Nilai yang memberikan demokrasi karakteristik khusus tersebut kemudian dikonkritisasi melalui berbagai upaya reformatif yang menjadi alat bantu dalam memahami gerak atau pola demokrasi.
Upaya-upaya tersebut diintergrasikan kedalam elemen penting yakni hak asasi sebagai suatu respon atas kebutuhan pengakuan atas kebebasan/kemerdekaan (freedom), hal ini kemudian yang mendorong Beetham untuk memproyeksikan keberadaan suatu relasi mandatori antara hak asasi dan demokrasi dengan menyatakan bahwa, "The guarantee of civil and political rights provides an essential foundation for all the other dimensions of democracy" (Beetham, 2004).
Sehingga dalam pembahasan selanjutnya di dalam tulisan tersebut ia mengidentifikasikan sejumlah hak-hak sipil yang menjalin hubungan esensial dengan demokrasi, salah satunya yakni kebebasan berserikat dan berkumpul.
Menyadari keberadaan interaksi antar hak asasi dan demokrasi tersebut, maka yang akan menjadi pertanyaan selanjutnya yakni sejauh mana peran atau pengaruh keberlangsungan kebebasan berserikat dan berkumpul tersebut terhadap proses demokrasi suatu negara?
Salah satu analisis paling awal dan mendalam yang memberikan fondasi bagi pemahaman akan konsep "berserikat & berkumpul" disampaikan oleh seorang ilmuwan politik asal Prancis yakni Alexis de Tocqueville melalui buku fenomenalnya dengan judul "Democracy in America" yang secara umum mengkaji peningkatan standar hidup (living standards) dan kondisi sosial serta hubungannya dengan pasar dalam masyarakat barat.
Ia memberikan definisi terhadap "association" sebagai kumpulan individu yang mematuh suatu doktrin atau pemahaman tertentu dan berupaya untuk memperjuangkan doktrin atau pemahaman tersebut dengan cara-cara tertentu (Tocqueville, 2002). Dari definisi yang luas dan umum tersebut, Tocqueville melihat keberadaan perkumpulan sipil-politik memiliki peran yang vital dalam kehidupan politik negara demokrasi.
Hal ini yang kemudian membuat sejumlah tulisan lain yang berlandaskan dari gagasan Tocqueville, seperti yang dijelaskan oleh Craiutu bahwasannya demokrasi sangatlah bergantung terhadap suatu "vibrant associational life", dan perkumpulan merupakan salah satu perwujudannya sekaligus variabel utama yang dapat meningkatkan maupun menentukan kualitas demokrasi, seperti misalnya melalui deliberasi ruang-ruang-ruang musyawarah publik (Craiutu, 2008).
Selain pendapat Craiutu tersebut, pendapat lain seperti yang diungkapkan oleh Levy yang mengkonstruksikan argumennya dengan melihat lebih jauh substansi yang terdapat di dalam relasi demokrasi dengan kebebasan berserikat dan berkumpul sebagai suatu "intermediate groups" yang memberikan ruang alternatif bagi interaksi masyarakat dan negara sekaligus manifestasi perlawanan terhadap berbagai tindakan yang mengancam kebebasan sipil maupun pribadi yang datang dari penguasa (Levy, 2015).
Sehingga dapat saya katakan bahwa kedalaman hubungan antara demokrasi dengan kebebasan berserikat dan berkumpul bukanlah sebatas hubungan sepihak dimana kebebasan berserikat dan berkumpul semata yang membutuhkan ekosistem demokrasi untuk bertahan hidup (proses konkritisasi nilainilai demokrasi) melainkan demokrasi itu sendiri secara nyata membutuhkan keberadaan maupun praktik kebebasan berkumpul sebagai indikator demokrasi yang sehat.
Gagasan-gagasan tersebut mendorong negara untuk melakukan berbagai upaya yang dapat menjamin keberlangsungan kebebasan berserikat dan berkumpul dalam kehidupan demokrasi, salah satu bentuk upaya yang ditawarkan adalah dengan menggunakan hukum sebagai elemen utama yang dimiliki negara berdaulat dan beradab. Peran hukum dalam proses demokrasi negara digambarkan oleh Habermas sebagai suatu interelasi atau hubungan timbal balik yang bersifat esensial.
Ia mendasarkan argumen tersebut dengan melihat dari perspektif normatif bahwasannya terdapat suatu hubungan konseptual yang tidak hanya bersifat historis antara hukum dan demokrasi, melainkan jika ditelaah lebih jauh maka dapat diketahui bahwa hubungan tersebut merupakan dampak dari konsep hukum modern dan keberadaan suatu realita yang melihat bahwa hukum positif tidak lagi mampu memperoleh legitimasinya hanya dari hukum yang lebih tinggi (Habermas, 1995).