Ibnu menjelaskan hak tentang masyarakat adat berada di atas hak negara menguasainya. Masyarakat adat perlu mendapat perhatian lebih oleh Pemerintah. Dalam kasus masyarakat Rempang, ada 16 Kampung Tua yang bisa dibuktikan asal-asulnya, tetapi pemerintah mengabaikannya.
Memurut Ibnu, masyarakat Rempang tidak bisa dikatan sebagai warga liar karena masyarakat adat yang terdiri dari Suku Melayu, Suku Laut, dan beberapa suku lainnya, telah menempati Pulau Rempang selama lebih dari 200 tahun. Selama masa tersebut, tanah di Pulau Rempang telah dianggap milik masyarakat adat secara utuh. Kasus masyarakat Rempang terjadi akibat tidak adanya perlindungan hukum atas tanah yang kemudian di cap sebagai warga liar. Namun, adanya perlindungan hukum tidak menjamin konflik dapat dicegah.
Ibnu menilai persoalan tersebut terjadi karena perlindungan hukum tentang pertanahan di Indonesia belum optimal. Kasus soal konflik pertanahan dapat menjerat siapapun. Tidak hanya menjerat warga yang tidak memiliki, tetapi yang juga mempunyai sertifikat.
Kasus Rempang mengingatkan kita bahwa sistem pertahanahan kita memungkinkan kejadian serupa terulang. Hal itu ditambah bergantungnya Pemerintah dalam jenis usaha ekstratif dengan melakukan eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) tanpa mempertimbangkan hak-hak warga negara khususnya masyarakat adat. "Ini mengakibatkan konflik horizontal antara pemerintah dan warga negara," ucap Ibnu.
Ibnu berpendapat meningkatnya konflik agraria karena tanah merupakan kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia. "Jika kita memiliki tanah maka otomatis akan memiliki kekuasaan, karena kita mempunyai alat produksi. Terlebih lagi, di masa mendatang ada tiga hal yang diperebutkan oleh negara-negara lain yakni tanah, pangan, dan energi," ungkap Ibnu.
Terakhir, Ibnu menegaskan bahwa persoalan Rempang menjadi pelajaran untuk Masyarakat. Kendati, sertifikat tidak bisa menjamin, tetapi itu produk hukum yang mengikat. Masyarakat juga harus menyadari setiap aset yang dipunya harus memiliki jaminan hukumnya.
Tentunya negara juga harus mengubah pola pendekatan represif terhadap kasus konflik agraria. Negara harus memberikan jaminan perlindungan hukum kepada warga negaranya. Kalau tidak, maka akan terus terjadi pertumpahan darah atas warga negara kita sendiri.
Tulisan ini di ambil dari :
Penulis : Fazri Maulana - Universitas Muhamadiyah Jakarta
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI