Mohon tunggu...
Aprohan Saputra
Aprohan Saputra Mohon Tunggu... Freelance Writer and Layouter -

Tetap Berpikir Merdeka! -aku nge-kompasiana cari banyak teman, jadi yang mau follow akunku jangan ragu-ragu- Tabikpun

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dari Lifter Jadi Pelatih Lifter

23 Oktober 2012   12:10 Diperbarui: 18 Desember 2017   17:19 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Majalah Teknokra Unila



Berawal dari kagum kemudian menjadi hobi akhirnya Yon Haryono tekun mengembangkan latihan olahraga angkat bersi di Kota Metro.

Pukul tujuh malam, Yon Haryono (43) kaget. Terdengar suara ketuk pintu memangil namanya.

“Tok... Tok... Tok... Assalamualaikum, mas”.“Loh... Rio... Kok udah pulang?”.“Iya, mas, saya dipulangin”.“Pulang sama siapa?”.“Sendirian, mas”.... Yon marah. Kesal. Rio Setiawan (24) anak didikannya pulang sendirian. Ia dipulangkan dari Parung Panjang, Bogor karena menderita cidera pada kedua lututnya. Engselnya lepas saat berlatih. “Saat itu emang saya kurang pemanasan jadi ototnya kurang siap,” jelas Rio. Sudah enam bulan Ia dirawat. Terapi beberapa kali tapi tak kunjung membaik. Terpaksa Joni Firdaus, pelatihnya memulangkannya ke Tejosari, Metro (2003). Joni Firdaus adalah pelatih yang membawa Rio ke Parung Panjang pada tahun 2002 akhir. Bukan hanya Rio yang ia bawa, dianatanya ialah Eko Yuli Irawan, Tri Yatno, Edi Kurniawan, Didi Aprianto, Titin Lestari, Yuli Rahma Wati. Yon sengaja membiarkannya supaya mereka mendapat pelatihan yang lebih baik. Rio dan teman-teman yang lain mendapat trainning center untuk atlet angkat besi yang berprestasi. Ia disekolahkan dan memperoleh gratis seluruh tanggungan hidupnya disana. Pada saat itu Pengurus Cabang Persatuan Angkat Besi Berat dan Binaraga Seluruh Indonesia (PABBSI) Kalimantan Selatan yang membiayai mereka. “Solusinya ga tepat,”kata Yon. Ia merasa dibohongi. Baru tiga hari ia pulang dari Parung Panjang menanyakan ke adaan Rio. “Apa Rio saya bawa dulu ke Lampung untuk dirawat?” katanya. Tapi salah satu pelatih menyangkal agar Rio tetap disini (Parung Panjang). Akhirnya berapa hari setelah kedatangan Rio. Ia kembali menanyakan kepulangan Rio dengan sendirian balik ke Tejosari. Ia meluncur ke Parung Panjang. Yon selalu bertanya-tanya kenapa mereka tidak koordinasi atau menghubungi dia terlebih dahulu. “Main pulang-pulangin aja, enakaja, enngak ada tanggung jawabnya,”terang Yon. “Seharusnya salah satu dari mereka mengantarkan Rio sampai ke Tejosari,” tambahnya. Sesampai Yon di Parung Panjang, mereka mendiskusikan masalah Rio. Namun ternyata pihak pelatih tak mampu merawat Rio. Rio saat itu masih berumur dua belas tahun. Dari Parung Panjang, Ia diantar salah satu pelatih sampai Pelabuhan Merak dan seterusnya ia dinaikan kebus jurusan Lampung. “Pikiran saya saat itu, apa saya bisa sampai rumah,” ujar Rio mengenang nasibnya. Sejak itulah Yon bertekat mengajak Rio untuk mengembangkan olahraga angkat besi di Tejosari, Metro. Ia mulai berusaha supaya tidak ada campur tangan lagi dengan daerah-daerah lain selain Lampung. “Sayaenggak ingin bantu daerah lain,” kesal Yon dengan keadaan anak didiknya itu. Yon selalu memberi semangat dan motivasi kepada Rio. “Enngak usah menyerah, kalo belum ada hasil jangan menyerah,” tutur Rio menirukan nasihat pelatihnya itu. Dari kejadiaan itulah Yon bertekat mendirikan sasana barunya di Tejosari--sebelumnya 2000-2001 sasana latihan mereka bertempat di Tejo Agung 24, Metro Timur--bersama dengan Rio. “Kalo kamu enngak bisa jadi atlet angkat besi, berarti kamu harus jadi pelatih,” Yon menyemangati Rio. Yon berusaha mencari dana buat membangun sasana. Akhirnya kerja kerasnya tak sia-sia. Masyarakat Tejosari mendukung bila didirikan sasana latihan angkat besi. Masyarakat pun bergotong royong membangun sasana latihan. Tak sedikit bahan bangunan didapat dari bantuan warga, begitu pula uang kantong pribadi Yon pun ia relakan. Namun sasana yang dimiliki jauh dari sempurna. Kebanyakan orang menyebutnya mirip kandang kambing. Ukuranya empat kali delapan, berdidinding papan, beratap seng. dan berlanataikan semen. Tanahnya pun masih numpang. Dengan peralatan yang seadanya, anak-anak Tejosari mulai berdatangan ikut latihan angkat besi. muridnya anak-anak sekolah dasar sampai anak sekolah menengah atas. Latihannya tiap pagi dan sore hari. Pagi bada subuh sampai pukul 06:30. Dan sore harinya bada asar sampai pukul 17:30. Peralatan lama tahun 2001 lalu hasil pemberian teman lama, Joko Buntoro (Alm). Joko berikan peralatan besi bekas dari Banyumas, Jawa Tengah. Dulu Joko pelatih angkat besi disana. Dua set barbel bekas dengan kondisi sudah empat puluh persen. Dan empat set barbel dari Ketua Pengurus Daerah PABBSI Banjar Masin, Kalimanatan Selatan, Karli Hanapi (60). Yon tak pernah meminta sepeser pun dari anak-anak didiknya uang. Yon berusaha mencari uang dan bantuan dalam pemenuhan gizi anak didikannya. Karena olahraga angkat besi salah satu yang paling pokok adalah kondisi stamina yang sempurna. “pemenuhan empat sehat lima sempurna sangat penting,” ujarnya. *** Yon Haryono, pria kelahiran Pringsewu, 16 Februari 1969 ini mulai tertarik dengan olahraga angkat besi karena kagum melihat Joko Buntoro (Alm). Joko pada saat itu habis pulang dari pemusatan latihan nasional (pelatnas) angkat besi di Jakarta dengan mengenakan jaket yang bertuliskan Indonesia. Joko sepuluh tahun lebih tua dari Yon. “Dulu kalo ada stiker tulisan Indonesia atau KONI dijaket atau dibaju, orang-orang udah salut lihatnya. Lain kalo sekarang siapa saja bisa bikin,” ujar ia menjelaskan ketertarikannya pada saat bertemu Joko. Sejak duduk dibangku kelas lima SD X Pringsewu, Mantan lifter (sebutan atlet angkat besi) ini bergabung dengan sasana angkat besi Gajah Lampung. Ia mulai bercita-cita tinggi. Ia ingin terkenal dan memakai jaket seperti Joko yang bertuliskan Indonesia. Gajah Lampung merupakan padepokan olahraga angkat besi terkenal di Lampung. Padepokan yang dikelola oleh Imron Rosyadi (ketua pelatihan pengurus daerah provinsi lampung), didirikan pada 1960-an. Padepokan ini pun memiliki asrama bagi lifter-lifternya. Berkat gemblengan Imron selama kurang lebih satu tahun, Yon untuk pertama kalinya mengikuti Kejuaraan Nasional (Kejurnas) Remaja Junior se-Indonesia pada Desember 1982 di Jogjakarta meraih medali perak. Juni 1983, Yon kemudian mendapatkan beasiswa enam tahun. Ia masuk sekolah para atlet, SMP Ragunan di Jakarta. Tak lama, Desember 1983, Ia pun mengikuti Kejuarnas di Jakarta memperoleh tiga medali emas untuk kategori angkatan snatch, clean & jerk, dan total. Berkat kerja keras dan kesungguhannya, Yon mulai menjadi sorot media. Ia meraih prestasi ditingkat nasional maupun dunia. Salah satunya saat ia duduk di bangku SMA Ragunan, Yon bergabung dengan pelatnas Olimpiade Seoul Korea 1988. Turun di kelas 56 kilogram grup A, Yon menempati urutan kedua belas dari tiga puluh tujuh peserta. Dalam persiapan Olimpiade ini ia dilatih Waldemar Basanvsky dari Polandia selama dua tahun. Ia mendapatkan pelajaran berupa metode snatch on the box—angkatan snatch dengan kotak penyangga sehingga fokus terhadap teknik mengangkat barbel secepat mungkin dari posisi lutut ke pangkal paha.Selain Basanvsky dia pula mendapatkan metode latihan kemampuan power dari pelatih Cina, Huang. *** Tahun ini merupakan tahun yang ia nanti-nantiakan, sekalian tahun yang menyedihkan bagi Yon Haryono. Selama kurang lebih satu tahun ia berlatih. Sungguh bersenang hati Yon menanti saat-saat ini karena ia akan mengikuti Pekan PON 1993. Ia kali ini mewakilkan Lampung. Ia mengikuti PON 1993 di kelas 59 kilogram. Kali ini panggilan Yon untuk berkonsentrasi mengangkat barbel seberat 110 kilogram untuk memperoleh emas buat Lampung. Kuda-kuda kakinya kokoh. Kedua tangannya dilebarkan memegang kencang besi barbel. Ia menarik napas dalam-dalam. Ia memulai angkatannya. Tak lama kemudian terdengar “kreeek”. Tulang siku kirinya lepas. Pegangan kuat pun terlepas. Barbel menghantam lantai. Penonton heran. Yon hampir pingsan. “penglihatanku gelap,” ujarnya mengenang. Cidera yang dderitanya kambuh--tahun 1991, Ia cidera saat mengikuti kejurnas senior. Ia gagal menyumbangkan medali bagi Lampung. Akhirnya Yon bersama Imron Rosadi, pelatihnya memutuskan pulang ke Pringsewu, Lampung. Dia sangat sedih saat itu. “Pertandingan paling nyedihin, kalo kemaren saya enggak terkilir saya pasti dapat medali,”katanya mengenang. Yon merasakan keseimbangan yang ia lakukan kurang pas. Hasilnya Erwin Abdullah perwakilan Sulawesi Selatan meraih Emas. Julkar Nain perwakilan Jawa Barat mendapat perak. Dan perunggu diraih Topik Hidayat dari Lampung. Sesampainya ia di tempat tanah kelahirannya, Yon memutuskan tidak menjadi atlet angkat besi, namun ia melatih anak-anak Pringsewu supaya mengikuti jejaknya sebagai lifter. 94 Juni 1994, Yon mempersunting Yati tetangganya. Perempuan itu kelahiran Sukoharjo, Pringsewu, 10 Desember 1974. Mereka kini dianugerahi tiga orang anak yaitu Yolanda Haryono (26/06/1995), Yordan Haryono (98/02/2011), dan Yosefi Surya Haryono (19/02/2006). Yati selalu mendukung kegiatan Yon. Ia menganggap atlet didikan Yon sebagai sahabatnya, mereka sering bercandaan. Kalo urusan kenapa atlet jarang masuk atau kurang semangat latihan, Yati sering disuruh suaminya mendatangi rumah atlet didikannya. Yati mengaku, “Senengkalo liat mereka latihan, sering bercanada-candaan, hepi aja”. Ibu rumah tangga ini merasa bahagia bersama Yon. “Suami saya itu engggak senang terikat, dia suka berwiraswasta,”ujarnya. Menurut istrinya, Yon tidak ingin menjadi PNS, Ia tidak ingin diatur orang lain. Sejak 1999 Ia memiliki pabrik padi di desa Bumi Mas, Batang Hari, Lampung Timur dan panglong, terima pesan semacam daun pintu, jendela, kusen di Pringsewu. *** Ayo, angkat lagi... ayo, terus-terus... sedikit lagi... yak....Kayaknya setelah pulang dari Kejurnas kemarin, semgamat bertambah, ya.... Terlihat senyum melebar dari salah satu atlet didikan Yon Haryono setelah berhasil mengangkat barbel seberat kurang lebih 120 kilogram dan mendapatkan pujian langsung dari pelatihnya. Sore itu, Senin (5/3) Yon dan Rio Setiawan sedang melatih anak-anak Tejo Agung, Metro dan sekitarnya. Anak-anak didikannya terakhir mengikuti Kejurnas Remaja Junior 2010 di Jakarta mewakili Lampung. Mereka adalah Joni Susanto (13), Harjianto (16), Deni Kurniawan (12), Rangga Bagas Pratama (11), dan lain-lain. Kini Yon dan anak-anak didikannya telah menempati sasana latihan mereka yang baru. Tempatnya tak jauh dari sasananya yang lama di Tejosari. Ukurannya pun sudah lebih besar, delapan kali enam belas meter, berdindingan beton, beratap genteng, lantai semen, dan sarana dan prasarana yang memadai. Hasil buah kerja keras Yon membuahkan hasil, mereka mendapatkan bantuan dari Kick Andy Hope dan sponsor tunggal eksta jos buat membangun gedung. Seperti sepatu, ikat pinggang, barbel telah mereka miliki. Gedung mereka kini sering mereka sebut PABBSI Komet (Kota Metro). Menurut Rio, “Pak yon itu sabar, enggak pernah marah dengan atletnya, enggak pernah maksain juga”. Tiap kali atlet didikan yon merasa sulit mengangkat beban ia selalu mengajarkan mereka teknik-tekniknya. Setiap anak didiknya ada kesulit ia dengan senang hati membantu. ”Mau atletnya diturutin, dia bikin senang, enggak ada beban,” ujar Rio. Ia selelu memperhitungkan tenaga yang di keluarkan tipa atletnya. “seminggu sekalibiasanya kami di gaji, untuk pemula biasanya lima ribu terus naik sampai ia sanggup menggangkat barbel lebih berat, uang jatahnya pun akan bertambah,” ujar salah satu atletnya. “Jadi gini, kami itu dapat juga biaya dari pemerintah tiap tahunnya lima juta rupiah,” ujara Yon menjelaskan. Dengan uang itulah dan ditambah uang sakunya. Ia berusaha memenuhi gizi anak didiknya. Anak didiknya pun bangga kepadanya. Salah satunya Harjianto berkata,”Luar biasa, ditengah kesibukannya mencari nafkah, ia masih menyempatkan melatih kami”. “Saya ngelakuin ini semata-matakarena hobi, kalo enggak hobi pasti saya udah tinggalkan aktivitas melatih angkat besi,” ujar Yon. Ia pun menjelaskan alasan mengapa ia memilih desa Tejosari sebagai tempat latihan angkat besi. Menurutnya cikal bakal dan punya kemauan terhadap olahraga angkat besi ada di tejosari. Salah satunya dukungan dari waraga disana. Dibuktikan dukungan warga setempat atas pendirian sasana saat syukuran padepokan yang baru, Jumat sore (3/3) dihadiri oleh kurang lebih empat puluh orang beserta kepala RT. Suparno (58) dan istrinya Suka Tinah (57) salah satu warga sekalian penjaga gedung yang baru berkata, “Kalo enggak ada dia (Yon Haryono), enggak jadi atlet, enggak ada dia juga kami enggak bisa umtroh dan haji”. Mereka sangat berterima kasih kepada Yon karena anak mereka Tri Yatno telah menjadi atlet terkenal di manca negara. Tercatat Tri Yatno merupakan lifter terbaik nomorsatu di Asia dan urutan ketiga lifter terbaik dunia. Tercatat anak didik Yon Haryono mulai 2000 sampai sekarang kurang lebih telah mnyumbangkan tiga puluh empat medali emas untuk kontingen Indonesia dalam kejuaraan sea games, asia games, olimpiade, dan keuaraan dunia lainnya. Walidin Sudiro Wisodo (50) Salah satu tetangga Yon. Ia dan tetanga lain tidak mempersetujui kalo disamping rumahnya di Ganjar Agung 14.2 dibuka tempat sasana latihan. Dulu Yon pernah membuka latihan di gerasi rumahnya. Namun warga kurang setuju. Karena suara barbel dan alat-alat latihan angkat besi membuat bising. Akhirnya Yon membubarkan latihannya. “Dulu warag sini, memang pernah komlen masalah latihan, harus ada tempat khusus yang ada peredam suaranya biar enggak ganggu tetangga lai, “ harapnya.  Oleh Aprohan Saputra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun