Permasalahan hukum terkait reformasi regulasi di Indonesia, bukanlah temuan baru dalam daftar inventarisasi masalah sistem hukum yang terjadi. Mengingat, persoalan yang menyangkut reformasi regulasi dari sisi kualitas peraturan perundang-undangan, maupun dari segi kuantitasnya telah berlangsung sejak lama. Hal itu dapat dibuktikan dengan banyaknya penelitian yang mengkaji dan memberi solusi terhadap permasalahan tersebut. Misalnya yang dilakukan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam Regulatory Reform pada 2007, atau yang dilakukan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia dalam Kajian Reformasi Regulasi di Indonesia: Pokok Permasalahan dan Strategi Penanganannya pada 2019.
Reformasi regulasi bermakna perubahan yang bersifat menyeluruh dan mempunyai pengaruh cepat untuk perbaikan dalam pengaturan. Dikutip dari tulisan Sholikin (2018), pengaturan yang dimaksudkan adalah peraturan perundang-undangan. Berdasarkan definisi tersebut, apabila dihubungkan dengan legal system theory dari L.M.Friedman yang membagi sistem hukum dalam tiga elemen utama, yaitu substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum. Â Menurut Kajian Reformasi Regulasi di Indonesia: Pokok Permasalahan dan Strategi Penanganannya tahun 2019, permasalahan dari reformasi regulasi hukum di Indonesia berdasarkan, yaitu berdampak pada terjadinya hyper-regulation, serta kualitas regulasi yang buruk pada keseluruhan elemen tersebut.
Sistem Hukum vs Produksi Regulasi
Perihal hubungan antara sistem hukum Indonesia, mekanisme produksi regulasi, dan pendapat dari friedman di atas, dapat dijabarkan menjadi beberapa poin. Pertama, reformasi regulasi dalam hubungannya dengan substansi hukum. Berdasarkan beberapa faktor yang ada, salah satu penyumbang utama masalah reformasi regulasi dalam sisitem hukum, khususnya pada elemen substansi hukum, terletak pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. UU tersebut berisi muatan materi dari pemenuhan aspek yang bersifat administratif formal, daripada memperhatikan aspek yang bersifat analisis hasil atau evaluasi regulasi. Akhirnya dengan susbtansi yang demikian, bukan hanya berdampak pada masifnya produk hukum yang dihasilkan dan peluang besar adanya disharmonisasi aturan, sebagaimana yang diuatarakan Gandhi dalam Orasi Ilmiah pengukuhan Jabatan Guru Besar pada 14 Oktober 1995. Melainkan juga akan berdampak pada kualitas peraturan yang buruk, karena tidak adanya mekanisme pengaturan lebih lanjut perihal evaluasi dari konstruksi produk regulasi yang dibentuk.
Kedua, reformasi regulasi hubungannya dengan struktur hukum. Pada poin ini, permasalahan terletak pada pemerintah yang enggan mengambil beberapa tawaran guna menjadi solusi dari kondisi regulasi saat ini. Mengingat, banyak jawaban yang dapat dijadikan sebagai solusi. Salah satunya dengan melakukan pembentukan lembaga khusus yang mengurus persoalan-persoalan seputar regulasi hukum di Indonesia. Hal ini, dapat dilihat dari saran-saran beberapa lembaga yang spesifik mengkaji persoalan tersebut, seperti Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD) dalam Working Papers on Public Governance, atau bahkan dalam beberapa penelitian yang dilakukan oleh PSHK dalam Kajian Reformasi Regulasi di Indonesia: Pokok Permasalahan Dan Strategi Penanganannya pada 2019, namun hal ini tidak direspon lebih lanjut oleh pemerintah.
Ketiga, reformasi regulasi hubungannya dengan budaya hukum. Poin ini, memfokuskan pada subjek (pembentuk) peraturan perundang-undangan. Mengingat, dalam konstruksi berpikir subjek, cenderung lahir cara berpikir yang nyaris menjadi ideologi, bahwa semua proyeksi kediatan harus dituangkan dalam suatu bentuk peraturan perundang-undangan, dengan beberapa produk hukum tergantung dari instansi pembentuknya. Meskipun menurut Eddy O.S Hiariej (2018), secara doktrin hal tersebut dianggap sesuatu yang remeh dan tidak diperuntukan dalam suatu produk hukum atau yang umumnya diartikan dengan adagium multa sed non multum.
Berdasarkan ketiga masalah tersebut dapat ditawarkan proyeksi dengan beberapa hal utama, di antaranya: Pertama, dilakukan reformasi regulasi sebagaimana yang dimaksud oleh Arief (2010: 29) terhadap substansi Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Kaitannya dengan penambahan materi yang ditekankan, tidak saja pada pembentukan suatu regulasi hukum dengan pemenuhan aspek yang bersifat administratif formal. Melainkan, memperhatikan pula aspek yang bersifat analisis hasil atau evaluasi dalam pembentukan suatu regulasi. Kedua, perlunya dilakukan pembentukan suatu lembaga perundang-undangan. Selain bertujuan untuk menata puluhan ribu pembentukan dan evaluasi, sehingga dapat diketahui sejauh mana urgensi hal tersebut untuk di atur, serta apa tujuan yang hendak dicapai dengan pembentukan regulasi tersebut. Sehingga, dengan adanya kedua perimbangan tersebut di atas, dihdarpkan dapat memberi pengaruh pada percepatan perbaikan regulasi di Indonesia untuk tujuan reformasi regulasi. Selain itu juga dapat memberi perubahan paradigma berpikir subjek (pembentuk) undang-undang dengan tujuan akhir yaitu melahirkan bentuk baru budaya hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mulawarman
Referensi Bacaan:
- Prof.Maria Farida Indrati Soeprapto, A.Hamid S, S.Attamimi, Â Ilmu Perundang-Undangan: Dasar-dasar dan Pembentukannya, 1998.