Berisikan 5 orang dari 7 ruang yang terpetak-petak sama besarnya dengan ukuran 2x3 meter lah, Aku menghampiri salah satu ruang kenamaan tersebut. Kubuka kunci dan kulihat separuh bayang kekuningan melepuh, hancur, dan berair. Seperti itukah ajal menjemput? Mengikis harapan untuk bertahan walau di ruang yang nyaman sekalipun. Menggigit diri dan menggores luka hati dengan sayatan-sayatan tajam semilir angin yang berhembus dalam kurun waktu 1x24 jam disampingnya. Aku masih tertegun memandangnya lemah, tak berdaya, layu, kuning. Kusangka tak akan secepat ini perginya hijau yang segar. Kufikir ada kelembutan hati Sang Khalik untuk menunda kematiannya. Tapi ternyata, yang tak tertunda adalah takdir itu sendiri.
Kuhampiri dirinya yang menguning meskipun teman lainnya masih tampak segar. Bukan tak mungkin untuk mereka mengalami serangan yang sama dengan yang dirasakan oleh Sang empunya sakit. Aku tahu dirinya menjerit sangat keras, memanggil Aku yang hanya bisu melihatnya terkapar tak berdaya, menggeliat pun tak bisa kurasa. Sesuka hatinya memanggilku untuk melepas kesakitannya saat ini, dan sama sekali tak kuhiraukan pintanya. Aku hanya ingin jadi penikmat laramu, dan Aku ingin melihat bagaimana dirinya maaaati. Tak bernyawa.
Kamu pasti menebak-nebak apalah gerangan yang kutulis ini, begitu bukan? Ini cerita bukan tentangmu, bukan pula tentangku. Ini cerita tentang mereka, yang berjuang mengakhiri hidup tapi tak tahu harus bagaimana. Separuh dari mereka berkata jika tak sanggup sudah menahan penderitaan ini, ingin lekas mati. Separuhnya lagi berkata bahwa mereka masih ingin hidup, dan membiarkan kembarannya dijemput seorang diri oleh kematian. Dan Aku, disini Aku yang menjadi hakim dari kehidupan mereka, Aku yang akan menentukan kehidupan mereka. Dan Aku yang akan mengambil nyawa-nyawa si pesakitan dengan si tak tahu diri.
“Kau, kalian kaum hijau, seharusnya meringankan beban saudaramu ketika hampir menjemput ajal”, kataku pada mereka. “Dan kalian pesakitan, sebaiknya berdoalah agar Aku bisa dengan mudah mencabut nyawa kalian dan membuangnya keluar dari lingkaran putih ini”, tambahku. Mereka baik kaum hijau dan kuning tak bergeming, hanya saja melihatku penuh dengan rasa kebencian yang sangat dalam. “Kubilang padamu wahai si pemilik sebutan Aku, kami tak akan pernah mengikuti saudara kami hanya untuk mati sia-sia seperti ini, kami masih tunas yang akan berkembang menjadi bunga dan tumbuh untuk dipandang serta dipuji hawa, tak seperti mereka yang telah lemah tak berdaya, dan hanya onggokan berwarna kuning berair saat ini”, kata dirinya yang berwarna hijau sambil menunjuk kasar saudaranya. Saudaranya – kuning—juga bersuara, “Jika bukan karena kau yang mengambil makanan kami, maka semua ini tak akan pernah terjadi pada diri kami. Kami menguning karenamu, dan mati sebabmu yang tak tahu diri!”, sambar dirinya yang semakin menguning.
Sekian detik melihat dan mendengar percakapan mereka hanya membuatku muak dan ingin segera mengakhiri masa hidupnya. Tapi kutatap mereka satu per satu, dan kutatap pengganti mereka yang telah kupersiapkan sejak awal di luar ruangan dengan tatapan yakin dan penuh arti. Pertengkaran usai, mereka lelah dengan apa yang mereka persoalkan. “Mau mati saja repot, dan yang mau menyusul mati pun hanya bisa menambahi beban kerepotanku saja. Lihat telah kusiapkan pengganti kalian diluar sana, bibit yang sekitanya jauh lebih sehat daripada kalian, bodoh!”, timpalku pada mereka. Mereka mulai bertatapan dengan khawatir, lalu menanyaiku apakah mereka benar-benar akan kubunuh dan kuganti posisi mereka dengan yang lebih baik. “Ya”, jawabku mantap.
Tak lama kemudian, kujinjing mereka keluar ruanganku, mereka berteriak dan memohon padaku untuk lebih berbelas kasih pada mereka. Dan aku memang tak sanggup melihat keduanya hanya beradu mati – tak mati tiap harinya. Lebih baik kalian mati bersama, pikirku saat itu. Mereka tetap menatapku nanar, seolah ingin mengacaukan hatiku agar berubah menjadi selembut sutra hanya untuk menunda proses kematian mereka. Dan bagaimanapun juga mereka harus mati sekarang. Ada yang lebih baik diluar sana untuk menggantikan posisi mereka. Masih menangis dan menangis tersedu-sedu mereka memohon padaku. Sempat kulirik rumah-rumahan disamping pembaringan mereka yang basah karena luka air yang menetes tak henti-hentinya. Sungguh jijik aku melihat tetesan luka airnya. Tak bisa kupertahankan sampai akhirnya aku mencabut nyawanya dan menjatuhkan mereka tepat diluar ruanganku. Teriakan mereka seperti tak ikhlas memandangku dari bawah sana dan akhirnya mata mereka menutup untuk sekarang dan selamanya.
Setitik kupejamkan mata, kurenungkan kembali apa yang telah kulakukan baru saja. Ya, aku tak menyesal. Setidaknya rumah-rumahan ini akan selalu menjadi sebuah kenangan tentang mereka untukku. Begitu juga pengganti mereka yang kuyakini akan lebih kuat bertahan dalam ruanganku yang nyaman ini. Didepan pembaringan yang baru ini, rumah-rumahan itu kususun kembali.
Yogyakarta, 05 November 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H