Menurut laporan tahunan Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (AJI) tahun 2021, persentase jurnalis perempuan sekitar 18,6%, hanya 1868 jurnalis perempuan di seluruh Indonesia. Alasannya adalah perspektif budaya Indonesia yang konon mendikte bahwa peran perempuan adalah di dalam rumah sebagai ibu dan pengurus rumah tangga. Sangat menarik untuk menyimpulkan bahwa tempat perempuan dalam Jurnalisme terbatas karena masyarakat Indonesia menggambarkan perbedaan dikotomis laki-laki sebagai orang yang bernalar, objektif, kuat yang terlibat dalam fungsi produktif (ekonomi) ruang publik dan perempuan sebagai orang yang emosional, subyektif, halus yang terlibat dalam fungsi reproduksi (biologis) ruang pribadi (Romano, 2003). Karena alasan ini dan rendahnya jumlah sumber daya manusia: jurnalis perempuan, berdampak pada posisi jurnalis perempuan di ruang redaksi. Sebuah penelitian dari AJI menunjukkan bahwa hanya 6 persen jurnalis wanita yang bekerja di manajemen puncak atau sebagai editor senior dan 94 persen atau mayoritas jurnalis wanita bekerja sebagai reporter atau bukan pembuat keputusan redaksi.
Minimnya jumlah jurnalis perempuan di tingkat redaksi atau manajemen puncak berdampak pada kebijakan media tentang tugas peliputan perempuan, masalah upah dan juga berpengaruh pada bagaimana media menggambarkan berita perempuan seperti kasus pemerkosaan, dll. Dari laporan yang sama, AJI menemukan gambaran negatif tentang perempuan di sejumlah media nasional. Akibatnya, berita kategori kekerasan terhadap perempuan masih mendominasi. Anehnya, ada juga kasus pelanggaran kode etik jurnalistik, khususnya dalam pemberitaan kekerasan terhadap perempuan sebagai korban. Perempuan yang dilecehkan mengalami berbagai kekerasan, seperti yang ditampilkan dalam berita dengan cara yang diskriminatif. Riset AJI menunjukkan, jumlah narasumber atau narasumber yang diwawancarai media masih lebih banyak laki-laki daripada perempuan. Kondisi tersebut membuat suara perempuan terabaikan dalam isu-isu perempuan. Perspektif laki-laki dan perempuan dalam menanggapi isu-isu perempuan jelas akan berbeda. Hal ini dapat menyebabkan ketidaksetaraan gender dalam berita.
Kurangnya kepekaan gender di media dibuktikan dengan kegagalan menghilangkan stereotip berbasis gender yang bisa ditemukan. Oleh karena itu, peran jurnalis perempuan dalam redaksi sangat penting untuk mempromosikan ketidaksetaraan gender. Karena jurnalis perempuan telah digambarkan sebagai sosok yang kompeten, mandiri, berani dan penyayang berdasarkan penelitian pelopor jurnalis perempuan, Donna Born yang menemukannya (Ehrlich & Saltzman, 2015).
Bagaimana media Indonesia menangkap isu perempuan juga masih klise dan kondisi ini bertentangan dengan deklarasi Beijing pada tahun 1995 yang mengatakan dalam satu butir bahwa citra perempuan di media harus berimbang dan tidak klise. Selain citra perempuan di media yang cenderung stereotip, pemberitaan media juga masih diskriminatif.
Wanita adalah wanita super; mereka adalah pendorong pertumbuhan ekonomi dunia. Secara global, mereka mengendalikan sekitar $20 triliun pengeluaran konsumen tahunan, dan angka itu bisa naik setinggi $28 triliun dalam lima tahun ke depan (HBR, 2009) dan makanan merupakan salah satu pengeluaran terbesar. Peneliti Gilbert Burck mempertanyakan “Apa yang Membuat Wanita Membeli?” kemudian dia menemukan bahwa tidak ada yang menghargai dan memikirkan konsumen wanita lebih dalam daripada industri makanan (Parkin, 2006)
Dalam buku “Food is Love: Food Advertising and Gender Roles in Modern America” penulis; Katherine Parkin berkata, pengiklan umumnya percaya bahwa wanita dan pria berbicara dengan bahasa yang berbeda dan pikiran mereka bekerja secara berbeda. Wanita mengandalkan intuisi dan pria memikirkan berbagai hal hingga kesimpulan logis mereka. Bahasa yang digunakan dalam iklan untuk perempuan harus umum dan masuk akal, bukan teknis atau jenis yang biasa digunakan untuk mempengaruhi laki-laki (Parkin, 2006)
Inilah mengapa wanita menjadi fokus utama pengiklan. Sampai saat ini, Perusahaan Makanan Indonesia dan pengiklan masih menjaga status quo perempuan dalam cara mereka menggambarkan peran perempuan dalam iklan, agar peran perempuan sebagai agen pembelian dan tetap memasak untuk keluarga mereka sehingga menimbulkan bias gender di media. Padahal konferensi UN Women di Beijing menetapkan aksi global untuk pemberdayaan perempuan dengan mempromosikan penggambaran perempuan yang berimbang dan tidak stereotipe di media. Melalui Mengembangkan, konsisten dengan kebebasan berekspresi, pedoman profesional dan kode etik dan bentuk pengaturan diri lainnya untuk mempromosikan penyajian citra perempuan yang tidak stereotip. Namun tujuan tersebut tidak mengubah realitas, audiens masih dapat menemukan bias gender dalam iklan. Peran perempuan dalam iklan tidak berubah secara signifikan sejak tahun 1995.
Penulis sebagai mahasiswa Universitas Cyber Asia Jakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H