Di akhir masa pemerintahannya, Presiden SBY mengeluarkan sebuah Keputusan Presiden (Keppres) yang bisa jadi merupakan kado istimewa untuk saudara-saudara kita warga keturunan Tionghoa. Keppres itu menyebutkan, pemerintah secara resmi mengganti istilah cina dengan kata tionghoa, dan menyebut Republik Rakyat Cina (RRC) menjadi Republik Rakyat Tiongkok (RRT).
Seperti diberitakan oleh Antara, Keppres no 12/2014 ini mencabut dan menyatakan tidak berlaku Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No. SE-06/Pred.Kab/06/1967. Surat edaran itu menggunakan istilah Tjina sebagai pengganti istilah Tionghoa/Tiongkok. Istilah Tjina tersebut dinilai telah menimbulkan dampak psikososial-diskriminatif dalam hubungan sosial warga. Surat edaran tersebut selama ini masih berlaku secara resmi. Untuk itulah, SBY mencabutnya.
Apa pentingnya keputusan ini?
Setelah keputusan Abdurrahman Wahid membuat beragam kebijakan non rasis terhadap warga Tionghoa, inilah keputusan paling berani berikutnya dari pemerintah Indonesia. Pada masa Gus Dur, sejumlah hal dipulihkan seperti hak-hak warga Tionghoa, termasuk yang paling fenomenal menjadikan Hari Raya Imlek sebagai hari libur nasional. Gus Dur kemudian dianggap sebagai bapak besar bagi kaum minoritas Tionghoa. Jasanya sangat dirasakan oleh mereka, dan tidak mereka dapatkan selama masa orde baru.
Pada masa orde baru, kelompok minoritas Tionghoa seringkali menjadi bahan cacian dan hujatan. Berbagai haknya dikurangi atau dikebiri, bahkan nama asli mereka pun harus diubah menjadi nama bernuansa Indonesia. Hal tersebut sungguh merupakan pelecehan terhadap hak asasi manusia. Orang Tionghoa juga dilarang baik secara langsung maupun tidak langsung menjadi pejabat negara, menjadi aparatur negara dan sejumlah larangan lainnya.
Angin segar terjadi pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid. Dan kini angin segar kembali muncul dengan keputusan presiden SBY. Nilainya mungkin tidak sehebat keputusan Abdurrahman Wahid, namun saya sangat mengapresiasi keberanian SBY ini. Sejauh ini, meski secara umum sudah terjadi perbaikan di sana-sini menyangkut hak-hak kaum minoritas Tionghoa, namun sejumlah sebutan rasis masih kadang-kadang terasa. Berbagai pihak sudah secara sadar mengubah sebutan-sebutan itu menjadi lebih baik.
Misalnya Dahlan Iskan dengan grup Jawa Pos-nya yang sejak beberapa tahun silam mengganti istilah cina menjadi Tionghoa dan menyebut RRC menjadi RRT. Hanya ada segelintir media massa yang mengikut Jawa Pos Grup. Sebutan itu terkesan sepele, namun bagi warga Tionghoa sangat berarti. Dengan Keppres ini maka, seluruh instansi pemerintah, harus melakukan perubahan secara resmi tentang sebutan-sebutan itu. Dengan Keppes ini, kemungkinan besar semua media massa akan mengubah sebutan-sebutan itu sesuai dengan keputusan presiden.
Menurut salah seorang tokoh Tionghoa yaitu Murdaya Pho, keputusan presiden ini sangat berani dan menunjukkan keberanian presiden SBY. Meskipun Keppres ini adalah hasil lobi dari sejumlah kalangan Tionghoa, namun jika SBY tidak menyetujuinya pasti tidak akan terjadi. Murdaya Pho menghargai keputusan ini dan membuat seluruh masyarakat keturunan Tionghoa semakin nyaman hidup di Indonesia.
Sejauh ini, kiprah kaum minoritas Tionghoa makin kentara di jagat berbagai bidang di Indonesia. Pada masa kemerdekaan, sejumlah tokoh Tionghoa ikut berjuang, seperti ditunjukkan dalam operet kemerdekaan pada perayaan Imlek yang lalu. Saat itu, SBY ikut menghadiri acara tersebut. Pada masa orde baru, keturunan Tionghoa hanya menjadi bintang di sektor ekonomi, dimana 80% konglomerat adalah Tionghoa. Namun sekarang, kiprah mereka kian tersebar, termasuk di ranah politik. Hadirnya Basuki Purnama (AHOK) ke kancah politik nasional, menjadi salah satu tonggak kiprah luas warga keturunan Tionghoa di Indonesia.
Semoga kehidupan berbangsa dan bernegara kita, makin hari makin baik, sesuai dengan cita-cita pendiri bangsa, yaitu adil makmur dan sejahtera. Saya, sebagai warga keturunan – meski sudah campur aduk, hehe – ikut bergembira atas kepedulian pemerintah dan perkembangan yang makin baik ini. Tinggal kita masyarakat bersama-sama menjaga keharmonisan bangsa kita. Percuma ada aturan, percuma ada undang-undang, jika kita tidak mau menjalankannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H