Mohon tunggu...
Aprilia Zahrah
Aprilia Zahrah Mohon Tunggu... Aktris - Mahasiswi

Mahasiswi jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Bina Nusantara.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perspektif "Jakarta Keras" bagi Para Perantau Daerah, Menimbulkan Culture Shock?

27 November 2022   20:50 Diperbarui: 28 November 2022   18:44 746
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Monumen Nasional, Foto: Lontar.id

Istilah Jakarta Keras kerap kali kita dengar, bukan? Namun, tidak banyak masyarakat di luar sana yang paham betul maksud istilah Jakarta Keras dan mengapa istilah tersebut tercipta dan dilontarkan banyak perantauan Jakarta. 

Bagi para calon perantau, Jakarta adalah kota yang bisa mengantarkan mereka ke arah kesuksesan, kekayaan, dan kemewahan yang serba ada. Sejujurnya, pemikiran tersebut juga yang menjadi alasan saya untuk memutuskan melanjutkan pendidikan S1 di Jakarta. Namun, pemikiran tersebut berubah setelah saya menginjakkan kaki dan menjalani kehidupan di Jakarta. 

Banyak faktor pendorong yang menyebabkan saya mengubah perspektif saya mengenai Jakarta dan setuju dengan istilah "Jakarta Keras". Dan setelah menjalani kehidupan selama kurang lebih satu tahun di Jakarta, saya menyimpulkan bahwa alasan tercipta nya istilah "Jakarta Keras" dan menyebabkan para perantau mengalami culture shock disebabkan oleh beberapa faktor yang diantaranya: 

a. Lifestyle

Setiap lingkungan tentu memiliki gaya hidup yang berbeda, namun bukan berarti semua masyarakat yang terdapat dalam   lingkungan tersebut memiliki gaya hidup yang sepenuh nya sama. Tetapi, menurut pengamatan saya mayoritas masyarakat Jakarta memiliki gaya dan pola kehidupan yang sama. 

Jangan kaget apabila Anda berkunjung ke Jakarta melihat para pekerja yang berangkat pagi dan pulang larut malam. Namun, yang lebih menjadi fokus utama ialah waktu persiapan menuju ke tempat kerja, berbeda dengan kota besar lain yang apabila melakukan persiapan berangkat kerja di waktu yang mepet dengan jam mulai kerja, rata-rata pekerja Jakarta cenderung melakukan persiapan minimal 3 jam sebelum jam kerja dimulai. Terlebih bagi pekerja yang harus menyiapkan sarapan terlebih dahulu. 

Hal ini terjadi karena mode transportasi dan jalanan di Jakarta yang cenderung lebih padat dibanding dengan kota besar lainnya, terlebih bagi pekerja yang menggunakan kendaraan umum seperti kereta, busway, dan angkot yang mengharuskan mereka untuk berangkat lebih awal agar tidak ketinggalan dengan jam keberangkatan dan menghindari diri dari kendaraan penuh. 

Selain kendaraan dan waktu persiapan, para perantau Jakarta cenderung menghabiskan pengeluaran yang lebih tinggi dibanding saat di daerah asli mereka. Baik dari kebutuhan makan, tempat tinggal, dan kebutuhan primer lainnya yang membutuhkan angka yang lebih tinggi dibanding di daerah. 

Rata-rata harga makanan yang paling murah yang saya temui berkisar sepuluh ribu rupiah untuk sekali makan dan itu pun hanya mendapatkan nasi dengan porsi yang lebih sedikit dan satu telur balado saja. 

Selain makanan, rata-rata sewa tempat tinggal di Jakarta untuk ukuran kost dengan harga paling murah berkisar di atas 1 juta rupiah per bulan, dan akan berbeda dengan sewa apartemen dan kontrakan yang tentunya membutuhkan biaya yang lebih besar. 

Tidak sedikit para perantau yang merasakan culture shock akibat gaya hidup yang mau tidak mau harus dijalani apabila ingin bertahan hidup di Jakarta. 

b. Lingkungan

Selain gaya hidup, istilah "Jakarta Keras" juga disebabkan karena lingkungan Jakarta yang lebih keras dibanding di daerah. Mayoritas masyarakat Jakarta yang menganut sikap individualisme menjadi salah satu penyebab para perantau merasakan culture shock terlebih bagi perantau yang tidak memiliki sanak saudara. 

Selain sikap individualisme yang rata-rata dimiliki oleh masyarakat Jakarta, saya juga menilai bahwa rata-rata masyarakat Jakarta menggunakan bahasa yang cenderung menghindari basa-basi, sikap kritis yang rata-rata dimiliki oleh masyarakat Jakarta akan membuat para perantau yang terbiasa tidak enakan sehingga jarang mendapatkan dan memberikan komentar akan merasakan culture shock apabila bersosialisasi dengan masyarakat Jakarta secara langsung, karena mayoritas masyarakat Jakarta yang saya temui cenderung lebih blak-blakan dan profesional terhadap sesuatu yang mereka kerjakan, apabila mereka kurang puas atau tidak menyukai hasil kerja kita, mereka cenderung akan memberikan kritik tanpa label basa-basi. 

Apabila istilah tidak enakan dipelihara di lingkungan Jakarta akan menyebabkan pelaku nya cenderung diperlakukan seenaknya, oleh karena nya untuk menghindari hal tersebut perantau yang sudah terbiasa menanamkan sikap tidak enakan akan lebih baik apabila juga mengikuti sikap mayoritas yang diterapkan, yakni sikap kritis dan profesional terhadap apa yang sedang dikerjakan dengan menghilangkan rasa sungkan untuk melakukan teguran kepada teman kerja yang melakukan kesalahan. 

Selain sikap, besar kemungkinan karena Jakarta merupakan salah satu kota multicultural akan membuat para pengunjung yang sudah terbiasa berinteraksi dengan masyarakat di lingkungan dan budaya yang sama mengalami culture shock, hal ini terjadi karena hal-hal yang belum pernah dijumpai dan dilihat langsung oleh perantau daerah akan mereka saksikan di Jakarta, seperti bullying, alkohol, sex bebas, perbedaan agama, dan angka kriminalitas yang lebih tinggi. 

c.  Sikap kompetitif 

Faktor lain yang menyebabkan istilah "Jakarta Keras" bagi kalangan perantau sehingga membuat mereka mengalami culture shock yakni sikap kompetitif yang dimiliki oleh rata-rata masyarakat Jakarta, istilah "Menjilat" dan "Cari Muka" sudah tidak asing di kalangan pekerja. 

Sikap kompetitif dari rata-rata masyarakat Jakarta menyebabkan para pelaku nya berlomba-lomba untuk terlihat dan memiliki value yang lebih baik dibanding partner kerja nya, sehingga apabila perantau daerah yang memutuskan untuk bekerja di lingkungan Jakarta akan membuat mereka mengalami culture shock atau bahkan mungkin sikap kompetitif yang dimiliki oleh rata-rata pekerja Jakarta akan membuat mereka tertinggal jauh, sehingga besar kemungkinan menyebabkan mereka dipecat dari pekerjaannya karena tertinggal dari para pekerja yang lain.  

Dari ketiga faktor yang telah dijelaskan, semoga dapat memberikan gambaran kepada pembaca mengenai alasan terbentuk nya istilah "Jakarta keras" di kalangan para perantau daerah dan sebab-sebab para perantau daerah mengalami culture shock di Jakarta. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun