Mohon tunggu...
Cak Koekoeh
Cak Koekoeh Mohon Tunggu... Administrasi - Researcher

"Banyaknya ilmu yang beterbangan diatas kepala kita, maka ikatlah dengan tulisan"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Konflik Yaman, Berkaca Pada Transisi 1998 Indonesia

21 Mei 2015   22:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:44 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tanggal 21 Mei 2015 kemarin tepat 17 tahun Presiden Soeharto mengundurkan diri karena dorongan gerakan mahasiswa dan rakyat yang menuntut adanya reformasi disegala bidang. Dimana pada tahun 1998 merupakan masa transisi dan masa krisis dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Krisis tersebut memberikan dampak dan pelajaran yang sangat luar biasa bukan hanya bagi bangsa ini tetapi juga bagi bangsa lain. Khususnya di negara-negara Timur-tengah yang sedang mengalami masa transisi, seperti Yaman, Suriah, Mesir, Turki dan kemungkinan terdekat adalah negara Arab Saudi sendiri.

Yaman sejak tahun 1990 pasca bersatunya Yaman Utara dan selatan selalu diliputi oleh gejolak krisis dan perang saudara. Para penduduk Yaman selatan yang ingin merdeka serta konflik bersenjata di Provinsi Sa’dah Yaman Utara dengan pemerintah Yaman termasuk ketegangan yang dihadapi pemerintahan Ali Abdullah Saleh.

Kelompok yang berada di Provinsi Sa’dah di Yaman Utara ini sudah berdiri sejak 1994 namun baru aktif melakukan perlawanan dengan pemerintah Yaman sejak 2004. Kelompok ini hingga tahun 2011 diperkirakan mempunyai anggota mencapai 100.000 lebih yang sebagian besar berasal dari provinsi Sa’dah.

Kelompok ini dituduh pemerintah Yaman berencana melakukan penggulingan kekuasaan yang ada. Namun pihak Houthi sendiri membela diri bahwa selama ini yang mereka lakukan semata-mata untuk memperjuangkan kepentingan rakyat di Sa’dah yang selama ini didiskriminasi dan dikucilkan oleh pemerintah pusat Yaman.

Keadaan ini mirip dengan keadaan yang terjadi di Indonesia selama pemerintahan Presiden Soeharto terjadi ketidak-puasan dari beberapa wilayah akibat kesenjangan pembangunan daerah Jawa dan diluar Jawa. Seperti yang terjadi di Aceh dengan adanya DOM serta Papua dengan adanya OPM saat itu.

Operasi militer di Aceh yang dikenal dengan operasi Jaring Merah pada periode tahun 1990-1998 adalah operasi untuk menghancurkan pemberontakan melawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sejatinya adalah perang saudara sesama bangsa sendiri akibat dari pembangunan yang tidak merata di Indonesia, semua sumber daya yang ada didaerah diambil alih oleh pusat untuk dikelola di Jawa dengan hanya sedikit yang diberikan kembali ke daerah. Operasi ini diperkeruh dengan adanya pembunuhan, penyiksaan, perkosaan dengan korban sebagian besar pihak sipil hingga berjumlah lebih dari 10ribu jiwa. Operasi ini berhenti dengan penarikan seluruh pasukan TNI oleh Presiden BJ Habibie pasca jatuhnya Presiden Soeharto.

Yang terjadi di Papua sebenarnya tidak jauh beda dengan apa yang ada di Aceh, kesenjangan sosial yang tinggi dan tidak meratanya pembangunan membuat propinsi paling timur ini semakin tertinggal dengan yang didaerah lain. Sumber daya yang melimpah tidak dapat dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat setempat karena sebagian besar diambil alih oleh pusat. Hal ini juga menimbulkan ketidak-puasan dikalangan para pemimpin daerah Papua sendiri sehingga berkeinginan untuk membentuk negara Papua yang merdeka, sebagai cikal bakalnya maka dibentuklah Organisasi Papua Merdeka (OPM). Untuk menindaklanjuti hal tersebut, ABRI segera melancarkan tindakan pencegahan untuk menghindari disintegrasi bangsa.

Kondisi yang terjadi di Yaman bila kita lihat dengan seksama tidak jauh beda dengan apa yang terjadi di Indonesia, Ketidak-stabilan politik di Yaman yang terjadi selama upaya penggulingan Presiden Ali Abdullah Saleh yang telah berkuasa selama tiga puluh tiga tahun menjadi celah bagi kelompok reformasi Houthi untuk mencoba mengambil-alih kekuasaan dari tangan pemerintah. Konflik antara pemerintah Yaman dengan Houthi bermula jauh sebelum Arab Spring akibat perbedaan perlakuan pemerintah terhadap kelompok ini.

Yaman merupakan negara yang kaya minyak dan posisi yang strategis, tetapi Yaman menjadi salah satunegara miskin, yang menghadapi krisis pangan dan ketidak-stabilan ekonomi akibat terjadi maraknya korupsi, kurangnya kebebasan berpolitik, penganggruan yang tinggi dan konflik perang saudara yang berkepanjangan antara pemerintah dengan rakyatnya sendiri.

Ali Abdullah Saleh sendiri merupakan Presiden Yaman yang telah memimpin selama 33 tahun dengan rincian 12 tahun saat menjabat Presiden Yaman Utara ditambah 21 tahun saat Yaman Utara dan Selatan bersatu menjadi Republik Yaman. Beberapa tahun sebelumnya Presiden ini telah menandatangi kontrak dengan Amerika dan Arab Saudi dan setelah itu menyataka n menumpas kelompok Houthi dengan aksi militer.

Konflik Yaman dimulai setelah Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh berangkat ke Arab Saudi untuk perawatan kesehatan serta meminta suaka dan memberikan kekuasaan kepada Wakil Presiden Abd Rabbo Mansour Hadi untuk menggantikannya. Sebelumnya terjadi protes keras yang menelan korban jiwa hingga mencapai 2000 orang lebih saat itu.

Sebelumnya pada tahun 2009, Pasukan militer Yaman melakukan operasi militer guna memerangi Houthi. Yaman mengerahkan tank serta pesawat tempur. Memasuki tahun 2010 konflik antara pasukan Yaman dan Houthi belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Sejak bulan Juli 2010, pemerintah Yaman bahkan merekrut dan mempersenjatai para penduduk desa disekitar provinsi Sa’dah untuk membantu memerangi Houthi.

Pada tahun 2011 menyusul aksi demonstrasi yang semakin membesar disekitar dunia Arab (Arab Spring). Puluhan ribu penduduk Yaman ikut melakukan demonstrasi menuntut reformasi pemerintahan yang selama ini dianggap korup dan otoriter. Konflik bersenjata kembali pecah antara tentara dan kelompok anti-pemerintah termasuk Houthi.

Pada Tanggal 24 Februari 2012 reformasi yang diinginkan akhirnya terwujud, Presiden Ali Abdullah Saleh resmi mundur dari jabatan Presiden Yaman. Setelah itu ditunjuklah wakil Presiden Abd Rabbo Mansour Hadi untuk menggantikannya. Dipertengahan tahun tersebut, Saleh kembali ke Yaman dan dilindungi oleh Mansour Hadi. Jenderal Ahmed Ali yang merupakan anak dari Saleh bahkan memegang jabatan penting di militer Yaman.

Pasca keberhasilan rakyat menggulingkan Saleh, yang berkuasa di Yaman adalah orang baru dengan wajah lama. Orang-orang yang berjuang dalam penggulingan Saleh malah dikucilkan termasuk suku Houthi. Hal inilah yang menyebabkan ketidak-puasan rakyat.

Gerakan ini kemudian berhasil menggalang demonstras besar-besaran sejak Agustus 2014, menuntut diturunkannya harga BBM, dan dilakukan reformasi politik. Kemudian Presiden Mansour Hadi bersedia menandatangani perjanjian dengan pihak Houthi yang intinya Presiden Hadi bersedia membentuk pemerintahan baru dengan melibatkan pihak Houthi dan semua partai politik yang ada. Namun pihak Houthi menolak usulan tersebut karena menganggap Mansour Hadi telah gagal dan mengingkari perjanjian sebelumnya untuk berbagi kekuasaan politik.

Houthi akhirnya berhasil merebut istana Presiden dan gedung-gedung pemerintahan Yaman lainnya pada periode Januari 2015. Dua minggu kemudian, Houthi resmi membentuk pemerintahan transisi Yaman.

Mansour Hadi kemudian memilih melarikan diri menuju Arab saudi dan meminta bantuan pihak militer Saudi, setelah mengundurkan diri pada 6 Februari 2015. Houthi dan sekutu politiknya sendiri menolak untuk memenuhi tuntuan Arab Saudi dan sekutunya. Sehingga sejak 26 maret 2015 Yaman diserang oleh Arab Saudi bersama beberapa negara teluk lainnya.

Kondisi ini sudah dibaca oleh pihak Houthi sehingga perjuangan militer mereka kembali dimulai. Inilah mengapa kemudian Houthi dan sekutu mereka di militer Yaman bergegas untuk mengendalikan banyak lapangan terbang militer Yaman dan pangkalan udara secepat mungkin.

Pasukan pemerintah, Houthi dan kelompok-kelompok suku yang bersenjata, sampai saat ini masih memperebutkan kekuasaan di Yaman. Hingga sekarang keadaan Yaman makin bertambah parah dengan rakyat sipil yang tidak bersalah menjadi korban akibat perang saudara ini.

Kejatuhan Presiden Soeharto

Orde Baru merupakan simbol yang melekat pada masa kekuasaan Presiden Soeharto selama 32 tahun yang ditandai berakhirnya masa Orde Lama Presiden Soekarno dengan peristiwa Supersemar. Sebagai upaya untuk melakukan perubahan dan penataan kembali seluruh aspek kehidupan rakyat, bangsa, dan negara, melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen untuk menumbuhkan stabilitas nasional guna mempercepat proses pembangunan bangsa.

Seiring berjalannya waktu, muncul suatu keinginan untuk terus menerus dalam kedudukan tersebut. Hal ini menimbulkan implikasi yaitu semakin jauh dari tujuan awal dibentuknya Orde Baru itu sendiri. Hingga akhirnya berbagai penyelewengan dan penyimpangan dari nilai-nilai Pancasila dan ketentuan-ketentuan yang terdapat pada UUD 1945 banyak dilakukan oleh Orde Baru itu sendiri. Penyelewengan dan penyimpangan dilakukan untuk melindungi kepentingan penguasa, sehingga hal tersebut dianggap sah dan wajar.

Sejak Mei 1998, Indonesia memasuki dimensi baru dalam sejarah bangsa melalui gerakan reformasi 1998, sebuah gerakan untuk menata kembali berbagai aspek kehidupan negara menuju terciptanya masyarakat adil dan makmur sesuai UUD 1945. Kebutuhan akan terjadinya perubahan tersebut tidak terlepas dari adanya degradasi moral kepemimpinan, kesenjangan, ketidak-adilan, kemiskinan, kegagalan dalam menanggulangi krisis dampak ekonomi dan adanya penyelewengan prinsip-prinsip penyelenggaraan negara yang berdasarkan Pancasila.

Diawali dari krisis moneter yang menimpa beberapa negara di Asia. Krisi pada awalnya melanda Thailand sedangkan kondisi Indonesia sendiri masih relatif baik, inflasi rendah dan cadangan devisa masih besar. Tetapi banyaknya perusahaan besar yang berhutang dengan memakai Dollar , membuat serangan terhadap Rupiah meningkat semakin menjauhkan nilai tukar itu sendiri.

Aksi-aksi mahasiswa semakin marak sejak awal tahun 1998. Tuntutan reformasi tidak dihiraukan oleh pemerintah. Pada tanggal 4 Mei 1998 pemerintah menaikkan harga BBM dan tarif dasar listrik. Hal itu semakin membuat kalangan rakyat bawah tercekik, hingga menyebabkan aksi-aksi reformasi semakin meluas dengan korban yang mulai berjatuhan.

Pemerintahan Presiden Soeharto semakin terdesak dengan adanya tragedi Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998 yang kemudian menjadi api baru hingga memicu terjadinya kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya.

Gerakan mahasiswa pun meluas hampir diseluruh Indonesia. Gerakan reformasi tahun 1998 oleh mahasiswa memilki beberapa agenda guna perbaikan bangsa dan negara. Gelombang aksi demo yang begitu besar saat itu oleh mahasiswa yang didukung oleh kekuatan rakyat mendobrak rezim Presiden Soeharto yang selama 32 tahun dianggap telah melakukan kebijakan yang tidak responsif dan cenderung represif.

Puncak dari semua peristiwa ini pada jari kamis 21 Mei 1998, Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya, karena sehari sebelumnya telah ramai dibicarakan bahwa Presiden Soeharto akan mengundurkan diri. Dan digantikan oleh Wakil Presiden saat itu Bacharuddin Jusuf Habibie (BJ Habibie).

Presiden BJ Habibie

Setelah Presiden Habibie dilantik, tugas utamanya adalah memimpin bangsa Indonesia dengan memperhatikan secara sungguh–sungguh mempertimbangkan aspirasi rakyat yang berkembang secara menyeluruh serta bertekad mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN untuk menjawab tuntuan reformasi kala itu.

Dibidang ekonomi, akibat warisan ekonomi yang berat Presiden Habibie berusaha melakukan perbaikan yaitu merekapitulasi perbankan, merekontruksi perekonomian nasional, melikuidasi beberapa bank yang bermasalah, menaikkan nilai tukar rupiah terhadap dolar.

Dalam bidang politik, Presiden mengupayakan politik Indonesia dalam kondisi yang transparan dan menyelenggarakan pemilihan umum, melepaskan beberapa tahanan politik, diberlakukannya kebebasan berpendapat selebar-lebarnya baik menyampaikan pendapat dalam bentuk umum atau unjuk rasa.

Bidang pertahanan dan keamanan, mereformasi TNI dalam dwi fungsi ABRI dalam MPR serta memisahkan Kepolisian dari ABRI pada tanggal 5 Mei 1999 sehingga ABRI berubah menjadi TNI yang mencangkup TNI AD, AL dan AU.

Tugas Presiden Habibie sangatlah berat, mewarisi kondisi negara yang sedang dalam keadaan carut-marut baik dari segi ekonomi, politik, sosial dan budaya pasca pengunduruan diri Presiden Soeharto, sehingga menimbulkan maraknya aksi kerusuhan dan disintegrasi bangsa hampir diseluruh wilayah Indonesia. Saat itu NKRI terancam dengan pecahnya Yugoslavia yang menjadi beberapa negara kecil.

Dalam pemerintahannya Habibie berusaha melakukan pembaharuan dalam berbagai bidang demi untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang sejahtera sesuai dengan UUD 1945. Beberapa rencana pembaharuan menyentuh bidang ekonomi, politik, hukum, pers, pertahanan dan keamanan.

Selama 17 bulan menjadi nahkoda negeri ini, Habibie telah membangun perubahan dengan pemerintahan yang transparan dan mengedepankan dialog. Prinsip demokrasi diterapkan dalam berbagai kebijakan pemerintah disertai dengan penegakkan hukum. Yang kesemuanya itu demi kesejahteraan bangsa dan negara serta menghindarkan dari perang saudara dan integrasi bangsa.

Pada tahun 1999, pasca pemilihan umum Presiden Habibie tidak lagi maju menjadi calon Presiden kemudian digantikan oleh tokoh reformasiyang tidak kalah hebat yakniPresiden KH. Abdurrahman wahid

Yaman, Berkacalah pada Indonesia

Dalam masa transisi jatuhnya Presiden Soeharto saat itu juga memberikan ruang yang lebar akan terjadinya perang saudara seperti yang terjadi di Yaman saat ini. Presiden Soeharto dengan basis militer yang kuat dan cenderung loyal kepadanya merupakan sebuah kekuatan yang dapat memperkuat kedudukannya saat itu walaupun kondisi negara dalam keadaan kacau-balau.

Disisi lain, kekuatan massa yang digalang oleh tokoh reformasi saat itu sangatlah luar biasa banyaknya, bahkan mereka mampu menghadirkan lebih dari 2juta massa untuk turun kejalan, baik dari kalangan mahasiswa maupun dari elemen masyarakat. Disamping itu ancaman disintegrasi bangsa juga dapat menjadi jurang kehancuran bangsa ini akibat pembangunan yang tidak merata dan kesenjangan sosial yang tinggi.

Ada beberapa poin yang dapat menjadikan pelajaran dari adanya transisi reformasi yang terjadi di Indonesia, yang bisa dibilang berhasil walaupun tidak semulus yang dibayangkan. Beberapa poin ini dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan kepada para pemimpin negara –negara Timur-Tengah yang saat ini dilanda pertikaian saudara, khususnya yang terjadi di Yaman antara pihak Houthi, Abdullah Saleh dan Mansour Hadi.

Yang pertama, Presiden Soeharto tidak menggunakan basis militernya yang kuat untuk menyokong kekuasaannya yang saat itu sedang diujung tanduk. Bila Pak Harto mau, bisa saja saat itu Presiden menggunakan ABRI dengan Panglima ABRI Jenderal Wiranto yang merupakan kader terbaiknya untuk melakukan tindakan represif terhadap saudara sendiri sesama anak bangsa.

Berbeda dengan yang terjadi di Yaman, Ali Abdullah Saleh menggunakan basis angkatan bersenjatanya untuk memperkuat kedudukan hingga terjadi perang saudara pasca kejatuhannya sebagai Presidena Yaman.

Kedua, pasca kondisi yang terjepit dan pengunduran dirinya Pak Harto tidak lari keluar negeri dan meminta bantuan pihak asing dalam mengatasi kekisruhan yang terjadi didalam negeri. Beliau tidak lari dari tanggungjawab meskipun tidak lagi menjabat sebagai Presiden. Sedangkan dari pihak Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh, pasca kejatuhannya sebagai Presiden kemudian melarikan diri bersama beberapa anggota keluarganya sehingga keadaan ini memberikan persepsi yang berbeda dari rakyatnya.

Ketiga, transisi kepada Presiden BJ Habibie merupakan hal yang telah jauh dipersiapkan untuk mengawal keadaan ini. Kejeniusan Presiden Habibie sudah dapat dibaca jauh-jauh hari oleh Pak Harto yang sebelumnya telah mengangkatnya menjadi Menteri dijajaran kabinetnya, dengan kata lain Pak Harto telah mengetahui kemampuan BJ Habibie dalam mempelajari situasi secara cepat dan mengambil keputusan dalam keadaan genting.

Keempat, posisi ABRI yang saat itu lebih mengambil sikap netral. ABRI tidak mau menjadi alat pribadi Pak Harto sebagai perisainya dalam menghadapi situasi transisi reformasi, TNI lebih memilih untuk menjaga konstitusi dan mencegah terjadinya disintegrasi bangsa daripada harus melawan rakyat sendiri, biarpun saat itu korban jiwa juga berjatuhan tetapi tidak sampai terjadi perang saudara

Kelima, para tokoh reformasi dan basis massa yang berhasil disatukan tidak dipersenjatai dengan senapan mesin, kita bisa membayangkan apabila 2juta massa yang berada dijakarta waktu itu dipersenjatai dengan senapan sejenis AK-47 atau M-16 perang saudara sudah tentu tidak dapat dihindarkan. Senjata yang mereka gunakan adalah kekuatan hati dan suara nurani yang terbukti lebih mampu mengalahkan benteng orde baru yang kokoh.

Berbeda dengan Yaman, dimana tokoh reformasi Houthi telah mempersenjatai dengan senapan laras panjang dan kesenjataan perang lainnya seperti tank, truk dan sebagainya hingga menimbulkan korban jiwa yang banyak.

Keenam, transparansi pemerintahan yang berbasis dialog dan langkah-langkah penting selama Presiden Habibie menjabat adalah langkah-langkah yang cerdas, meskipun masih banyak kekurangan yang semakin disempurnakan hingga era Presiden Jokowi saat ini. Merupakan gambaran bagaimana seorang BJ Habibie mempunyai jiwa Negarawan yang sangat tinggi, biarpun setelah tidak lagi menjabat sebagai Presiden beliau berada diluar negeri, namun posisi Pak Habibie diluar negeri bukanlah untuk menggalang dukungan untuk meraih kembali kursi Presiden yang ditinggalkan.

Sedangkan pihak Yaman dengan Presiden Mansour Hadi gagal menjalankan dialog dengan para tokoh reformasi Yaman seperti pihak Houthi, langkah-langkah perbaikan yang dilakukan juga tidak mampu menstabilkan kondisi Yaman pasca ditinggal oleh Presiden Ali Abdullah Saleh sehingga menimbulkan ketidak-puasan diberbagai pihak hingga terjadinya perang saudara.

Ketujuh, kehebatan para tokoh reformasi yang menjalankan agenda reformasi sesuai dengan konstitusi pasca pemilihan umum 1999 merupakan langkah awal dalam perbaikan stabilitas Indonesia pasca jatuh akibat krisis multidimensi yang dimulai tahun 1997.

Beberapa poin yang ada dapat memberikan kita pencerahan bahwa dibalik masa transisi Pak Harto hingga reformasi sekarang ini kita patut berterima-kasih dan bangga terhadap para pemimpin bangsa ini yang lebih mengedepankan kepentingan bangsa daripada harus berperang dengan sesama saudara sendiri. Walaupun mereka juga tidak lepas dari berbagai kekurangan, tetapi keberhasilan mereka dapat menjadi pelajaran bagi negara manapun yang sedang mengalami konflik ataupun krisis multi-dimensi seperti yang terjadi di Yaman, Suriah, Irak, dan berbagai negera Arab akibat berlanjutnya Arab Spring. Pada waktu itu memang bangsa ini sedang diambang perpecahan dan perang saudara seperti halnya yant terjadi di Yugoslavia.

Para tokoh era tersebut telah berhasil menjaga integritas bangsa walaupun ada sedikit cacat dengan hilangnya Timor-Timur yang menjadi Timor Leste. Serta jatuhhya beberapa korban pahlawan reformasi, tetapi setidaknya mampu meredam korban yang lebih banyak.

Semoga kondisi negara ini tetap aman dan stabil dan jauh dari perpecahan. Serta konflik yang terjadi di Yaman juga segera berakhir sehingga kesejahteraan hidup masyarakat menjadi lebih baik.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun