Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 secara tegas menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Negara hukum yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 adalah negara yang menegakan supremasi hukum untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan, dimana di dalamnya tidak ada kekuasaan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Negara Hukum Indonesia diilhami oleh ide dasar rechtsstaat dan rule of law. Oleh karena itu maka Negara Hukum Indonesia memiliki elemen yang terkandung dalam konsep rechtsstaat maupun dalam konsep rule of law.
Dalam rechtsstaat, dasar kewibawaan kenegaraan (de grondslag van statelijk gezag) diletakkan pada hukum dan penyelenggaraan kewibawaan kenegaraan dalam segala bentuknya ditempat dibawah kekuasaan hukum. Rechtsstaat mengandung unsur-unsur persamaan di depan hukum, dapatnya setiap orang mempertahankan diri dalam semua situasi yang layak, adanya kesempatan yang sama bagi warga negara yang berhak untuk mencapai semua jabatan kenegaraan, dan adanya kebebasan pribadi bagi warga negara.
Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup 4 elemen penting, yaitu: (1) Perlindungan HAM; (2) Pembagian kekuasaan; (3) Pemerintahan berdasarkan Undang-Undang; (4) Peradilan TUN. Sedangkan ‘Rule of law’ sejak awal telah membedakan formalitas aturan hukum yang tertulis dengan cakuan nilai keadilan yang dikandungnya. Bahkan di Inggris berkembang istilah “the rule of law and not of a man” versus istilah “the rule by law” yang berarti “the rule of man by law”.
Dalam istilah “the rule of law” terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan juga istilah “the rule of just law”. Dalam istilah “the rule of law and not of man”, dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah “the rule by law” yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai instrumen kekuasaan belaka. A.V. Dicey menguraikan adanya 3 ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu:
- Supremacy of Law
- Equality before the Law
- Due Process of Law
Dari kedua konsep ini terlihat bahwa terdapat persamaan dan perbedaan konsep rechtsstat dengan konsup rule of law. Persamaan tersebut adalah menurut saya pada dasarnya kedua konsep ini mengarahkan dirinya pada satu sasaran yang utama, yakni pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Indonesia mengakomodir kedua konsep ini dan melahirkan sebuah konsep Negara Hukum tersendiri.
Negara hukum Indonesia memiliki ciri-cri khas Indonesia karena ‘Pancasila’ harus diangkat sebagai dasar pokok dan sumber dari segala sumber hukum. Oleh karena itu maka negara hukum Indonesia bisa pula dinamakan negara hukum Pancasila. Dari pandangan saya diatas, terlihat bahwa meskipun dalam penjelasan UUD NRI 1945 digunakan istilah rechtsstaat, tapi konsep rechtsstaat yang dianut oleh negara Indonesia bukan konsep negara hukum Barat (Eropa Kontinental) dan bukan juga kosep rule of law dari Anglo-Saxon, melainkan konsep negara hukum Pancasila.
Ciri khas Negara Hukum Pancasila adaah dibandingkan dengan rechtsstaat maupun rule of law adalah terdapat elemen (1) Berketuhanan YME; (2) Gotong Royong; (3) Bhineka Tunggal Ika; serta (4) Demokrasi. Pembangunan hukum sebagai salah satu katalisator pembangunan bangsa perlu ditopang dengan sistem hukum nasional yang mantap dengan bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam pelaksanaannya prinsip negara hukum Pancasila dijabarkan dalam bentuk: (1) Jaminan perlindungan HAM; (2) Kekuasaan kehakiman atau peradilan yang merdeka; dan (3) Legalitas hukum dalam segala bentuknya (setiap tindakan negara/pemerintah dan masyarakat harus berdasar atas dan melalui hukum). Disamping itu menurut saya juga ada elemen budaya hukum seperti konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang baik (sehingga harus dianut) dan apa yang buruk (sehingga harus dihindari).
Budaya hukum ini perlu dibangun selaras dengan nilai-nilai yang dikandung Pancasila sehingga bisa kokoh menopang implementasi prinsip-prinsip negara hukum. Membangun budaya hukum masyarakat merupakan bagian dari upaya nation characterbuilding. Membangun sikap dan mengubah mental bangsa, yang selama ini saya rasa ‘terlanjur’ dibebani stigma-stigma negatif sebagai bangsa yang cenderung masih toleran terhadap pelanggaran-pelanggaran hukum. Budaya hukum juga perlu dibangun di kalangan aparat penegak hukum. Hal ini saya kira sangatlah penting mengingat bahwa penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi, sangat bergantung pada seberapa kuatnya etika, integritas, dan komitmen aparat penegak hukum itu sendiri. Disinilah kemudian kita melihat bahwa hukum dan etika adalah hal yang terkait erat satu dengan yang lain.
Sofian Effendi, mantan rektor UGM, pernah mengemukakan bahwa salah satu persoalan mendasar di bidang hukum adalah insan hukum tidak diajari dan dibekali ilmu dengan baik. Sistem pembelajaran yang berlangsung pada lembaga-lembaga pendidikan hukum yang ada sekarang ini adalah masih bersifat transfer pengetahuan belaka dan beroorientasi positivistik, sehingga cenderung hanya mencetak tukang (legal mechanics) dan tidak membentuk perilaku calon insan-insan hukum yang memiliki integritas diri yang adi, jujur dan humanis. Geery Spence seorang advokat senior Amerika Serikat mengatakan bahwa sebelum menjadi ahli hukum profesional, jadilah manusia berbudi luhur (evolved person) lebih dulu. Jika tidak dilakukan maka para ahli hukum hanya akan menjadi monster dari pada malaikat penolong dalam advokasi hukum dan HAM.