Mohon tunggu...
Aprillia Ramadhina
Aprillia Ramadhina Mohon Tunggu... -

penulis, blogger, manajer band, co-founder Meon Design yang senang melukis di waktu senggang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Cerpen] Mengenang Penantian

25 Februari 2017   22:10 Diperbarui: 25 Februari 2017   22:49 493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku yakin, suatu saat kau akan menyadarinya. Ketika aku tidak lagi menunggumu pulang dari kelanamu, ketika aku tidak lagi menyambutmu dengan pelukan seperti yang sudah-sudah. Kau pasti tahu, saat aku sudah tidak lagi ada untukmu, bukan karena aku sudah kehabisan cinta untuk kuberi padamu. Tapi karena itulah batas waktuku. Batas waktu yang aku tidak duga akan secepat itu. Batas dimana aku sudah tidak mampu lagi menunggu dan terus menunggu. Meski berjuta orang berkata bahwa tak ada yang sia-sia dari yang kita lakukan termasuk menunggu. Akan tetapi perkataan bahwa ‘tak ada yang sia-sia’ itu hanya mengajarkanku semakin menjadi pecundang tiap harinya.

Tidak perlu menyalahkanku jika nanti aku pergi. Bukan, bukan karena aku berpaling. Bukan karena aku mencari yang terbaik. Tapi karena aku baru tahu, kalau hanya dengan menunggu, bisa semenyakitkan ini. Terserah kalau kau nantinya bilang aku ini lemah, rapuh, dan tidak sabaran. Kau pikir tak cukup sabarkah aku selalu tersenyum digilas waktu yang menyayat-nyayat nadi hanya untuk menyambut ketidakhadiranmu? Memaklumi setiap ingkar janjimu?

Mengapa hanya kau yang selalu ingin dimengerti? Aku lelah menunggu. Aku pun lelah memahamimu. Karena pemahamanku selalu menyisakan ruang. Ruang yang meletakkanku untuk terpaksa mengerti.

Tak tahukah kau saat aku bertanya “Kau sedang apa?” Bukan semata hanya sebagai pertanyaan biasa. Tapi, betapa aku sesungguhnya ingin terlibat di sana. Di dalam jawabanmu. Beraktivitas bersamamu. Hingga pertanyaan tidak perlu lagi menjadi sebuah bentuk pengharapan.

Aku mencintaimu, kau tahu itu. Dan mungkin masih mencintaimu. Tapi kepergianmu yang terlalu sering, hingga mengabaikanku, membuatku merasa tak ada dalam duniamu, selain sebagai penunggu. Sebagai margin yang menawarkanmu kelegaan, seperti spasi yang membuatmu mampu melihat sebuah jeda. Bahwa ada yang harus kau perhatikan dari teks-teks besar yang menyemut dalam kepalamu. Ah, tapi bukankah terkadang hal yang paling sering kita butuhkan adalah hal yang juga sama seringnya kita abaikan?

Tak pernah lagi kucari-cari kamu sejak aku putuskan untuk pergi. Karena keputusanku untuk pergi, memang untuk kebahagiaanku. Dulu, aku selalu memasukkan kata-kata “kita” dalam awalan kata “bahagia”. Tapi tidak lagi. Sejak aku mulai hanya ingin memikirkan diriku. Seperti kau yang hanya selalu memikirkan dirimu sendiri.

….

Aku lupa sudah tahun ke berapa sejak aku memutuskan untuk pergi darimu. Aku melihatmu menggandeng tangan seorang perempuan. Kau masuk ke sebuah rumah makan dan tidak berhenti memandang mesra kepada perempuan itu. Bodohnya aku masih saja mengamatimu dalam kebetulan yang mengantarkanku melihatmu pada siang yang gerimis itu. Aku sudahi pengintaianku saat kau mengelus pipi perempuan itu sewaktu kalian duduk berhadapan menunggu pasanan makanan datang. Aku menelepon teman terdekatku untuk membuat janji minum kopi berdua siang itu juga. Meski air yang turun dari langit tak bisa lagi dikatakan gerimis karena sudah begitu derasnya. Aku ingin berbagi dengannya. Tak sanggup aku bersedih sendirian.

Aku bercerita padanya tentang ketidaksengajaan yang dibuat takdir yang telah membuatku melihatmu lagi. Dan oh, Tuhan, aku masih bisa menangis karenamu. Apalah arti dari keputusanku untuk pergi saat dulu? Apalah arti dari keangkuhanku setiap tahun yang mencoba tidak memikirkanmu? Apalah arti dari menghilangnya diriku jika aku sesungguhnya tidak pernah benar-benar berhenti menunggumu. Menunggumu kembali pulang seperti yang sudah-sudah. Karena akulah tempatmu untuk selalu kembali pulang dari kesudahanmu menyelesaikan kesibukan. Sekarang, apakah perempuan itu yang kau tuju untuk selalu pulang? Apakah perempuan itu memiliki kesabaran seperti yang aku punya dulu?

Segudang pertanyaan bergelut dan bergulat dalam benakku. Aku pun mulai menangis.

“Apakah laki-laki memang seperti itu? Selalu mencari pengganti ketika ia sudah kehilangan”?

Temanku hanya diam, kemudian bersuara, “Aku tidak tahu apakah semua laki-laki akan seperti itu. Tapi jika kau tanyakan kepadaku, aku mungkin akan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan priamu itu. Mencari perempuan yang mampu mencintaiku, bukan mencari perempuan yang jelas-jelas telah meninggalkanku”.

Aku menangis, lagi dan lagi. “Tak tahukah kau bahwa kepergianku justru karena aku begitu mencintai dia.” Dia hanya membalas, “Aku tidak mengerti. Mengapa karena dasar cinta kau justru pergi darinya. Sebegitu rumitnya kah kau untuk ia mengerti”?

“Aku pergi karena cintaku padanya terlalu besar hingga diriku sendiri tidak mampu lagi menampungnya, pun juga setiap derita yang lahir karena aku tidak pernah begitu penting di mata dia. Aku ini tidak ada dalam dunianya. Bagaimana keintiman bisa terlahir dari sebuah kejauhan? Jauh yang tidak lagi soal jarak, tapi jauh yang menempatkan ia sesungguhnya entah ada dimana meskipun wajahnya terlalu nyata di hadapanku?

Ia yang selalu ingkar kala hanya berbuat janji untuk menghabiskan waktu bersama. Bagaimana mungkin ia mencintaiku tapi ia bisa betah berlama-lama tidak menghubungiku? Kau tidak akan mengerti bagaimana rasanya tidak dianggap ada. Kau tidak mengerti rasanya betapa seringnya aku diabaikan, dilupakan, meskipun aku selalu menunggunya. Menunggunya dengan setia”. Aku berkata begitu dengan masih terisak.

Temanku diam, tapi tidak terlalu lama. “Kau yang memutuskan untuk pergi sejak lama. Tidak perlu kau ungkit segala sakitmu itu sekarang. Tidak dapat mengubah keadaan, bukan? Lagipula kau telah punya cukup banyak pertimbangan untuk meninggalkan dia. Supaya kau tidak perlu sakit lagi karena perasaan diabaikan terus menerus, kan? Berhentilah menangis. Kalau dia saja bisa belajar untuk mencintai orang lain, mengapa tak kau lakukan juga”?

“Apakah dia memang selama bersamaku tidak pernah benar-benar mencintaiku? Hingga begitu mudah baginya untuk mencari penggantiku”. Air mataku sudah cukup reda saat mengatakan hal tersebut.

“Aku tidak tahu, aku bukan dia. Tapi, perihal mudah atau tidak seseorang mencari pengganti, jawabannya akan sangat relatif”. Ketika hujan kian deras di luar dan senja pun mulai terbit dalam dalam kesamarannya karena berbaur dengan mendung, aku dan temanku jadi harus lebih berlama-lama di kafé ini. Lambat laun air mataku  sudah benar-benar berhenti.

Malam-malam kemarin, aku sudah lupa denganmu, tidak pernah mengadu lagi pada malam perihal dirimu. Tapi mengapa gulita kali ini terlihat begitu sendu? Begitu pilu? Tiba-tiba langit yang sedih itu menampilkan tayangan-tayangan dari setiap penggalan kisah yang telah lewat.

Ah, padahal masa yang kita lalui bersama, tidak terlalu lama kalau tidak mau dikatakan sebentar. Rupanya, ingatan kuat tentangmu bukan perihal berapa lama kita bersama, tapi bagaimana aku memaknai setiap apa yang sejenak dan singkat bersamamu. Penghayatanku saat mengalaminya itulah yang membuatku sulit lupa padamu. Tidak bergantung dari berapa lama waktu yang telah kita lalui dalam perjalanan hubungan kita.

Memang sering kali yang sebentar itu bukan selalu tidak berarti. Justru yang sebentar itu terkadang bisa membuat kita jadi bisa memaknai apa-apa yang hadir dalam kesementaraan. Bukankah senja hanya sejenak munculnya? Tapi selalu senja yang dirindukan dan terpasung dalam berbagai sajak-sajak puitis.

Malam ini, biarkan aku masih menantimu dalam bisu. Biarkan aku menginap pada penantianku. Malam ini saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun