Akhirnya Ibu Fadhilah tidak bisa membiarkan situasi ini, ia meminta WHO membuka data itu. Data DNA virus H5N1 yang disimpah WHO harus dibuka. Tidak boleh hanya dikuasai oleh kelompok tertentu. Ia berusaha keras. Dan, berhasil. Pada 8 Agustus 2006, WHO mengirim data itu. Ilmuwan dunia yang selama ini gagal mendobrak ketertutupan Los Alamos, telah memujinya.
Tidak berhenti di situ. Siti Fadilah terus mengejar WHO agar mengembalikan 58 virus asal Indonesia, yang konon telah ditempatkan di Bio Health Security, lembaga penelitian senjata biologi Pentagon. Tapi, ia terus berjuang hingga tercipta pertukaran virus yang adil, transparan, dan setara.
Ia juga terus melawan dengan cara tidak lagi mau mengirim spesimen virus yang diminta WHO, selama mekanisme itu mengikuti GISN, yang imperialistik dan membahayakan dunia.
Akhirnya, perlawanan itu tidak sia-sia. Meski Fadilah dikecam WHO dan dianggap menghambat penelitian, namun pada akhirnya dalam sidang Pertemuan Kesehatan Sedunia di Jenewa Mei 2007, International Government Meeting (IGM) WHO akhirnya menyetujui segala tuntutan Fadilah, yaitu sharing virus disetujui dan GISN dihapuskan.
Dari sekilas cerita perjuangan Ibu Siti Fadhilah Supari dalam kasus Flu Burung tersebut menggambarkan salah satu bentuk nasionalisme yang ia lakukan dengan tujuan Indonesia dapat berdiri dengan kaki sendiri. Karena selama ini rakyat Indonesia sudah cukup terjajah dengan penjajahan gaya baru atau Neo Kolonialisme yang dulu sering diucapkan oleh Bung Karno. Indonesia merupakan negara besar yang merdeka dan berdaulat, kita harus bisa berdiri dengan kaki sendiri. Menjadi bangsa yang bermartabat dan diakui oleh dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H