Pendidikan adalah hak semua anak tanpa terkecuali. Setiap dari mereka memiliki "keunikan" masing-masing. Hal ini mengingatkan kita pada UUD 1945 Pasal 31 ayat 1 yang menyatakan bahwa "setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan". Dewasa ini pemerintah tidak henti-hentinya membahas persoalan tentang anak inklusi atau yang sering dikenal sebagai anak berkebutuhan khusus (ABK). Tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada beberapa orang yang melabelkan anak berkebutuhan khusus sebagai sosok yang tidak berdaya dan perlu dikasihani. Hal inilah yang menjadikan anak berkebutuhan khusus sering dikucilkan pada lingkungan sekitarnya.Â
Acapkali anak-anak berkebutuhan khusus sering menerima perlakuan yang diskriminatif dari orang lain. Bahkan beberapa sekolah reguler tidak mau menerima mereka sebagai siswa. Nasib ABK seakan-akan diposisikan sebagai anak tiri yang selalu dinomorduakan dibandingkan dengan anak-anak normal lainnya. Tidak hanya dalam dunia pendidikan saja, bahkan dalam dunia kerja mereka cenderung disisihkan. Stereotip semacam ini perlu dihapus bahkan kalau bisa disingkirkan.
Beberapa dari kita tahu, awalnya ABK diharuskan untuk bersekolah di sekolah khusus seperti Sekolah Luar Biasa. Masyarakat sering salah mengartikan bahwa ABK adalah seseorang yang memiliki latar belakang bawaan cacat fisik pada tubuhnya saja. Padahal individu yang dikatakan berkebutuhan khusus adalah dia yang memiliki kapasitas kemampuan menyerap ilmu dengan lamban, seseorang dengan potensi kecerdasan atau bakat istimewa, bahkan memiliki disabilitas sosial, hal semacam itu juga tergolong ABK.
Berbicara soal ABK, banyak beredar berita bahwa saat ini pemerintah mewajibkan sekolah negeri menerima anak berkebutuhan khusus (ABK) melalui jalur inklusi pada penerimaan peserta didik baru. Dengan pertimbangan bahwa anak berkebutuhan khusus juga berhak mengenyam pendidikan yang sama seperti anak reguler lainnya. Tetapi persoalannya apakah sekolah sudah siap menerima kehadiran anak inklusi? Apakah pembelajaran yang diterapkan disamaratakan dengan anak reguler lainnya? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu perlu dikupas dan diselesaikan secara bersama agar pendidikan yang didapatkan anak berkebutuhan khusus tetap memiliki hak yang sama dengan anak normal lainnya.
Sekolah inklusi adalah tempat dimana anak-anak berkebutuhan khusus dapat belajar bersama dengan anak-anak reguler lainnya. Pada kenyataanya, masih ada beberapa sekolah reguler yang belum siap dalam menyelenggarakan pendidikan inklusi karena berbagai tantangan yang ada.Â
Kasus yang sering terjadi yaitu tidak adanya guru pendamping khusus disekolah penyelenggara untuk menghadapi anak berkebutuhan khusus. Hal ini yang menjadi masalah ketika seorang guru yang tidak ahli dibidangnya diharuskan menguasai dan memiliki jobdesk lain yaitu menangani ABK. Ketika ABK tidak dipegang dengan orang yang kompeten dalam bidangnya nantinya anak tersebut tidak dapat mengikuti pembelajaran sesuai dengan tingkat kemampuannya. Hal lain yang menjadi tantangan dalam sekolah inklusi seperti halnya;
- Guru menganggap bahwa dirinya tidak memiliki banyak keterampilan untuk mengajar siswa dengan berbagai kebutuhan khusus
- Keterbatasan sarana dan prasarana yang belum memadai
- Kurangnya kolaborasi antar guru kelas dengan guru pendamping khusus
- Pola pembelajaran mengharuskan guru untuk menyesuaikan dengan kemampuan anak berkebutuhan khusus
- Rendahnya kesadaran orang tua dan masyarakat terhadap kehadiran anak berkebutuhan khusus
- Perlunya kerjasama antara pihak sekolah dengan wali murid untuk bertukuar informasi terkait tumbuh kembang anak
Jika ditelisik lebih jauh, sekolah inklusi ini dapat menjadikan alternatif untuk anak-anak dengan kebutuhan khusus agar bisa mendapatkan kesempatan untuk belajar, tumbuh dan berkembang dengan baik, terlepas dari keterbatasan yang mereka miliki. Dengan adanya ABK, anak reguler menjadi lebih bisa menghargai hal yang dimiliknya, yang sejatinya anak inklusi tidak dapat miliki. Hal ini berhubungan dengan sikap saling toleransi dan saling menghargai siswa normal dengan siswa bekebutuhan khusus.yang juga memiliki hak hidup dan hak pendidikan yang sama.
Kehadiran ABK diantara teman-temannya membuat mereka lebih belajar akan berempati serta menghargai perbedaan dengan melihat kondisi teman-temannya yang "spesial". Pendidikan yang berkualitas tidak hanya diukur pada tingginya nilai, akan tetapi pendidikan yang berkualitas dapat diwujudkan dengan memberikan pelayanan kepada semua anak tanpa membeda-bedakan fisik, kecerdasan, bahkan status sosial.
Ditulis Oleh:
Aprillia Caesar Adri Lestari
Mahasiswa PPG Prajabatan Bahasa Indonesia
Universitas Islam Malang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H