Mohon tunggu...
Apriliana Lim
Apriliana Lim Mohon Tunggu... -

Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Suara Hati Perempuan Tionghoa Untuk Pemilu 2014

5 Juli 2014   23:03 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:20 1301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya, wanita Tionghoa 35 tahun tergerak untuk menulis tentang mengapa saya memilih Prabowo Subianto.Memang aneh, ketika saya belajar bahwa Indonesia adalah salah satu negara demokrasi terbaik di dunia, justru banyak orang khususnya sesama Tionghoa justru menyalahkan pilihan saya.

Hal yang sama pasti dirasakan oleh teman-teman saya sesama warga Tionghoa, begitu ditanya nyoblos apa pemilu, dan jawabannya nomor 1 seketika itu pula rentetan nasehat dan wejangan keluar dari mulut mereka yang merasa paling tahu politik. Tiba-tiba bermunculan orang yang mengklaim paling tahu seluk beluk sejarah calon presiden kita.

Padahal bahasanya selalu seragam, katanya… katanya… saya baca di berita BBM katanya…. Nah baru dapat berita tidak jelas tiba-tiba berubah menjadi ahli politik.Dimana letak demokrasinya? Ketika orang mulai ramai-ramai memajang foto dirinya di profile picture Blackberry dengan angka 2, saya pun tergelitik ikut dalam “kelucuan dan keisengan” dunia sosial media dengan memajang foto saya mengangkat 1 jari, wah…heboh reaksinya. Seakan-akan saya adalah pembelot.Nurani saya pun tergelitik. Bukankah hanya ada dua pilihan Capres, kalau tidak pilih Capres Nomor 1 ya Nomor 2.Anda boleh pilih Nomor 2 kenapa saya tidak boleh pilih Nomor 1?Kita boleh bangga dengan pilihan kita masing-masing karena seperti kata Pak Anies Baswedan itu pilihan hati.Dan hati saya memang memilih pasangan Prabowo-Hatta. Apa yang salah denganitu?

Saya masih ingat tahun 2009 yang lalu ketika pemilu presiden, Ibu Mega berpasangan dengan Bapak Prabowo.Saya memilih capres incumbent dan herannya waktu itu tidak ada kampanye hitam terhadap Bapak Prabowo.Dia tidak diolok-olok dan dijatuhkan seperti saat ini. Bahkan ayah saya yang memang pendukung berat PDIP mati-matian berusaha membuat saya dan adik mengubah pilihan dari incumbent ke pasangan Mega-Prabowo yang katanya paling bagus karena ada Bapak Prabowo orang militer yang tegas. Tapi sekali lagi ini kan pilihan hati.Anak dan ayah boleh saja tidak sehati.

Lha lucunya, kini, ketika Prabowo maju sebagai calon presiden tahun 2014 seakan-akan semua isi neraka keluar.Ayah saya pun yang lima tahun lalu mati-matian mendukung Megawati-Prabowo sekarang berubah termakan isu HAMdan mulai menjelek-jelekkan Prabowo. Jadilah kami sebagai anak-anaknya yang hanya bisa garuk-garuk kepala.Pertanda apakah ini? Cinta buta? Bagi saya cukup jelas, efek berita-berita negative yang ditiupkan terus menerus pasti lambat laun dipercayai. Orang biasa yang diberitakan maling, diteriakin maling, lama-lama orang akan berpikir memang benar-benar maling. Terbukti kan betapa dahsyat efek media.

Siapapun memang tak akan mudah melupakan tragedi Mei 98. Terlalu menyakitkan untuk diingat dan rasanya mustahil untuk diungkap siapa dalang sebenarnya. Tapi logika saya sederhana, bila Ibu Mega sudah mau mengusung sosok Prabowo untuk menjadi wakilnya di tahun 2009, berarti Ibu Mega sendiri telah punya pertimbangan bahwa terlalu dangkal untuk menyalahkan Prabowo seorang diri atas kasus tersebut.

Saya menulis disini bukan untuk mencari pembenaran siapa calon presiden terbaik.Setiap orang sekarang sedang lebay-lebaynya dan sedang sangat sensitive bila bicara tentang capres pilihannya masing-masing.Suami istri jadi ribut.Facebook dan twitter penuh caci maki dan hujatan.Bahkan teman saya yang beberapa bulan yang lalu sedang mesra menyiapkan acara perkawinannya sekarang tengah “ngambek saling tidak bicara” gara-gara berdebat soal pilihan capres masing-masing.Belum pernah rasanya negara kita terpecah belah seperti ini.

Cerita lain lagi ketika saya memajang foto saya berdua dengan Ibu Titiek Soeharto yang sedang mengangkat 1 jari di BBM picture profile saya. Pada masa-masa tidak kampanye mungkin teman-teman saya akan berkomentar positif, tapi karena foto ini dipajang ketika Bangsa Indonesia sedang dihinggapi penyakit hipersensitif, maka keluarlah berbagai komentar negatif “Prabowo ambisius, haus kekuasaan, kenapa didukung?”. Saya hanya balas dengan gambar wajah tersenyum.

Ketika saya belajar ilmu Leadership dari National Institute of Education, Singapore, Profesor saya membahas buku karangan Kouzes & Posner yang membahas tentang karakteristik Pemimpin berdasarkan survey terhadap 75.000 pemimpin yang sukses selama 30 tahun. Hasil survey itu lalu diterbitkan dalam bentuk buku “Leadership Challenge” yang sudah dicetak beberapa edisi.Dikatakan salah satu karakter yang menonjol dari 75 ribu responden pemimpin sukses tersebut adalah punyaambisi. Jadi, kesimpulannya semua orang sukses yang diwawancarai semuanya punya ambisi besar.Ambisi untuk merubah keadaan atau ambisi untuk berprestasi.Kendaraannya saja yang berbeda-beda.Ada yang menggunakan kendaraan bisnis, kendaraan media, ataupun kendaraan politik.Apakah ini bisa disamakan dengan ambisius? Haus kekuasaan?

Sebagai seorang pendidik, saya juga geregetan dengan birokrasi pendidikan di Indonesia.Saya juga berambisi ingin menjadi menteri pendidikan, malah kalau bisa jadi Presiden wanita Tionghoa pertama di Indonesia untuk berbuat sesuatu bagi kemajuan pendidikan Indonesia.Lantas apakah cita-cita saya ini otomatis menjadikan saya orang ambisius yang haus kekuasaan?

Belum lagi isu Bapak Prabowo yang akan menjadikan Indonesia ini negara syariat Islam karena koalisi partainya rata-rata didukung partai Islam. Ini ketakutan terbesar kami sebagai warga Tionghoa.Sekali lagi, mari berpikir jernih!Bapak Prabowo berasal dari keluarga yang sangat Bhinneka Tunggal Ika.Adik kandungyangmerupakan supporter terbesarnya, Bapak HashimDjojohadikusumo terang-terangan mengaku beragama Kristen, Ibu kandungnya juga Kristen.Bagaimana mungkin seorang Bapak Prabowo yang dikelilingi saudara-saudara yang multi keyakinan akan menjadikan Indonesia ini menjadi milik eksklusif satu golongan saja.

Di satu kesempatan ketika saya bisa berbincang dengan Ibu Maryani Djojohadikusumo, ketika saya dipercaya untuk menjadi pembawa acara dialog dalam peluncuran buku Prabowo Subianto Sang Pemimpin Sejati yang ditulis sahabat saya Wahyu Triono KS dkk, saya baru menyadari kakak kandung Bapak Prabowo, adalah sosok ibu yang sangat lembut tutur bahasanya, rendah hati dan tidak pernah mau menonjol (pada saat disuruh berpidato beliau terang-terangan menolak dan meminta sahabatnya yang mewakili berpidato).Bahasa Inggrisnya sangat bagus dan wawasannya sangat luas.Tetapi dukungannya terhadap Bapak Prabowo jelas sekali. Sepanjang acara selama empat jam Ibu Maryani tidak beranjak dari kursinya. Tidak juga memencet-mencet hape seperti ketika penonton bosan.Semua keluarga besar Bapak Djojohadikusumobersatu sesuai kontribusinya masing-masing untuk mendukung Bapak Prabowo menjadi Presiden terpilih.Kekuatan kekompakan keluarga inilah yang membantu keluarga besar Djojohadikusumo melewati masa-masa pahit pemberhentian dengan hormat Prabowo dari dunia militer yang diimpikannya selama 25 tahun.Kekuatan terbesar yang justru datang dari keluarga.

Ini menjadi berkah tersendiri ketika Bapak Prabowo lagi-lagi diterpa isu tidak mempunyai istri.Dalam hal ini saya rasa posisi Bapak Prabowo yang duda sudah tidak perlu dipermasalahkan karena Bapak Prabowo mempunyai kakak-kakak perempuan yang sangat luar biasa yang kapanpun siap mengisi peran sebagai Ibu Negara.

Memang rasanya tidak akan habis kalau kita membicarakan salah satu capres. Masing-masing dari kita tentu punya alasan sendiri.Berdiskusi perlu, tapi tidak elok lah kalau berujung pada pertengkaran.Sekali lagi, saya hanya seorang wanita Tionghoa yang resah dengan kebebasan demokrasi kita yang makin kebablasan.Saya hanya berdoa supaya Tuhan memberkati negara kita dan tidak sampai terjadi perpecahan.Pak Prabowo di facebooknya senantiasa menghimbau agar pendukungnya tidak melakukan kampanye hitam kepada Bapak Jokowi.Bukankan seharusnya seorang pemimpin harus seperti itu?Memberi arahan di saat-saat makin kritis mendekati pemilu?

Maka teman-teman sebangsa dan setanah air, mari urun tangan untuk ikut menentukan nasib bangsa kita lima tahun ke depan. Apapun hasilnya itu adalah pilihan rakyat yang harus dihormati.Jangan lagi ada perpecahan diantara bangsa kita.Sadarlah bahwa ada provokator yang sedang memancing di air keruh sedang menikmati dan tertawa ketika kita berhasil dibuat terpecah belah.Saya pun sadar tulisan saya ini bisa diterima dengan cibiran ataupun dengan senyuman.Apapun hasilnya setelah tanggal 9 Juli 2014, saya siap menerima hasil pemilu karena itu adalah pilihan rakyat.Yang kalah harus tetap tersenyum dengan kepala tegak, dan yang menang harus tetap rendah hati. Salam Indonesia Bangkit ! Peace Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun