Kesunyian malam itu membuat dirinya frustasi. "saya sudah bosan bertetangga dengan kesunyian malam," celetuk dihati Sugeng Haryono (33). Bagaimana tidak setiap malam ia selalu dihantui dengan mitos dan suasana seram tempat tinggalnya. Selama dua tahun, ia ditemani kesepian. Maklum ia baru menjadi warga disana.
Dari keresahannya, ia ingin memberikan sesuatu yang bermanfaat untuk desanya. Desa Pematang Pasir, Kecamatan Ketapang, Lampung Selatan, tempat yang menjadi inpirasinya. Ia melihat ada sebuah bangunan usang, bekas balai desa kata warga disana.Â
Jaraknya kurang lebih dua kilo meter dari kediamannya. Balai hantu juga sering terdengar untuk menyebut bangunan itu.Â
Yah, bagaimana tidak bangunan itu tampak sunyi. Menurut Sugeng banyak yang ngaku bahwa masyarakat sekitar mengalami hal-hal aneh, mendengar suara-suara yang menyeramkan, tak ayal banyak yang ketakutan, ketika melewati balai itu.
Sugeng yang bekerja serabutan itu, menaruh perihatin atas keadaan. Saat ia di Ponorogo sudah terbiasa mengelola sebuah taman baca dan perputakaan desa sembari bekerja buka tambal ban. Maklum, ia merupakan seorang sarjana lulusan Ilmu Perpustakaan Universitas Terbuka Unit Program Belajar Jarak Jauh (UPBJJ) Ponorogo, Surabaya.
Ide mulai keluar dari kepalanya. "Bagaimana kalo balai hantu ini dijadikan peprustakaan atau taman baca," kenangnya. Beberapa temannya menganggap sudah gila. Bangunan yang usang dimakan usia, tembok dan cat yang sudah mengelupas disana sini, banyak sawang, sarangnya melata dan hewan hewan malam. "Bahkan jin dan dedemit saja tinggal disana," guyon Sugeng.
Sugeng mulai memutar otak. Melalui omong-omong kecil dengan kepala Desa Lebungnala, dia meminta ijin untuk menggunakan bangunan. Akhirnya kepala desa pun membolehkan untuk dibangun sebuah perpustakaan. Namun "instalasi listriknya pada hilang semua," ujarnya.
Tak patah semangat, Ia mencoba membuat lingkungannya yang baru jadi terarah dan lebih baik. Merubah sebuah Balai hantu menjadi sebuah tempat yang bermanfaat bagi masyarakat, terutama generasi muda dan anak-anak. Sugeng berdiskusi dengan teman-teman yang mendukung niatnya. Mereka berkomitmen perpustakaan harus jadi. Mereka mulai membersihkan dan merenovasi seadanya.
Sugeng mulai mengumpulkan beberapa buku yang didapat dari tukang loak. Ia juga meminta  sumbangan buku ke masyarakat dari rumah kerumah. Menatanya di satu ruangan menjadi tiga susun. Ia mulai mengajak anak-anak sekolah dasar kelas enam dan murid-murid yang mengaji. Dengan keyakinannya, ia sampaikan kepada anak-anak itu pasti ada orang lain yang akan membantu. "Sabar, yah," air matanya tak terasa bercucuran secara perlahan, namun ia menyembunyikan dari anak anak.
Ia yakin akan banyak yang membantunya bersama-sama dalam mewujudkan cita-cita mulianya itu. Dari hasil urun rembuk akhirnya perustakaan yang dibentuk diberinama "Perpusdes Ngeluri Ilmu".Cara mendapatkan namanya juga terbilang unik. Sugeng membentuk panitia kecil. Diadakanlah lomba untuk memberikan nama perpustakaan. Antusias masyarakat pun sangat besar.Â
Masyarakat tertarik untuk memberi nama melaui SMS. "Hadiah yang kita janjikan tidaklah terlalu besar untuk juara pertama pulsa senilai 20 ribu rupiah, sedang juara dua pulsa senilai 15 ribu rupiah dan juara ketiga pulsa senilai 10 ribu rupiah," terang Sugeng.