Plagiat cuma persoalan kecil? Seorang dosen dengan reputasi terhormat terpaksa mundur dari jabatannya. Sepele, beliau memplagiat tulisan orang lain, itu pun hanya beberapa paragraf. Di dunia akademik plagiasi adalah aib kelam yang sulit dihapus. Jika tidak ada sanksi akademik, maka akibat menjilak sanksi sosial berupa reputasi tercela yang sulit dipulihkan. Pendek kata, jangan coba-coba menjiplak di dunia akademik
Di era media sosial dan era informasi yang mengalir cepat, plagiasi semakin dimudahkan, semakin sulit dideteksi, fungsinya pun makin beragam. Jika dahulu plagiat bermotif intelektual, di era internet dan media sosial plagiat karya tulis dilakukan untuk menarik minat orang, menaikkan rangking SERP (Search Engine Result Page), hingga mendongkrak popularitas suatu akun media sosial. Ranking tinggi topik tertentu adalah segalanya. SERP memberi potensi komersial yang sangat besar, mendulang dolar melalui addsense, atau dapat digunakan agar toko e-commerce diserbu pembeli, tanpa susah payah berkeliling menjajakan dagangan. Untuk mendapat popularitas tinggi, tulisan berkualitas menjadi syarat utama. Mereka yang tidak punya kemampuan menulis dan/atau malas menulis, melakukannya dengan menjiplak. Motifnya murni ekonomi.
Sebetulnya, media massa internet dan penulis cukup longgar menyikapi penyebaran suatu tulisan. “Sharing” atau berbagi tulisan yang sama persis hingga titik koma menjadi lumrah, syaratnya: tolong cantumkan sumber aslinya, berupa link. Tanpa sumber dan link itu, tulisan ulang tadi disebut menjiplak. Walau pun ada saja cara orang mengakali supaya sebuah tulisan jiplakan terlihat original, dari cara yang paling halus dengan merubah sebagian kalimat dan kata-katanya, tapi sebagian besar kalimatnya masih sama.
Hingga saya menemukan plagiasi spektakuler yang bisa digolongkan rekor dunia secara tidak sengaja. Dalam sebuah pencarian tulisan travelling di media sosial, saya membaca tulisan yang cukup menarik tentang pantai. Sebagai penulis saya merasa ada keganjilan, karenanya saya menelusuri asal usul tulisan tersebut. Ternyata setelah saya telusuri lewat judul yang disajikan, tulisan tadi hasil plagiat dari sebuah situs travelling.
Yang mengejutkan, dari situ saya menemukan akun google plus yang menjadi gudang plagiat dari berbagai situs, di antaranya detik travel, kompas travel, viva, national geographic, merdeka dan beberapa situs lain. Jumlahnya sangat spektakuler, ada ratusan tulisan yang diplagiat hingga titik koma, nyaris semuanya tidak mencantumkan sumber tulisan.
Pola yang menarik perhatian saya, di bagian akhir tulisan dicantumkan link yang mengarahkan saya menuju sebuah situs usaha tas, bukan ke sumber asli tulisan. Rupanya tulisan-tulisan plagiat itu digunakan untuk mendukung bisnis e-commerce tas pemilik situs. Agar web-nya meraih rangking tinggi di SERP dan kepopuleran media sosial, dalam upaya mendongkrak penjualan tasnya besar-besaran.
[caption caption="bawah tulisan tidak mencantumkan link asal tulisan/dokpri"][/caption]
Selama beberapa hari berikutnya, di waktu luang saya menelusuri jejak-jejak tulisan dan website dari pemilik akun tersebut. Ternyata beberapa situs lain dengan pemilik yang sama juga menggunakan banyak tulisan plagiat untuk menaikkan rangking SERP. Saya berdecak geram ketika melihat perkiraan kasar jumlah tulisan yang dijiplak tidak kurang dari 400-500 tulisan. Sebagian sudah dihapus, mungkin karena dipergoki pemiliknya. Sebagian praktik plagiat lainnya terus berlanjut dalam jumlah yang juga sangat besar.
Tapi dibanding persoalan kuantitas, ada yang lebih mengejutkan. Pemilik usaha tas tadi bukan orang biasa, melainkan orang dengan gelar akademik cukup tinggi. Seorang master atau S2, yang pastinya paham konsekuensi sebuah tindakan plagiat. Tanpa malu sedikit pun beliau mencantumkan gelar M.Si di website dan akunnya yang penuh dengan tulisan plagiat.
Saat berinisiatif untuk menegur pemilik situs, rupanya sebelumnya ada seorang blogger travel bernama Anggita yang keberatan dan sudah menegur, sehingga saya dikira orang yang sama. Pelaku plagiat dengan halus mengakui tindakannya, tetapi ketika saya menekan dengan mengatakan “kamu pencuri”, dan “tidak pantas seseorang bergelar S2 melakukan plagiat seperti itu”, pelaku menantang saya, mengintimidasi serta mengancam akan membayar orang untuk mencari saya. Dia beralasan bahwa plagiasi itu dilakukan karyawannya. Tercermin dari pesan yang saya peroleh, yang bersangkutan sangat paham akibat hukum dari perilaku plagiatnya tetapi secara sengaja menjiplak karena alasan komersil.
Penelusuran saya menunjukkan plagiasi itu berlangsung sejak sekitar 3-4 tahun lalu dilakukan untuk menaikkan rangking SERP situs penyalur tas miliknya. Lalu saat usahanya meledak berkat SERP, pelaku membuat merk tas sendiri dan mengulangi pola plagiat yang sama di situs miliknya dan akun media sosial. Sebuah strategi yang tidak mungkin dilakukan karyawan biasa tanpa sepengetahuan pemilik usaha.