[caption id="" align="alignnone" width="580" caption="Ekonomi Berbasis Pengetahuan | sumber : www.onelifesuccess.net"][/caption] Melanjutkan post saya sebelumnya tentang bagaimana menghindari jebakan negara berpenghasilan menengah (Middle Income Trap). Salah satu teman saya, Emil Dardak - seorang ahli di bidang ekonomi pembangunan menginformasikan bahwa untuk menghindari jebakan negara berpenghasilan menengah, kita harus meninggalkan ekonomi berbasis komoditi (sumber daya alam) dan mulai merambah ke ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge based economy) agar bisa menghasilkan nilai tambah (value added) yang lebih tinggi. Can't agree more! Jika kita perhatikan lima negara dengan GDP terbesar didunia - Amerika Serikat, Tiongkok, Jepang, Jerman dan Perancis. Negara - negara ini adalah negara yang menitikberatkan perkembangan ekonomi mereka ke ekonomi berbasis pengetahuan. Saya akan coba mengupas dua negara yang lokasi dan secara historis paling dekat dengan kita, yaitu Jepang dan Tiongkok. Bagaimana mereka melakukan perjalanan "transformasi" dari negara berpenghasilan rendah sampai ke posisi mereka sekarang - negara dengan ekonomi paling besar di dunia. JEPANG Sebelum restorasi Meiji (1854), Jepang adalah negara yang mengandalkan beras dan hasil laut (ikan) sebagai basis utama perekonomian mereka. Itulah sebabnya kenapa orang -  orang yang memiliki tanah, Tuan Tanah (land lord), dianggap sebagai orang yang berkuasa karena mereka menguasai "alat" utama dari perekonomian Jepang saat itu. Menggunakan uang yang mereka miliki dari hasil sewa tanah dan hasil bumi yang dihasilkan, para tuan tanah ini kemudian menyewa prajurit terlatih, kemudian disebut samurai, untuk menjaga tanah - tanah mereka.  Lama kelamaan, setelah memiliki banyak prajurit dan samurai, para tuan tanah ini kemudian menjelma menjadi apa yang disebut Warlord. Warlord yang paling kuat seantero Jepang kemudian diangkat oleh Kaisar Jepang menjadi Shogun dengan tugas utama meng-"aman" kan Jepang dari ancaman dunia luar. Pada tahun 1854, shogun Tokugawa mengeluarkan kebijakan yang saat itu sangat kontroversial, yaitu membuka jalur perdagangan dengan negara - negara barat (saat itu diwakili oleh Belanda dan Inggris). Setelah tahun 1854, banyak sekali produk - produk teknologi dan pengetahuan lainnya dari negara - negara barat masuk ke Jepang. Shogun Tokugawa juga mengirimkan ribuan pemuda Jepang ke Amerika Serikat dan Eropa untuk menimba ilmu serta mempekerjakan lebih dari 3,000 orang Barat untuk mengajarkan ilmu pengetahuan modern, matematika, teknologi, dan bahasa asing ke para penduduk Jepang. Selain itu, shogun Tokugawa juga membangun rel kereta api, memperbaiki jalan dan meresmikan program reformasi tanah untuk mempersiapkan pengembangan lebih lanjut. Untuk mempromosikan industrialisasi di Jepang, shogun Tokugawa membantu pihak swasta yang paling siap dengan mengalokasikan sumber daya yang mereka perlukan untuk menumbuhkan bisnis mereka. Pada saat itu, pemerintah Jepang membangun pabrik dan galangan kapal untuk kemudian dijual kepada pihak swasta dengan nilai yang sangat kecil dibandingkan nilai sesungguhnya. Selain industri riil, shogun Tokugawa juga mengembangkan industri  perbankan agar pembiayaan pertumbuhan bisnis bisa berkembang dengan baik. Shogun Tokugawa benar - benar berkomitmen untuk menyediakan situasi ekonomi yang kondusif agar bisnis dan industri di Jepang bisa berkembang, dan mereka tidak perlu menunggu waktu lama untuk mendapatkan hasil dari "investasi" mereka. Pada tahun 1890, industri tekstil dari Jepang berhasil mendominasi pasar dalam negeri dan bahkan dapat bersaing dengan produk Inggris - pemimpin pasar industri tekstil saat itu - di Tiongkok dan India. Para pedagang Jepang dapat bersaing dengan para pedagang Eropa dengan membawa hasil industri dalam negeri mereka ke seluruh Asia dan bahkan Eropa. Cerita selanjutnya sepertinya tidak perlu saya lanjutkan lagi karena kita semua tahu seperti apa Jepang sekarang - salah satu negara industri paling maju di Indonesia. TIONGKOK Tiongkok mengalami transformasi ekonomi yang bahkan lebih hebat daripada Jepang. Jika Jepang memerlukan waktu sekitar 50 - 70 tahun untuk merubah wajah perekonomian mereka, maka Tiongkok hanya membutuhkan waktu 30 tahun untuk bertransformasi dari salah satu negara paling miskin di dunia menjadi negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Sebelum tahun 1979, di bawah kepemimpinan Mao Zedong, Tiongkok memberlakukan sistem perekonomian terpusat yang dikendalikan sepenuhnya oleh pemerintah. Sebagian besar dari output ekonomi negara diarahkan dan dikontrol oleh negara, yang menetapkan tujuan produksi, mengendalikan harga, dan mengalokasikan sumber daya. Pada tahun 1950-an, semua peternakan dan rumah tangga di Tiongkok mengumpulkan hasil produksi mereka secara kolektif ke pemerintah untuk kemudian dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Perusahaan swasta dan investasi asing dilarang masuk oleh pemerintah Tiongkok. Tujuan utamanya adalah untuk membuat perekonomian Tiongkok mandiri. Perdagangan luar negeri hanya dilakukan untuk mendapatkan barang-barang yang tidak bisa dibuat atau diperoleh di Tiongkok. Akibat langsung dari kebijakan terpusat ini yaittu dikuasainya tiga perempat dari produksi di Tiongkok oleh badan usaha milik negara (BUMN). Untuk memulai proses industrialisasi yang pesat, pemerintah Tiongkok mulai memberlakukan investasi besar-besaran ke infrastruktur fisik dan sumber daya manusia selama tahun 1960-an dan 1970-an. Puncaknya pada tahun 1979, dibawah pimpinan Deng Xiaoping, pemerintah Tiongkok mulai meluncurkan beberapa reformasi ekonomi. Pemerintah mulai memberikan insentif harga dan kepemilikan tanah untuk petani serta membiarkan mereka menjual sebagian hasil panen mereka di pasar bebas. Selain itu, pemerintah juga memberlakukan 4 (empat) zona ekonomi khusus di sepanjang pantai Tiongkok dengan tujuan untuk menarik investasi asing, meningkatkan ekspor, dan mengimpor produk teknologi tinggi ke China. Reformasi lain, yang dilakukan secara bertahap adalah memberlakukan kebijakan desentralisasi ekonomi di berbagai sektor, terutama perdagangan. Kontrol ekonomi mulai diberikan kepada pemerintah provinsi dan daerah, yang umumnya diizinkan untuk beroperasi dan bersaing dengan menggunakan prinsip-prinsip pasar bebas, bukan di bawah arahan dan bimbingan perencanaan pemerintah pusat. Selain itu, warga didorong untuk memulai bisnis mereka sendiri. Daerah pesisir dan kota-kota yang ditetapkan sebagai kota terbuka dan zona ekonomi khusus, memungkinkan para wirausaha baru ini untuk bereksperimen dengan reformasi pasar bebas. Pemerintah pusat juga menawarkan pajak dan perdagangan insentif untuk menarik investasi asing. Selain itu, kontrol harga negara pada berbagai macam produk secara bertahap dieliminasi. Implementasi bertahap ini dilakukan untuk mengidentifikasi kebijakan ekonomi yang menguntungkan (dan yang tidak) untuk rakyat Tiongkok. Jika berhasil, maka kebijakan tersebut akan segera diterapkan ke bagian lain dari Tiongkok. Proses yang disebut oleh Deng Xiaoping sebagai "proses menyeberangi sungai dengan menggunakan pijakan batu satu persatu " Buah dari reformasi kebijakan ini adalah pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang luar biasa, rata - rata 8 - 10% tiap tahunnya yang mengakibatkan sekitar 500 juta penduduk Tiongkok berhasil keluar dari garis kemiskinan dan saat ini Tiongkok duduk sebagai negara dengan perekonomian terbesar kedua, setelah Amerika Serikat. INDONESIA?! Oke..terus bagaimana dengan negara kita? Pelajaran apa yang bisa kita petik dari keberhasilan Jepang dan Tiongkok? Kalau diperhatikan ada 3 (tiga) benang merah utama yang mendasari pertumbuhan ekonomi Jepang dan Tiongkok : 1. Terbuka (Selektif) terhadap Pihak Asing Baik Jepang dan Tiongkok sama - sama berkembang pesat setelah mereka "membuka" diri kepada pihak asing (teknologi dan investasi). Namun, kedua negara tidak serta merta membuka seluruh perekonomian mereka terhadap pihak asing. Kedua negara hanya membuka "celah" bagi pihak asing untuk bidang - bidang yang mereka belum kuasai. Mereka melakukan ini dengan tujuan terselubung untuk bisa mempelajari teknologi asing tersebut dan akhirnya bisa membuatnya sendiri. 2. Pendidikan dan Kewirausahaan (Swasta) untuk Peningkatan Produktifitas Poin kedua yang membantu perkembangan pesat Jepang dan Tiongkok adalah peningkatan pendidikan (sumber daya manusia) dan dukungan pemerintah terhadap perkembangan kewirausahaan (pihak swasta). Hal ini dilakukan dengan tujuan utama untuk mempercepat proses transfer teknologi dari pihak asing yang pada akhirnya berdampak langsung terhadap peningkatan produktifitas Jepang dan Tiongkok. 3. Perbaikan Infrastuktur Fisik Poin terakhir yang tidak kalah penting adalah perbaikan infrastruktur fisik untuk menunjang peningkatan produktifitas. Sebagai gambaran, dengan situasi infrastruktur yang ada sekarang (dimana -mana macet), seorang pekerja di Jakarta hanya bisa melakukan dua kali (maksimum) pertemuan dengan klien atau rekan bisnisnya. Coba bandingkan dengan pekerja di Singapura yang bisa melakukan empat - enam kali pertemuan dalam satu hari. Tiga hal yang saya lihat masih belum diimplementasikan (secara penuh) oleh pemerintah kita sebelumnya. Kita masih sering kebablasan dalam membuka "celah" dengan pihak asing dan kerap melupakan transfer teknologi. Mudah - mudahan pemerintahan yang baru (Pak Jokowi - JK) bisa lebih memperhatikan kedua hal ini agar kita bisa mendapatkan "pengetahuan"yang kita butuhkan untuk membawa Indonesia "terbang" lebih tinggi lagi. Regards Apung Sumengkar #IndonesiaBisa# "Apung adalah konsultan manajemen, pengusaha dan akademisi dengan berbagai macam pengalaman, mulai dari penanganan usaha kecil-menengah (UKM) sampai ke pengelolaan merek global. Lulusan Teknik Industri dari Universitas Indonesia, International MBA dari RSM Erasmus University, dan saat ini sedang mengikuti program Doktor Manajemen Bisnis di Universitas Indonesia. Jika ingin berdiskusi lebih lanjut, apung bisa dikontak di @apungsumengkar (twitter)"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H