Oleh: Apriliyantino
Sejak awal kehadiran manusia di alam raya, embrio peradaban mulai berproses menuju satu bentuk tertentu. Ia bermula dari satu rumah yang sama, di lingkungan keluarga kecil Adam dan Hawa. Seiring bergulirnya zaman, manusia beregenerasi--meneruskan keturunan dan tersebar ke penjuru semesta. Tidak hanya kuantitas yang bertambah, tetapi juga diversifikasi etnis yang kian meluas. Tidak hanya semakin banyak, tetapi juga kian beragam. Manusia yang mulanya hanya Adam dan Hawa, telah terduplikasi menjadi hampir tujuh miliar di abad ini.
Setiap individu terlahir dengan membawa faktor genetik yang berbeda tetapi memiliki dorongan yang seragam untuk saling membutuhkan. Mau tidak mau akhirnya manusia bersekutu satu sama lain membentuk entitas komunal yang kompleks dan bahkan rumit. Manusia sebagai satu spesies berakal di muka bumi, berkembang dengan kekhasannya--sebagai makhluk pembelajar, ke dalam kondisi yang tak sepenuhnya bisa diprediksi. Manusia tidak berevolusi secara fisik, tetapi bertransformasi begitu pesat secara nalar. Setiap waktu, di setiap kejadian, selalu lahir pandangan baru tentang arah dan temuan baru. Manusia seolah larut dalam spektrum acak yang tak mudah dikendalikan.
Jika kita analogikan manusia dalam skala individu sebagai sel, maka jika tergabung dalam satu komunitas kemudian membentuk organ dan di lingkup yang lebih luas ia adalah sebentuk tubuh. Denyut sel menjadi penentu hidup dan matinya organ, selanjutnya organ menjadi pusat berlangsungnya sistem kehidupan. Manusia yang terlahir unik, setiap orangnya memiliki spesifikasi khas yang hanya dimilikinya. Begitupula dalam struktur sistem komunal yang ada di dalam keluarga, masyarakat, bangsa dan dunia. Siapapun dia, akan menjadi X-factor yang menentukan kehidupan semesta. Pengabaian terhadap satu individu, bisa jadi menjadi sebab terjadinya ketidakseimbangan struktur semesta yang ada. Sebaliknya, kecerobohan satu individu akan berdampak luas bagi kehidupan semesta pula. Agaknya inilah yang sedang terjadi saat ini di tengah peradaban manusia di jagad raya. Bisa jadi spektrum peradaban akan mengalami perubahan signifikan setelah pandemi covid-19 ini.
Wabah Covid-19, menjadi sesuatu yang tak habis dari spekulasi, asumsi dan spekulasi. Banyak pakar dari berbagai bidang ilmu yang menyampaikan hipotesa, dugaan dan asumsi mereka sesuai dengan bidang keilmuan masing-masing. Seorang ahli virus asal Prancis, Luc Montagnier, percaya virus Corona (Covid-19) tidak berasal dari alam. Virus itu diyakini dikembangkan di laboratorium di kota Wuhan di China, pusat penyebaran wabah.
Montagnier sendiri adalah seorang ahli virus yang memenangkan Hadiah Nobel untuk penemuan terkait HIV pada 2008 lalu. "Virus itu adalah buatan, itu adalah karya ahli biologi molekuler," kata Montagnier dalam sebuah wawancara dengan surat kabar Pourquoi docteur tentang kesehatan, seperti dilansir Sputnik, Ahad (19/4/2020)-(1). Terlepas dari pendapat para pakar tentang asal muasal Covid-19 ini, kita sebagai orang yang beragama harus bisa menarik benang merah dengan kacamata keyakinan kita. Sungguh, segala sesuatu yang terjadi di alam ini telah didesain oleh Sang Maha Pencipta, dengan tujuan untuk menyadarkan kita dan menjabarkan salah satu bukti kebesaran-Nya.
Para ekonom berargumen dengan berbagai pendekatan ekonomi, terkait kemungkinan dampaknya terhadap perekonomian global dan kebijakan moneter. Â WTO pada Rabu mengatakan pihaknya memperkirakan perdagangan dunia akan turun antara 13 hingga 32 persen tahun ini. Direktur Jenderal WTO, Roberto Azevedo, memperingatkan bahwa dunia sedang mengalami resesi ekonomi terdalam yang pernah dialami kehidupan ini (2). Ini merupakan side effect dari bencana kesehatan yang akhirnya berimbas pada semua lini kehidupan. Jikapun ini berkelanjutan, tak menutup kemungkinan terjadinya chaos, bahkan memantik War Wolrd III. Kita berlindung kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dari segala bentuk bala dan bencana, yang tidak sanggup menanggungnya.
Lantas akan berapa lama lagi kita dan seluruh dunia berkutat dengan Covid-19 ini? "Jujur harus dikatakan, tidak mungkin untuk berandai-andai bilakah pandemi ini berakhir, sebab ini samasekali merupakan virus jenis baru, karena tidak bisa diprediksi," kata Faheem Younus, MD (the chief of infectious diseases at University of Maryland Upper Chesapeake Health). Akan tetapi seperti yang pernah terjadi sebelumnya, dia akan berakhir ketika vaksin ditemukan dan terdistribusikan.
Meskipun demikian, para peneliti merujuk pada pandemic sebelumnya untuk membuat prediksi dasar tentang kapan dia kemungkinan akan berakhir. Terakhir pandemic dengan tipe serupa berakhir antara 12 dan 36 bulan (3).
Berdasarkan prediksi ini, tentu kita harus siap terhadap segala kemungkinan yang bisa saja terjadi dan datang tiba-tiba dari balik kabut ketidakpastian ini. Ataukah kita tetap tegar merajut asa di tengah kondisi ini? Bagaimana dengan harapan dan tantangan untuk menyongsong bonus demografi di tahun 2045? Apakah harapan itu masih ada di tengah suasana penuh gulana di negeri dengan sejuta halunesia ini?
Tidak ada pilihan lain kecuali memulai langkah dan bersiap "menyulam lubang-lubang peradaban" sehingga mampu bangkit sesuai dengan yang kita dambakan. Selagi kita semua dianjurkan untuk tetap di rumah, tentu kita bisa memulai memperbaiki dan mengokohkan fondasi peradaban, Â yaitu keluarga kita. Kita sedang mendapatkan skenario dari-Nya dengan 'pulang' ke tengah-tengah keluarga, Â tidak lain adalah untuk memiliki waktu mempersiapkan anak-anak menyongsong segala kemungkinan yang serba unpredictable di masa depan.
Bisa jadi, ini adalah cara-Nya untuk menyiapkan satu generasi yang baru, sesuai dengan firman-Nya bahwa apabila satu generasi durhaka kepada-Nya, maka Dia tak segan untuk mengganti generasi itu dengan mereka yang lebih baik dan lurus dalam kehambaan dan bakti kepada-Nya. Mungkin pula, kita adalah generasi yang tergantikan itu, disebabkan oleh dosa-dosa kita selama ini. Sebelum semuanya terlambat, kita masih punya waktu untuk menyemai butir-butir harapan di tengah ladang peradaban yang selama ini kerap beralih fungsi.
Kembali ke rumah, tentu memberi kesempatan bagi para ibu untuk men-setting frekuensi di gelombang "al-ummu madrasatul ula, iza a'dadtaha a'dadta sya'ban thayyibal a'raq." Sebuah pepatah arab yang artinya kurang lebih 'ibu adalah sekolah utama, bila engkau mempersiapkannya, engkau telah mempersiapkan generasi terbaik." Di tengah ketidakpastian ini, paling tidak kita--para lelaki--punya waktu untuk kembali sepenuh menahkodai perahu yang selama ini seringkali kita lepas-tinggalkan sebab merasa cukup dalam kendali ABK. Kita perhatikan kembali jangkar dan tali-temali, bahkan mungkin jaring-jaring di dalam kapal untuk kemudian kita bersiap melanjutkan pelayaran. Dengan waktu yang tersisa, kiranya kita punya waktu untuk menambal-sulam layar perahu, agar jika arah angin telah tepat dan gelombang mereda kita benar-benar siap untuk kembali mengarungi samudera peradaban. Walahu'alam. Â
Lubuk Seberuk, 26 April 2020