Mohon tunggu...
Apriyando YosuaSipayung
Apriyando YosuaSipayung Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia

senang berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pandangan Negara dan Masyarakat terhadap Kedudukan Anak di Luar Nikah di Mata Hukum Perdata Indonesia

13 Desember 2022   22:55 Diperbarui: 13 Desember 2022   23:09 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Semakin majunya perkembangan zaman, semakin bebas pula pergaulan anak muda dimasa sekarang. Nilai-nilai norma yang sebelumnya mengatur kehidupan sehari-hari, kini banyak dilanggar dan ditinggalkan. Saat ini hubungan antara laki-laki dan perempuan sudah melampaui batas, atau biasa kita sebut dengan pergaulan bebas. Hal ini lah seperti yang banyak kita dengan dari berita, atau orang-orang disekitar kita banyak terjadinya kehamilan diluar nikah. Anak yang nantinya dilahirkan akan menjadi anak diluar nikah. Hak perdata anak diluar nikah hanya didapatkan dari ibunya saja dan keluarga ibu. Hal ini tentu saja menjadi tidak adil untuk pertumbuhan anak dan tentu untuk ibunya. Anak-anak yang tidak berdosa tersebut, tidak seharusnya menanggung perbuatan dari ayah ibunya. Mereka seharusnya tetap berhak mendapatkan perlindungan hukum, seperti anak-anak lainnya. Hak tersebut meliputi hak anak sebelum dan sesudah dilahirkan diantaranya hak anak dalam menerima susuan, hak anak dalam menerima pengasuhan, perawatan dan pemeliharaan, hak anak dalam menerima warisan, hak anak dalam menerima pendidikan.

            Tercantum pada Pasal 280 KUH Perdata yang  menganut prinsip bahwa hubungan keperdataan antara anak luar kawin dengan orang tua biologisnya tidak terjadi dengan sendirinya. Konsekuensinya seorang anak yang tidak mendapatkan pengakuan dari orang tuanya maka secara yuridis anak tersebut tidak memiliki orang tua. Khusus untuk anak yang lahir dari perzinaan dan anak sumbang (hasil penodaan darah) maka berdasarkan ketentuan pasal 272 dan 283 KUH Perdata kedudukannya tidak dapat disahkan baik dengan pengakuan orang tuanya maupun dengan ikatan perkawinan kecuali sebagaimana ditetapkan dalam pasal 273 KUH Perdata. Undang-undang perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan yang diakui adalah perkawinan yang tercatat secara hukum agama masing-masing dan dicatat dalam instansi pemerintah. Perkawinan yang tidak tercatat menyebabkan perkawinan tersebut tidak mendapatkan perlingdungan, pengakuan, dan kepastian hukum dari negara. Hal ini turut berpengaruh terhadap status kedudukan anak, sehingga anak tersebut disebut sebagai anak yang tidak sah dan hanya berhubungan dengan keperdataan ibunya saja. Tetapi jika bisa dibuktikan jika ayahnya adalah ayah biologisnya maka baru bisa dihubungkan dengan keperdataan ayahnya.

            Anak yang lahir diluar kawin juga memiliki hak asasi manusia (HAM) yang wajib dilindungi. Secara normatif Pasal 28B ayat (2) menyebutkan setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Anak berhak atas untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain maupun yang bertanggung jawab atas pengasuh anak tersebut. Dalam hal orang tua, wali, atau pengasuh anak melakukan segala bentuk penganiayaan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan, dan atau pembunuhan terhadap anak yang seharusnya dilindungi, maka harus dikenakan pemberatan hukuman.

            Anak yang lahir diluar nikah, akan mendapatkan stigma negatif dari masyarakat disekitarnya. Hal ini tentu akan mengganggu tumbuh kembang, apalagi dari segi mental. Apalagi anak yang diluar nikah hanya terhubung dengan keperdataan ibunya saja tidak dengan ayahnya. Hal ini menyebabkan pihak ayah terbebas dari tanggungan, dan hal ini sungguh tidak adil bagi ibu dan anak yang dilahirkan. Selama ini, belum ada pengaturan yang mengakomodir hak-hak anak di luar kawin berdasarkan kategorisasi semacam ini. Namun jika menganalisa lebih dalam, Fatwa MUI No. 11 Tahun 2012 tentang Status Anak Zina dan Perlakuan Terhadapnya menjadi salah satu referensi ideal. Sebab fatwa ini tidak memberikan status dan hak keperdataan terhadap anak zina sebagaimana diatur dalam hukum Islam, namun melalui lembaga ta'zir hak-hak keperdataan anak luar kawin dapat terpenuhi dengan pembebanan biaya penghidupan anak dan juga wasiat wajibah untuk anak tersebut. Pemenuhan hak anak secara terbatas ini dapat diimplementasikan dalam putusan pengadilan dengan mempertimbangkan kearifan dan kebijaksanaan hakim. Pemenuhan hak-keperdataan secara terbatas dapat diberikan kepada anak luar kawin dengan memberikan ta'zir kepada ayah biologisnya untuk memenuhi kebutuhan hidup anak serta memberikan harta kepada anak selepas ia meninggal melalui lembaga wasiat wajibah. Selain itu, terkait dengan hak sipil dan status anak dalam pembuatan akta kelahiran, diperlukan kategorisasi dalam administrasi kependudukan yang dapat memberikan hak keperdataan anak luar kawin.

Seorang perempuan dan/atau anaknya apabila dapat membuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi (yaitu tes DNA) dan/atau dengan alat bukti hukum lainnya bahwa terdapat hubungan darah diantara anak dan laki-laki yang dituntut, maka hakim dapat mengeluarkan penetapan mengenai hubungan keperdataan diantara mereka. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa terjadi pengakuan secara terpaksa. Secara hukum seorang ayah biologis yang hendak mengakui anaknya secara sukarela juga mengalami kendala apabila ingin mengakui anak luar kawin sebab pengakuan anak luar kawin hanya dapat dilakukan dengan satu cara yakni dengan membuat akta pengakuan anak dan juga harus ada persetujuan dari ibu kandung anak tersebut. Jika seorang ibu kandung dari anak luar kawin dapat menafkahi dan mencukupi kebutuhan anak luar kawin hingga dewasa sementara ayah biologis dari anak luar kawin tersebut hendak mengakui anaknya secara sukarela akan tetapi ibu kandung anak luar kawin tidak setuju maka pengakuan anak ini tidak bisa terjadi dan hal ini tidak menjadi persoalan hukum bagi ibu kandung karena tidak setuju dengan pengakuan ayah biologisnya tersebut.

Mengingat anak yang terlahir ke dunia selalu dalam keadaan suci, maka tidak adil rasanya jika seorang anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah hanya memperoleh status kedudukan terikat secara hukum dan kekeluargaan dengan ibunya saja, seyogyanya akan lebih baik jika anak luar kawin mendapatkan status kedudukan minimal secara kekeluargaan dengan bapaknya. Permasalahan pembagian waris juga dirasakan tidak adil bagi seorang anak luar kawin, mereka baru mendapatkan hak dari orang tuanya (terutama bapaknya) setelah melalui proses pengakuan, demikian juga dengan jumlah waris yang diterima dibedakan dari anak yang telahir dari perkawinan yang sah. Alangkah lebih baik jika bagian warisannya tidak dibedakan dengan anak pada umumnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun