Sering kita mendengar bahwa orang orang yang punya kebiasaan mengikuti ucapan orang lain diistilahkan dengan ‘membeo’. Burung beo dijadikan perumpamaan dari sikap meniru karena keunikan yang dimilikinya. Salah satu jenis burung beo yang digemari oleh pecinta burung yaitu jenis Beo Nias (Gracula robusta). Burung ini termasuk kedalam famili sturnidae (jalak dan kerabatnya) dengan memiliki kemampuan unik dimana dapat menirukan suara dan ucapan dengan jelas.
Nah, karena kepandaian meniru inilah yang membuat si burung eksotis ini dijadikan primadona di kalangan pecinta burung untuk dijadikan peliharaan. Dan hal ini mengakibatkan banyaknya perburuan yang semakin memperburuk keadaan burung ini terancam punah di habitatnya. Mirisnya kebiasaan membeo semakin banyak dimiliki orang- orang, tetapi keberadaan si beo semakin sedikit ditemukan di habitatnya.
Habitat asli burung ini terletak di kawasan hutan basah dengan hidup berpasangan dalam kelompok kecil, Tepatnya pada daerah perbukitan dengan ketinggian 100-200 m di atas permukaan laut. Beo termasuk hewan omnivora atau hewan pemakan segala. burung ini sangat suka memakan buah-buahan berdaging tebal yang lunak dan nektar bunga.
Selain itu beo juga mengkonsumsi serangga kecil seperti jangkrik, telur semut, capung, dan belalang untuk memenuhi kebutuhan protein pada tubuhnya. Burung beo termasuk hewan yang berumur panjang. Pada musim kawin, beo mampu menghasilkan 2-3 butir telur, tetapi belum tentu semuanya berhasil menetas karena masih adanya ancaman predator burung ini di alam.
Beo nias (Gracula robusta) sering juga disebut Ciong atau Tiong. Dapat ditemukan di kepulauan Nias dan pulau-pulau kecil sekitarnya dan merupakan burung endemik dari Sumatera Utara. Beo jenis ini memiliki bulu hitam mengkilap saking mengkilapnya jika terpapar cahaya warna bulu beo tersebut bersemu keunguan bahkan perunggu, serta di ujung sayapnya terdapat sebuah bercak berwarna putih. Ciri khas beo Nias yang membedakannya dengan burung beo lainnya adalah ukuran tubuh yang lebih besar dan juga gelambir kuning di bagian cuping telinga yang menyatu di belakang kepalanya.
Di alam beo nias ini berperan dalam menyebarkan biji- bijian (seed dispersal). Hal ini menunjukan seberapa penting peran burung ini untuk menjaga keseimbangan ekosistem hutan.
Selain pandai meniru suara- suara yang didengarnya, beo nias juga pandai menirukan siulan dari burung dan berbagai suara termasuk suara manusia. Hal ini karena burung beo memiliki struktur lidah yang dapat melafalkan beberapa huruf vokal dengan baik seperti huruf ‘a’ dan ‘o’. Selain itu burung beo juga memiliki ingatan yang cukup kuat, sehingga dapat mengingat kata kata yang sering didengarnya. Oleh karena itu banyak orang yang memburu hewan ini untuk dijadikan peliharaan.
Burung ini banyak diburu dan diperjual belikan secara ilegal. Tidak hanya dalam negeri, beo ini juga diperjualbelikan dalam perdagangan internasional. Karena memiliki wilayah distribusi yang terbatas dan juga perburuan yang tak terkendali menjadikan populasinya semakin menurun setiap tahunnya.
Si burung peniru ini termasuk hewan yang dilindungi berdasarkan UU No. 5 / Tahun 1990 dan PP No.7 / Tahun 1999. Sedangkan menurut data IUCN yang dinilai oleh BirdLife Internasional pada tanggal 18 Agustus 2020, Beo Nias (Gracula robusta) termasuk kategori hewan Critically Endangered (CR) atau bisa dikatakan sangat terancam punah secara global. Hal ini terjadi karena adanya penurunan populasi yang sangat memprihatinkan. Menurut data IUCN tersebut, burung ini hanya tersisa 160-265 jumlah individu dewasa untuk kawasan global.
Selain merujuk pada data IUCN, kepunahan burung beo Nias ini juga dibuktikan dengan masuknya jenis burung ini pada Peraturan KLHK RI (P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018) yang menyatakan bahwa spesies ini termasuk fauna yang dilindungi oleh pemerintah Indonesia.
Dikutip dari halaman IUCN “ Sebagai hasil dari kekhawatiran tentang perdagangan internasional, Beo Nias (Hill Myna) dimasukkan dalam CITES Appendix III atas permintaan Thailand pada tahun 1992 dan kemudian dimasukkan dalam Appendix II pada tahun 1997 atas rekomendasi dari Belanda dan Filipina: saat ini G. robusta tetap termasuk dalam G. religiosa untuk daftar Lampiran II. Berbagai upaya sedang dilakukan di lapangan oleh LSM Indonesia untuk membuat program pemulihan spesies di satu pulau, yang dikoordinasikan dari Sumatera. Ada juga upaya untuk menciptakan populasi integral yang ditawan dari spesies ini, meskipun status program saat ini tidak jelas”.
Selain itu sejak tahun 1991 tepatnya tanggal 8 Juni Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Utara telah menetapkan Beo Nias beserta Bunga Kenanga (Cananga odorata) sebagai flora dan fauna identitas provinsi Sumatera Utara yaitu melalui SK No. 522.5/1611/K/1991. Penetapan ini ditujukan sebagai upaya untuk melindunginya dari ancaman kepunahan.
Karena adanya upaya perlindungan pada fauna ini, Beo nias akhirnya menjadi maskot Hari Cinta Puspa dan Satwa pada tahun 2015, dikarenakan burung ini semakin sulit ditemukan keberadaannya di alam. Dan dengan adanya hal ini diharapkan masyarakat luas dapat melestarikan puspa dan satwa nasional salah satunya burung peniru dari Nias ini.
Dengan adanya upaya-upaya penanganan pemulihan populasi spesies ini oleh pemerintah lewat diperkuatnya undang-undang distribusi spesies tersebut, diharapkan dapat mengembalikan jumlah burung eksotis ini pada habitatnya. Namun, jika hanya pemerintah saja yang menjaga tidak sepenuhnya dapat terlindungi dan terealisasikan dengan baik. Diharapkan kepada segenap elemen masyarakat khususnya pemangku adat setempat maupun lembaga yang berkepentingan dalam melindungi spesies ini dapat bekerja sama untuk sama-sama menjaga apa yang dianggap berharga bagi kekayaan fauna maupun flora pada daerah kita. Agar kedepannya anak cucu kita pada generasi berikutnya dapat melihat dan mengetahui seberapa indah dan eksotisnya flora dan fauna yang dapat hidup di tanah air tercinta kita.
Tetap jaga Indonesia kita menjadi Megabiodiversitas dunia dengan tetap menjaga serta melindungi semua jenis kekayaan flora fauna tanah air kita. Salam Lestari! Salam Konservasi!
Penulis : Hylda & Aprilia Cassa Nova
Penulis merupakan mahasiswa S1, Jurusan Biologi Murni, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas, Padang, Sumatra Barat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H