Mohon tunggu...
Aprinalistria Aprinalistria
Aprinalistria Aprinalistria Mohon Tunggu... Dosen - tak lagi sama

Seorang Ibu, Penulis, Googler...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Guru SD Negeri, Pungli?

2 April 2014   20:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:10 1170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="618" caption="Murid SDN Kemiri Muka 02, Beji, Depok, mengerjakan soal Bahasa Indoensia pada hari pertama ujian nasional di sekolah mereka, Senin (6/5/2013) / Kompasiana (Kompas.com, Iwan Seityawan)"][/caption] Saya tergopoh-gopoh setelah membaca SMS singkat dari nomor yang tak saya kenal berisi, "Ibu, datang ke sekolah, segera". Untunglah lokasi sekolah anak saya hanya beda 1 blok dengan kantor saya, jadi tanpa pikir panjang saya langsung menuju SDN yang berlokasi di Jl. Sejahtera, Sukajadi, Bandung. Selama berjalan kaki dengan terburu-buru, saya memikirkan hal macam-macam. Apa yang terjadi dengan anak saya, apakah dia terjatuh di sekolah, berdarah? atau bertengkar dengan kawannya atau, atau, atau... Duh saya tak mau berpikiran aneh-aneh lagi, saya makin percepat langkah kaki saya menuju ruang kelas 2, dimana anak saya sekarang ada didalamnya, semoga. Setelah bertanya-tanya wali kelas di kelas yang salah saya masuki, karena tertulis kelas 2 tetapi ternyata anak saya ada di ruangan kelas yang tertulis kelas 1, saya pun mengetuk pintu. Benar saja saya menampaki anak saya ada di sana sedang sibuk menggunting karton yang kapan hari kami beli di toko Buku Toga Mas. Di belakang meja guru, duduklah dua orang wanita berjilbab yang berpakaian seragam, sedang bercengkrama. Saya mengetuk pintu, dan tidak ada jawaban, saya memberanikan diri, masuk "nyelonong" dengan tergesa-gesa, lalu berujar, "Selamat siang, bu, dengan Ibu Evi? Saya Mamanya Arvin, ada yang bisa saya bantu? Tadi ada SMS yang datang kepada saya soal saya disuruh buru-buru ke sekolah ini. Ada apa ya?" Dengan wajah yang tak menampakkan keramahan ataupun sapaan, sekedar menyalami saya, dia berucap ketus, "Anak ibu kok masuk saja, tapi gak ada surat-surat keterangan atau apapun?" Dengan kaget dan tersontak saya menjawab, "Maksudnya? Surat pindah dan rapot? Sudah saya berikan ke Wakasek Kesiswaan seminggu lalu, dua hari sebelum anak saya masuk kelas, ke Pak Dudung, bu," jawab saya sopan. Lalu bertanya balik, "Apakah Ibu sudah bertemu dengan baliau dan menanyakan perihal ini?," kata saya senada dengan teller bank yang sangat ramah ketika menawarkan tabungan berjangka. Dengan menelan ludah si ibu guru berucap :"Oh, sudah di pak Dudung ya? O kirain belum..." sambil menahan malu. Saya menghela nafas panjang sambil membathin, ealah, guwe cuma disuruh buru-buru ke sekolah cuma karena miskomunikasi manajemen sekolah? Lalu tiba-tiba wanita di sebelahnya yang kemudian saya tahu bernama Bu Yeni berujar, " Untuk baju seragam olah raga dan baju batik harus beli bu, rompi, topi dan bet, totalnya 350.000 rupiah." Saya lalu menatap bingung ke arah Ibu Evi wali kelas anak saya, "Loh, kemarin ibu SMS ke saya katanya harga baju batik 65 ribu dan baju olah raga 125 ribu. Totalnya hanya 190 ribu kan? Untuk topi dan rompi anak saya sudah ada. Paling bet saja." Lalu mereka berdua bertatapan, panik. Lalu si Ibu Yeni berucap lagi,"Ya kalo gitu artinya 350 ribu dikurangi topi dan rompi, lalu ada uang sumbangan." "Maksudnya sumbangan apa, bu? bukannya sekolah negeri itu tidak ada uang sumbangan, gratis?" kata saya menyelidik. Sebenarnya ini bukan soal rupiah, karena saya juga seorang dosen yang sering mengajar calon guru SD, maka saya hanya ingin tahu letak integritas mereka berdua. Dengan berucap lancar tanpa ada rasa malu, dia menjawab, "Ya sumbangan aja, kan pindahan kalo di sekolah kami ada uang sumbangan, terserah berapa aja, mau dikasih boleh nggak juga ga apa-apa," katanya meninggi. Saya lalu menjadi paham maksud mereka yang terselubung, mereka minta "uang pungutan" yang jelas tidak ada peraturan tertulisnya oleh pemerintah maupun pihak sekolah. Saya hanya kaget sekaligus marah dan sedih, membayangkan anak saya dididik oleh guru-guru yang seperti ini, yang meminta pungutan liar? Yang memakan uang yang bukan haknya? Yang walaupun serupiah saja itu haram, menurut saya. Belum lagi cara mereka meminta uang -uang tersebut, dengan tanpa sopan santun dan tujuannya hanya satu, mendapatkan uang dari saya. Padahal sudah jelas, bahwa PNS Guru mulai membaik kesejahteraannya, bahkan dibandingkan pegawai-pegawai saya yang saya urusi gaji nya di kantor saya, belum lagi ada sertifikat guru yang jumlahnya juga wow. Benar juga pengalaman seorang kawan yang menjadi penilik dari Kemendiknas, bahwa guru-guru ketika mendapat sertifikasi langsung berduyun-duyun mengangsur mobil pribadi. Ah, itu memang hak mereka. Tapi melihat kenyataan ini. Saya mendadak lesu, malu dan tak bersemangat. Jika masih saja banyak guru-guru sedemikian di negeri ini. Bibit koruptor yang secara tak langsung dibentuk.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun