Menelan Ludah Pengemis
Aku berjalan sore itu dalam kerumunan panjang di pusat kota ,jalan yang biasanya lalu lalang dengan kendaraan disulap menjadi pusat jajanan takjil yang ramai. Seperti yang lain suka cita dan keriangan tampak jelas di wajahku. Semua berburu takjil dan minuman segar.Kali ini aku berjalan dengan seorang pria yang menemaniku. Kami pun berjalan menyusuri sepanjang orang orang yang meneriakkan yang mereka jual. Ku liat awan sudah berarak arakan berubah warna dari putih cerah menjadi abu abu. Semakin menggebu kami melangkah mencari mangsa.
Langkahku terhenti sejenak. Kulihat antrian begitu panjang menarik jejakku untuk menghampiri. Kami pun bergegas kesana.Ternyata orang yang menjual lumpia. Karena lapar dan nafsuku mulai tergoda dengan aroma lumpia yang menggiurkan.Kami pun membeli beberapa lumpia. Hatiku mulai gusar melihat jam di tangan. Sudah hampir satu jam kami berdiri dalam kerumunan. Membeli lumpia tak seperti membeli ticket kereta api.Antri lurus dan rapi. Entah mengapa di negeri ini sush sekali menemukan kebenaran. Selalu saja ego tiap manusia tidak pernah ada yang mau dikalahkan. Sepeleh memang.Cuma membeli lumpia.Tidakah kita berfikir kita datang di tempat yang sama dengan tujuan yang sama, di hari penuh hikmah pula. Mengapa kita tidak pernah berfikir untuk tertib membeli lumpia dengan hati yang tenang. Aku menjerit tersentak tiba tiba waktu itu. Ku lihat di sebelahku Ada perempuan cantik berambut panjang dan pirang yang memakai bju branded, kaca mata hitam, dan sepatu high heel tengah menginjak kakiku.
Tanpa ada satu katapun yang kudengar dari perempuan itwaktu u. Padahal aku sudah teriak merasa ada yang melukai kakiku. Aku menunggu dia mengucapakan sesuatu. Yach,,, aku mendengarnya. Mungkin aku agak kesal waktu itu. Aku masih menunggu perempuan yang sepertinya ingin terlihat seperti perempuan berada dengan gaya dan sikapnya itu mengucapkan satu kata. Hatiku pun bergejolak .Ternyata yang aku dengar bukan kata maaf. Bibir merahnya yang begitu mungil dan berkilau indah dengan keras memekik,bilang,”Lumpia, buk, lumpianya dunk cepetan nich”.
Kalau boleh aku gambarkan sudah ingin pigsan aja aku waktu itu. Hallo…Perempuan yang terlihat berpendidikan dan berkelas itu terlihat seperti perempuan yang gag pernah memakan bangku sekolah. Benar benar memalukan.
Yach itulah budaya kita yang biasanya digembor gemborkan dengan keramahan dan kesopanannya sudah dipertaruhkan perempuan itu dengan lumpi. Dia mirip sekali dengan pedagang asongan yang berteriak teriak karena takut dagangannya gag laku.
Aku ingin sekali meluapkan kemarahanku dalam pikiranku bergeming,” Mbak kira mbak aja yang ingin cepat dapat lumpia”. Ya ampun mestinya aku juga gag akan gadaikan kesabaranku hanya gara gara lumpia. Akhirnya aku pun tertawa begitu pula pria yang menemaniku waktu itu. Kok bisa ya di bulan ramadhan masih juga ada yangbersikap demikian.
Sebenarnya apa sich yang ada di pikiran orang orang ini berdesak desakkan, sikut sana sikut sini, injak sana injak sini. Masih berlapar lapar puasa. Aku jadi semkin gag mengerti. Mereka Cuma mementingkan isi perut sendiri. Aku masih gag mengerti. Apa yang sebenarnya ingin mereka cari. Apa yang menjadi tujuan mereka berpuasa? Menahan lapar aja atau ap?
Entahlah, aku belum bisa paham sifat dasar manusia, tapi satu hal yang bisa aku petikdi sini. Cobalah berkata maaf saat kau melakukan kesalahn sekecil ap pun. Dan jangan pernah lupa ucapkan terima kasih saat kau mendapatkanbantuan sekecil apa pun. Maka hidupmu akan terasa lebih ringan.
Satu pelajaran telah kudapat sore itu. Ku lihat langit semakin petang, begitu indah langit waktu itu, awan gelap nan hitam masih megah di atas sana beriring iringan.Lumpia sudah di tanganku. Setelah melewati perjalanan panjang. Kamipun berjalan lagi mencariEs buah. Tampaknya buka kali ini akn lebih menyenangkan. Di lewati penuh perjuangan.
Semua sudah lengkap. Kami pun berjalan sambil membunuh waktu menunggu adzan magrib. Hawa mulai tersa dingin, hembusan angin terlihat mulai kencang dan aroma tanah yang basah mulai terhendus di hidung. Tidak lama kemudian gemercik air dari langit pun mulai turun. Kamipun bergegas mencari tempat untuk berteduh. Kami temukan muda mudi ber haha hihi basah basahan sambil kehujanan. Suara adzan sudah mulai berkumandang.
Ada yang berlomba makan takjil dengan es yang terasa mendinginkan kerongkongan. Ada pula yang membeli bakso. Segar rasanya pemandangan malam itu.
Tapi ada yang membuatku gag tega untuk memakan lumpia. Pria disampingku pun demikian. Di tengah tengah keriangan orang orang yang berbukapuasa, merayakan hari itu dengan penuh suka cita. Mereka bahkan tidak ada satupun yang melihat. Di tengah tengah mereka ada ibu ibu yang sudah tua duduk sendirian tanpa setetes air ataupun sebutir nasi pun di tanganna. Sungguh ironi sekali malam itu. Mereka bergelimpangan makanan dan minuman tapi tak satupun yang menghiraukan si pengemis tua yang juga sama merasakan kelaparan.
Akupun tertegun haru, mataku mulai berkaca, si pengemis tua cuma duduk menelan ludah nya sendiri. Melihat orang orang di sekitar makan ludah sang pengemis. Benar benar tega.
Berbagi dengan sesama gag akan pernah mengurangi nikmat yang kaurasakan. Semakin sempurna buka bersama ku kali ini. Aku bahagia meski tak sehebat,sekaya, dan berlimpah seperti mereka. Aku masih bisa menahan untuk tak menelan ludah pengemis untuk aku makan.
Aku percaya Allah akan selalu memberi nikmat kepada hambanya yang selalu bersyukurdan berbagi dengan sesamanya.
Mulai bukalah mata, hati ,dan pikiran untuk melihat dan menerti ironi dalam hidup yang kau temui
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H