Fast fashion kini marak digemari dan menjadi tren bagi anak muda untuk membeli pakaian sehari-hari. Mereka dengan antusias membeli dan memakai pakaian trendi dengan harga yang terjangkau. Fenomena ini telah menjadi tren global, termasuk di Indonesia.
“Fast” yang berarti cepat dan “fashion” berarti mode atau gaya berpakaian, merupakan mode atau gaya berpakaian yang diproduksi dan dikonsumsi secara cepat. Produksinya mengikuti tren terbaru. Pakaiannya diproduksi secara massal. Karenanya, orang-orang yang bekerja dibalik produksi ini dipaksa dengan cepat untuk memahami tren terbaru. Kecepatan dalam fast fashion ini menjadi magnet bagi gen Z yang selalu melek dan haus akan gaya terbaru.
Maraknya fast fashion, didukung juga dengan perkembangan teknologi, yaitu media sosial. Instagram, merupakan media sosial dengan pelopor fast fashion terbesar. Hal ini karena Instagram lebih mengutamakan foto dan video. Lewat Instagram, kita bisa membagikan cerita dan momen kita di sana. Lebih jauh lagi, Instagram yang lebih menyoroti feeds-nya, akan menjadi kiprah bagi mereka untuk mencari inspirasi.
Selain itu, beberapa public figure juga sering memberikan tips outfit of the day (OOTD). Yang mana hal itu bisa mempersuasif masyarakat, terutama gen Z untuk mengonsumsi fast fashion. Oleh karena itu, perkembangan pesat industri fast fashion tidak lepas dari media sosial. Tidak hanya Instagram, TikTok dan YouTube juga menjadi platform yang memamerkan tren fashion terbaru.
Fast fashion merespons fenomena ini dengan sangat cepat. Dalam hitungan minggu, bahkan hari, tren yang viral di media sosial sudah bisa ditemukan di rak-rak toko. Merek-merek seperti H&M, Zara, dan Uniqlo mampu merilis koleksi baru dengan kecepatan yang mengagumkan, didukung oleh teknologi dan sistem rantai pasok yang efisien.
Belle (19) merupakan mahasiswa Unpad yang sebelumnya sering menggunakan produk fast fashion. Namun, saat ini berusaha untuk mengurangi penggunaan produk fast fashion. “Gue tuh dulu pakai produk fast fashion, tapi setelah tau dampaknya, gue coba buat ngurangin sih. Sekarang gue beralih ke thrifting ke baju yang casual tapi tetap stylish,” ungkap Belle.
Namun, di balik gemilangnya industri fast fashion ini, ada beberapa hal yang tidak tersorot yang bahkan kita semua tidak tahu. Kecepatan produksi seringkali mengorbankan kualitas. Banyak produk fast fashion menggunakan bahan baku berkualitas rendah yang tidak tahan lama. Akibatnya, pakaian cepat rusak dan berakhir di tempat pembuangan sampah, menciptakan masalah lingkungan yang serius.
Jika kita lihat dari sisi ekonomi, fast fashion menjadi pendorong pertumbuhan yang signifikan. Penelitian yang dilakukan oleh Kornelis (2022) mengungkapkan bahwa industri ini menghasilkan pendapatan penjualan global sebesar lebih dari USD 180 miliar setiap tahunnya. Angka ini setara dengan sekitar 4% dari Gross Domestic Product (GDP) global atau sebesar USD 1 triliun.
Di Indonesia, pertumbuhan industri fast fashion juga terlihat signifikan. Pusat-pusat perbelanjaan diramaikan oleh gerai-gerai fast fashion yang selalu dipadati pengunjung, terutama dari kalangan gen Z. Fenomena ini juga mendorong munculnya brand-brand lokal yang mencoba peruntungan di pasar fast fashion.
Jika media sosial telah memberikan panggung untuk memperkenalkan fast fashion, kehadiran e-commerce juga turut mempercepat pertumbuhan industri ini. Platform seperti Shopee, Tokopedia, dan Lazada menjadi marketplace yang memudahkan konsumen, terutama gen Z, untuk mengakses produk fast fashion dari berbagai merek, baik lokal maupun internasional. Flash sale dan promo-promo menarik semakin mendorong konsumsi yang tinggi.