Kebenaran adalah reproduksi dari ilmu pengetahuan, ilmu pengetahun di produksi oleh sekelompok orang yang mempunyai legitimasi melalaui secarik kertas dan di beri gelar. Jalan pikiran orang-orang ini di pengaruhi oleh kondisi lingkungannya dari kecil sampai dewasa, pergaulannya, kondisi sosial politik dan ekonomi, serta pengaruh lainnya Dapat disimpulkan kemudian kebenaran atau ilmu pengetahuan itu mempunyai keberpihakan.
Benarkah logika diatas?. Fatwa MUI tentang sesatnya Ahmadiyah merupakan sebuah kasus beagaimana kebenaran dapat diciptakan oleh sekelompok orang, kebetulan MUI sebagai suara mayoritas maka dalam sebuah tatanan masyarakat demokrasi maka dia mendapat leagitas tambahan yaitu kekuasaan. Dengan menggunakan kekuasaan maka MUI bisa mengklaim ini benar dan itu salah.
Begitu juga kalau melihat kasus yang meninpa Dewi Persik, sebagian menganggap apa yang dilakukan Dewi adalah sebuah pornoaksi sebagian lagi menganggap itu adalah kebebsan ekspresi. Entah mana yang benar, yang jelas rezeki Dewi Persik tampaknya bukan lagi ditentukan oleh ‘tuhan’ tapi oleh seorang bupati, seorang kiyai, alim ulama dan para “pendekar kebenaran” yang biasanya bersorban dan membawa celurit, kayu dan arit.
Kebenaran terkadang di tentukan oleh uang, duit, hepeng, piti. Seorang hakim bisa saja seenaknya memutus bebas seorang koruptor karena suap. Kebenaran juga ditentukan oleh pemegang kekuasan. Kebenaran menjadi benar serta mengingkat sifatnya setelah diakui oleh banyak orang. Dan itu butuh legitimasi. Entah itu kekuasaan, gelar atau uang. Semakin banyak orang yang mengakui sebuah kebenaran maka kebenaran itu mempunyai kuasa untuk menyisihkan kebenaran lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H