Mohon tunggu...
Aprisiami Putriyanti
Aprisiami Putriyanti Mohon Tunggu... -

mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta, Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Edukasi

AKI

15 Januari 2011   00:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:35 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beauty. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ketika membahas tentang angka kematian ibu, maka realita yang tidak dapat dipungkiri saat ini adalah masih tingginya angka kematian ibu terutama di Indonesia sendiri. Survey ini terlihat pada penelitian yang dilakukan oleh Women’s Research Center bahwa menurunkan angka kematian ibu sesuai target MDGs 2015 sulit dicapai. Terbukti dengan adanya angka kematian ibu masih 228 per 100.000 kelahiran hidup.

Realita selanjutnya yang mendorong penulis untuk menyuarakan hal ini adalah persoalan angka kematian ibu sebenarnya tidak cukup dikaji dari segi angka saja, tetapi factor apa saja yang melatar belakangi itu semua. Dari segi teknologi seharusnya angka kematian ibu dapat dihambat. Dengan kemajuan teknologi kedokteran di Indonesia, seharusnya ibu meninggal karena komplikasi melahirkan tidak terjadi.

Apabila dilihat dari segi moralitas, dimana dalam hal ini akan tercermin sikap moral yang sebenarnya, yaitu apabila seseorang menilai orang lain, yang kita lihat adalah hasil dari perbuatannya. Dari realita yang ada di atas penulis mencoba mengungkapkan pendapatnya bagaimana pemerintah berupaya dalam menurunkan tingkat kematian ibu, dari dulu telah menerapkan program Make Pregnancy Safer hingga program Suami Siaga, tetapi hal ini belum juga dapat menurunkan tingkat Angka Kematian Ibu di Indonesia. Hingga hasil pertemuan Bappenas, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), migrant Care dan donor yang mengidentifikasi sulitnya mengintegrasikan perspektif jender dalam proyek pembangunan.

Lebih lanjut Bertens memberikan pandangannya tentang peembagian hati nurani, dimana hati nurani dibagi menjadi dua yaitu hati nurani retrospektif yang memberikan penilaian tentang perbuatan-perbuatan yang telah berlangsung di masa lampau. Hati nurani dalam arti ini akan menuduh, mencela bila perbuatannya jelek, dan sebaliknya memuji atau member rasa puas, bila perbuatan dianggap baik.

Kartini yang meninggal empat hari setelah melahirkan anaknya. Sebelumnya dokter mendiagnosis tidak terjadi apapun pada kesehatannya pascamelahirkan. Namun, setelah beberapa jam, Kartini justru menurun kondisinya dan meninggal. Pada saat itu Kartini bukan termasuk dalam golongan rakyat miskin, dan sebagai seorang istri bupati sudah pasti ia mendapatkan perawatan kesehatan yang optimal. Tetapi Kartini telah mengisyarakan meninggal pada usia 25 tahun. Pada catatan kesehatannya, seorang Karini memiliki kondisi fisik yang tidak baik dalam arti ia sering sakit setelah menjadi istri bupati Rembang. Hal ini ia lakukan demi memenuhi permintaan ayahnya. Ia mengubur segala impian dan cita-citanya menjadi seorang perempuan yang yang mandiri. Dari hal ini tampak bahwa ia menderita secara psikologis dan memikulnya sendiri.

Selain hal di atas, pada masa Kartini juga banyak terjadinya diskriminasi yang dilakukan oleh keluarga, pejabat pribumi, dan politik Pemerintah Belanda. Dan dari perspektif gender Kartini yang tidak miskin sangat menderita akibat nilai-nilai tradisi yang tidak menempatkan hak perempuan setara dengan laki-laki, serta politik Belanda yang tidak mendukung pemikiran progresif anak bangsa.Peningkatan kesehatan ibu- ibu miskin masih dihadang mitos ”ibu meninggal karena melahirkan akan masuk surga”; oleh suami yang menentukan apa yang boleh dilakukan terhadap istri yang kehamilannya bermasalah dan bisa berakibat fatal; dan oleh petugas kesehatan yang tidak berperspektif jender.

Pembagian hati nurani ke dua menurut Bertens adalah hati nurani prospektif , dimana penolaian dalam perbuatan melihat ke masa depan dan ditujukan pada perbuatan orang-orang yang akan datang. Hati nurani ini akan mengatakan jangan dan melarang untuk melakukan sesuatu. Dalam hal ini, hati nurani prospektif terkandung semacam ramalan.

Pentingnya mengintegrasikan perspektif jender dalam semua program pembangunan berskala besar. Hal ini karena masih banyaknya ketersangkutpautan antara angka kematian ibu dengan jender. Pengarusutamaan jender dilakukan serius dan memastikan setiap kebijakan memuat perencanaan dan penyediaan anggaran yang ”mempromosikan, melindungi, dan memberdayakan perempuan. Selain itu, setiap pejabat berkesadaran AKI sebagai isu kesehatan reproduksi perempuan secara kompleks dipengaruhi faktor medis dan non-medis. Dan mengembangkan toleransi nol terhadap pelanggaran hak-hak perempuan sebagai prioritas nasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun