dan emosi lawan bicara, dengan harapan dia menjadi posititif. 

Toxic positivity ini diartikan sebagai keyakinan untuk mempertahankan pola pikir positif tidak peduli seberapa mengerikan atau sulitnya suatu situasi.
Sedangkan positive thinking adalah meletakkan harapan pada tempatnya.

Ketika curhat, menceritakan permasalahan yg kita punya ke seorang teman atau kerabat bermaksud agar apa yang dia pendam terasa lebih lega bahkan merasa beruntung jika mendapatkan solusi. Namun kerap kali yg didapat adalah motivasi yg bersifat memaksa untuk terus berkeadaan baik-baik saja. "Yealah dibawa santai aja.." atau "aku lebih parah dari kamu, aku pernah..." bahkan "ada orang yg lebih susah dari kamu kok, coba kamu lebih bersyukur aja" dan lain sebagainya. Hal ini bisa saja menimbulkan rasa kesal dan kecewa. 

Tidak jarang lawan bicara malah berujung membandingkan-bandingkan masalah hidupnya. Terkesan membangun kompetisi siapa yang keadaannya paling menyedihkan.

Tidak sedikit akibat dari sebab stres seseorang dikarenakan toxic positivity itu sendiri. Karena ia harus secara terus-menerus menolak emosi negatifnya yang pada akhirnya menumpuk dan justru meningkatkan rasa stres. Seseorang yg secara terus-menerus menolak emosi negatifnya akan selalu menyembunyikan atau menutupi perasaan yang ia rasakan dan mengabaikan perasaan yang sebenarnya. 

Berusaha menepis hal-hal yg mengganggunya dengan dalih bersikeras untuk terlihat kuat. Dikhawatirkan hal ini menimbulkan depresi yang mendalam sehingga terjadi hal-hal yg tidak diinginkan dan diluar dugaan.

Bersinggungan dengan kejadian seperti ini bermaksud, agar alangkah baiknya kita menjadi pendengar yang baik, bahkan dapat memberikan solusi dan positif yang bijaksana dan dapat dipertimbangkan lagi untuk dilakukan. Membangun komunikasi yg bijak sangat penting dalam menghadapi hal seperti ini.

Akhir dari tulisan ini ingin menyampaikan. Mungkin lain kali ketika orang terdekat sedang curhat dan merasa tidak baik-baik saja dan belum memiliki solusi untuknya, sebaiknya kita lebih membuka telinga, memahami keadaannya dan lebih menutup mulut. Ada baiknya juga kita bisa menyediakan pelukan untuknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun