Kini aku lebih menyakini,
bahwa persatuan tubuh manusia belum tentu dapat menciptakan cinta.
Karena cinta adalah cinta.
Tidak ada sesuatu apa pun yang mendasarinya.
Tidak juga pada rasa nyaman atau kehangatan.
Ia berdetak tak memiliki raga.
Ia bernafas tak memiliki tulang.
Sore, 15 Feb 2012, dimana angin berhembus dari balik dedaunan pohon-pohon kelapa sawit yang berjejer di depan rumah, aku duduk menatap langit.
Menghitung-hitung kapan waktunya airmata jatuh membasahi bumi.
Menghitung-hitung seberapa dingin yang mampu ditusukkan angin ke rusuk manusia.
Menghitung-hitung seberapa jauh gelap dilangit ini akan bertahan.
Sore, 15 Feb 2012, dimana kicauan kumpulan burung-burung senja menghiasi langit kelam hendak pulang, aku berbicara sendiri pada hatiku.
"Aku merindukanmu.."
Bukan rindu pada sentuhan-sentuhan, atau ciuman-ciuman yang sering saling kita lontarkan kala bertatapan wajah.
Aku hanya rindu.
Sampai menyesakkan dada trus ke tulang rusukku, mampir sebentar dihati dan berhenti di jantung.
Aku sangat merindumu sampai ingin sekali merapuh seperti kertas.
Sore, 15 Feb 2012, dimana langit kelihatan ingin sekali menangis, aku semakin menyadari bahwa ini, perasaan membuncah dalam dada dan kepalaku ini, tidak hanya sebatas ukuran tubuhku padamu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H