A. Faktor Internal
1. Dorongan dari al-Qur’an dan Hadis
Di dalam al-Qur’an terdapat berbagai ayat yang membahas tentang betapa pentingnya kita sebagai manusia untuk menggunakan akal dengan semestinya, karena dengan adanya akal pikiranlah yang menjadi pembeda antara kita dengan hewan. Akal harus digunakan untuk memahami berbagai hal, baik itu pesan dari fenomena alam, pernyataan seseorang, hingga dalam memahami firman Allah yang maha kuasa pun mesti menggunakan akal. Allah juga sering bertanya kepada hamba-Nya dalam al-Qur’an melalui kata اَفَلَا تَعۡقِلُوۡنَ (apakah kamu tidak berakal/berfikir), أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ (apakah kamu tidak memperhatikan), dan lain sebagainya. Pada dasarnya memang tidak ada dalam al-Qur’an yang menyebutkan tentang filsafat secara eksplisit, akan tetapi al-Qur’an membahasnya dengan menggunakan kata-kata lain yang fungsi dan penerapannya sama dengan filsafat, karena kata filsafat lahir dari bahasa yunani dan bukan dari bahasa arab.
Salah satu kata yang terdapat dalam al-Qur’an yang mengandung unsur filsafat adalah kata al-hikmah. Penggunaan kata al-hikmah dalam filsafat islam ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa kebenaran akal memang diakui perannya dalam islam, karena akal juga berfungsi untuk menguatkan pesan-pesan kebenaran yang disampaikan oleh suatu wahyu. Ibn Rusd dalam kitab karangannya yang berjudul Fashl al-Maqal Fima Bayan al-Hikmah wa al-syari’ah min al-Ittishal menyebutkan bahwa filsafat dengan ajaran agama itu tidak bertentangan.
Selain dari kata al-Hikmah, al-Qur’an juga menggunakan kata ulul albab. Ulul albab sendiri adalah orang-orang memiliki pemikiran yang dalam, sehingga mereka memperoleh rahmat dari yang maha kuasa. Diantara ayat yang memerintahkan kita untuk berfikir, memperhatikan, memahami dan menelaah adalah surah al-Ghasyiyah ayat 17-20, ali Imran ayat 190, al-Anbiya ayat 22 dan surah Fussilat ayat 39. Gagasan bahwa al-Qur’an memberikan kepada kita perintah untuk berfikir, belajar dan merenung supaya umati islam termotivasi untuk melakukan perjalanan keberbagai tempat diseluruh penjuru bumi serta melestarikannya. Hal ini akan menjadikan dunia lebih baik lagi, karena dengan berfikir kita akan mendapatkan Pelajaran yang lebih banyak, yakni karena bepergian, berkomunikasi dengan orang lain, saling bertukar pikiran, dan berbagi ilmu kesesama manusia.
2. Pengaruh pemikiran kalam dan fiqih
Ilmu kalam adalah penalaran dalam aqidah. Penalaran adalah metode dan argumentasi, Metode dan argumentasi yang didasarkan kepada penalaran. Pembahasa mengenai antara ilmu kalam dengan filsafat ini sudah terjadi sejak dulu, jadi bukan pembahasan baru lagi. Dimana permulaan kalam dan filsafat dalam islam bertolak pada sejarah perbedaan, yakni munculnya pendapat yang berbeda. Perbedaan tersebut berawal dari masalah politik, yakni pertikaian antara khalifah Ali dan Muawiyah. Masalah tersebut berakhir dengan adanya perudingan antara kedua belah pihak, dan lahirnya kelompok yang tidak puas dengan hasil perundingan tersebut. Dari kubu Khawarij menekankan bahwa komunitas islam harus didasarkan mutlak hanya kepada al-Qur’an, kemudian masalah politik tersebut meningkat hingga ke level aqidah, bersamaan dengan penerjemahan buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan dari Yunani. Dari peristiwa inilah muncul generasi ahli kalam yang berfilsafat dan disebut dengan ahli ra’yi.
Landasan ontologis ilmu fiqih adalah ilmu untuk mengatahui hukum Allah yang berhubungan dengan segala amaliah mukallaf, baik yang wajib, sunah, mubah, makruh atau haram, yang digali dari dalil-dalil yang jelas. Sedangkan kaidah-kaidah istinbath (mengeluarkan) huku dari sumbernya dipelajari dalam ilmu ushul fiqh. Pada pandangan fiqh, memahami dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan hukum diperlukan ijtihad, yakni suatu usaha dengan Menggunakan akal dan prinsip kelogisan untuk mengeluarkan ketentuan-ketentuan hukum dari sumbernya. Mengingat pentingnya ijtihad, maka para pakar hukum islam menganggapnya sebagai sumber hukum ketiga Setelah al-Qur’an dan hadis. Hanya saja beberapa ahli terkadang memasukkan qiyas sebagai bagian dari ijtihad.
B. Faktor Eksternal
Faktor eksternal dari genealogi filsafat islam adalah pengaruh dari filsafat Yunani.
Sejarah mencatat bahwa mata rantai yang menghubungkan gerakan pemikiran filsafat islam yakni era Daulah Abbasiyah dan dunia luar diwilayah islam, tidak lain adalah proses panjang asimilasi dan akulturasi kebudayaan islam dan Yunani lewat karya-karya filsuf muslim. Proses ini menjadi tonggak kebangkitan ilmu pengetahuan dalam islam karena adanya dukungan pemerintah untuk menerjemahkan karya-karya dari Yunani. Dari penerjemahan inilah lahir pemikir-pemikir islam yang memiliki nama besar. Menurut Lauis Gardet dan Anawati seperti yang dikutip oleh A. Khudari Shaleh bahwa akar rasionalisme islam lahir disebabkan oleh beberapa faktor; pertama, didorong oleh munculnya madzhab-madzhab bahasa (nahw), lantaran adanya kebutuhan untuk bisa memahami ajaran al-Qur’an dengan baik dan benar. Kedua, munculnya madzhab-madzhab fiqh. Dan yang ketiga, adanya penerjemahan terhadap buku-buku Yunani kuno.
Tetapi menjadi masalah besar jika menganggap bahwa filsafat islam hanya nukilan atau cuplikan dari filsafat Yunani, karena kenyataan menunjukkan bahwa pemikiran rasional telah mapan dahulu dalam masyrakat muslim sebelum kedatangan filsafat Yunani lewat terjemahan. Perlu diketahui juga bahwa pemikiran rasional dalam islam lahir dari kitab suci, yakni al-Qur’an. Khususnya dalam kaitannya dengan upaya-upaya untuk menyesuaikan antara teks dengan realitas kehidupan sehari-hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H